Minggu, 02 November 2014

Kalung Keabadian


                Untuk yang kesekian kalinya aku hanya dapat memendam rasa penasaranku. Liontin yang menggantung dan tak pernah lepas dari lehernya itu benar-benar menyedot perhatianku. Sepintas lalu, liontin tersebut terlihat seperti salib, namun jika dilihat lebih seksama lagi, lionton tersebut berbeda dan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali dengan salib.
                Sejak sampai di cafe tadi, Amora berkali-kali mengelus liontin di lehernya. Entah mengapa. Sesekali, ia mengedarkan pandangannya, memerhatikan seisi ruangan, lalu kembali menyesap coklat panasnya, tetap memegang liontin tersebut. Beberapa kata telah sampai di ujung lidahku, tapi tak satupun yang berani untuk keluar. Aku sudah terlalu bosan dengan jawaban yang diberikannya.
                “Ini adalah liontin keberuntungannku.”
                Begitu kurang lebih jawaban yang sering kudapat atas tanyaku.
                Amora adalah teman baruku yang langsung bertransformasi menjadi sahabat baikku sebulan belakangan, hasil paksaan tugas kulliah. Walaupun kami baru saling mengenal, tapi tidak ada rahasia atau sikap tertutup diantara kami. Hanya satu hal itu saja yang tak pernah ia ceritakan padaku, terkait benda mungil yang setia menggantung di lehernya.
                Setelah beberapa jam kami habiskan hanya untuk duduk dan membahas tugas kuliah, yang berakhir pada obrolan para wanita yang tak berisi, aku dan Amora pun memilih pulang kembali ke kostan.

                                                                    *****

                Entah sudah berapa lama aku tertidur, hingga saat aku terbangun, lukisan di atas sana telah berubah gelap, dihiasi beberapa benda mungil bercahaya, menerangi bumi. Aku beranjak menuju kamar Amora, berencana membahas tugas yang seharusnya dua hari lagi kami kumpulkan.
                Tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku langsung saja mendorong daun pintu di depanku. Namun, baru sedikit saja aku mendorongnya, sebuah tontonan mengerikan telah disuguhhkan padaku. Aku terdiam di tempatku, sembari mengerutkan dahi dan memikirkan hal apa yang sedang dilakukan Amora. Ia melenggak-lenggok tak tentu arah, mulutnya terus berkomat-kamit merapalkan sesuatu, sembari mengacungkan sesuatu yang sepertinya kukenal pada patung dengan mahkota cahaya matahari yang bersinar. Liontinnya.
                Aku berbalik, kembali menuju kamarku. Jantungku mulai memompa tak karuan. Ada  rasa takut yang berdesir, bersama rasa penasaran yang mulai tak terkendali. Diam-diam, aku mencoba mencari tahu benda apa yang sebenarnya selama ini menggantung di leher Amora. Sesaat, aku terdiam, mengingat bentuk benda mungil tersebut. Kuketik ‘benda serupa salib’ pada laptopku. Dan, benar saja, benda yang kucari langsung terpampang jelas di dalamnya. Sebuah benda berbentuk huruf ‘T’ dengan lingkaran di atasnya. Ankh. Benda yang dipercayai dapat memeberikan keabadian bagi mereka –pengikut—yang telah melakukan sebuah ritual menyeramkan dengan mengorbankan keperawanan seorang gadis.
                Aku menatap tak percaya. Sahabat yang baru saja kudapat, ternyata adalah seseorang yang sangat mengerikan. Atau mungkin, adalah seseorang yang sangat berbahaya. Entahlah. Pikiranku mulai melayang-layang tak jelas. Aku berharap, semoga saja tindakanku ini tidak diketahui oleh Amora. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika saja ia mengenyadari bahwa aku telah mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.
                Tiba-tiba saja, daun pintu kamarku terbuka dengan kasar. Seseorang yang sedang menari-nari di pikaranku, kini berdiri tegap di amabang pintu. Ia menatap nanar padaku, nyaliku menciut seketika.
                “Apa yang kaulakukan?. Apa yang sudah kaulihat?”
               Perlahan, ia melangkah mendekatiku, dengan sebelah tangan tersembunyi di balik badannya. Aku menerka apa yang disembunyikannya. Tapi, aku terlalu takut. Kakiku seperti terpaku, badanku memebeku. Aku benar-benar tak dapat bergerak atau memalingkan pandangan sedikitpun darinya. Lalu, entah dengan cara apa dia melakukannya, aku seperti mati rasa. Darah mulai bercucuran dari leherku, dan aku pun mulai kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya terjatuh dan pandanganku gelap.




tantangan @KampusFiksi; #ProsaNadimu
Sebuah cerpen yang didapat berdasarkan ide dari tiga kepala. Aku, seorang teman baikku (Citra Aulia), dan adik sepupuku (Delta Eka). Semoga dapat dibayangkan, dan ceritanya tidak ngalor-ngidul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar