Sejak sampai
di cafe tadi, Amora berkali-kali mengelus liontin di lehernya. Entah mengapa. Sesekali,
ia mengedarkan pandangannya, memerhatikan seisi ruangan, lalu kembali menyesap
coklat panasnya, tetap memegang liontin tersebut. Beberapa kata telah sampai di
ujung lidahku, tapi tak satupun yang berani untuk keluar. Aku sudah terlalu
bosan dengan jawaban yang diberikannya.
“Ini
adalah liontin keberuntungannku.”
Begitu kurang
lebih jawaban yang sering kudapat atas tanyaku.
Amora adalah
teman baruku yang langsung bertransformasi menjadi sahabat baikku sebulan
belakangan, hasil paksaan tugas kulliah. Walaupun kami baru saling mengenal,
tapi tidak ada rahasia atau sikap tertutup diantara kami. Hanya satu hal itu
saja yang tak pernah ia ceritakan padaku, terkait benda mungil yang setia
menggantung di lehernya.
Setelah
beberapa jam kami habiskan hanya untuk duduk dan membahas tugas kuliah, yang
berakhir pada obrolan para wanita yang tak berisi, aku dan Amora pun memilih
pulang kembali ke kostan.
*****
Entah sudah
berapa lama aku tertidur, hingga saat aku terbangun, lukisan di atas sana telah
berubah gelap, dihiasi beberapa benda mungil bercahaya, menerangi bumi. Aku beranjak
menuju kamar Amora, berencana membahas tugas yang seharusnya dua hari lagi kami
kumpulkan.
Tanpa mengetuk
terlebih dahulu, aku langsung saja mendorong daun pintu di depanku. Namun, baru
sedikit saja aku mendorongnya, sebuah tontonan mengerikan telah disuguhhkan
padaku. Aku terdiam di tempatku, sembari mengerutkan dahi dan memikirkan hal
apa yang sedang dilakukan Amora. Ia melenggak-lenggok tak tentu arah, mulutnya
terus berkomat-kamit merapalkan sesuatu, sembari mengacungkan sesuatu yang
sepertinya kukenal pada patung dengan mahkota cahaya matahari yang bersinar. Liontinnya.
Aku berbalik,
kembali menuju kamarku. Jantungku mulai memompa tak karuan. Ada rasa takut yang berdesir, bersama rasa
penasaran yang mulai tak terkendali. Diam-diam, aku mencoba mencari tahu benda
apa yang sebenarnya selama ini menggantung di leher Amora. Sesaat, aku terdiam,
mengingat bentuk benda mungil tersebut. Kuketik ‘benda serupa salib’ pada
laptopku. Dan, benar saja, benda yang kucari langsung terpampang jelas di
dalamnya. Sebuah benda berbentuk huruf ‘T’ dengan lingkaran di atasnya. Ankh. Benda
yang dipercayai dapat memeberikan keabadian bagi mereka –pengikut—yang telah
melakukan sebuah ritual menyeramkan dengan mengorbankan keperawanan seorang
gadis.
Aku menatap
tak percaya. Sahabat yang baru saja kudapat, ternyata adalah seseorang yang
sangat mengerikan. Atau mungkin, adalah seseorang yang sangat berbahaya. Entahlah.
Pikiranku mulai melayang-layang tak jelas. Aku berharap, semoga saja tindakanku
ini tidak diketahui oleh Amora. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan
terjadi padaku, jika saja ia mengenyadari bahwa aku telah mengetahui apa yang
selama ini disembunyikannya.
Tiba-tiba
saja, daun pintu kamarku terbuka dengan kasar. Seseorang yang sedang menari-nari
di pikaranku, kini berdiri tegap di amabang pintu. Ia menatap nanar padaku,
nyaliku menciut seketika.
“Apa
yang kaulakukan?. Apa yang sudah kaulihat?”
Perlahan, ia melangkah mendekatiku, dengan
sebelah tangan tersembunyi di balik badannya. Aku menerka apa yang
disembunyikannya. Tapi, aku terlalu takut. Kakiku seperti terpaku, badanku
memebeku. Aku benar-benar tak dapat bergerak atau memalingkan pandangan sedikitpun
darinya. Lalu, entah dengan cara apa dia melakukannya, aku seperti mati rasa. Darah mulai
bercucuran dari leherku, dan aku pun mulai kehilangan keseimbangan, hingga
akhirnya terjatuh dan pandanganku gelap.
tantangan @KampusFiksi; #ProsaNadimu
Sebuah cerpen yang didapat berdasarkan ide dari tiga kepala.
Aku, seorang teman baikku (Citra Aulia), dan adik sepupuku (Delta Eka). Semoga dapat
dibayangkan, dan ceritanya tidak ngalor-ngidul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar