But some
things you just don't question
Like in
your eyes, I see my future in an instant
And there
it goes,
I think I
found my best friend
I know
that it might sound more than a litle crazy
But, i
believe...
“Nis, kenalin dulu. Ini Afaf,
temannya Bian. Kamu sama dia aja dulu, ya. Aku sama Bian mau main ke sana” ucap
Kia, tepat saat mp3 pada ponselku mengalunkan lagu Savage Garden, menggantikan
lagu ours yang baru saja dinyanyikan Taylor Swift.
Dengan tatapan yang jauh dari kata
bersahabat, aku menoleh, memandang pemuda yang telah berdiri di depanku. Namun,
detik berikutnya, aku seakan disihir oleh senyum menawan—senyum indah bagai
lengkung bulan sabit—pemuda itu, seketika hilang sudah kesalku tanpa bekas. Segera
aku menyadarkan diri sebelum ia mengira yang tidak-tidak tentangku.
“Hey, aku Afaf.” dengan gagahnya pemuda
itu mengulurkan sebelah tangannya.
Sesaat, aku terdiam memandang tangan yang dilapisi kemeja berlengan pendek, menampakkan sedikit otot-otot lengannya. Lantas, kuberanikan diri membalas uluran tangannya
dengan tanganku yang mulai berkeringat dan gemetar.
Entah dengan cara apa, aku merasa
begitu dekat dan akrab dengan Afaf. Walau,
dalam perkenalan yang teramat singkat. Bermula dengan saling menanyakan
hal remeh-temeh, hingga obrolan tak terarah yang mengalir dari bibir begitu saja.
Senyum terus merekah dengan satu-dua tawa menggema. Aku tak mengerti rasa apa
ini namanya. Yang ku tahu, aku suka bisa bersama pemuda hitam manis itu dengan jarak sedekat ini.
Episode demi episode terus berputar. Aku hanya dapat, menontonnya dengan pasrah. Dengan sesak di dada yang semakin tak keruan saat episode yang berisi pertemuan terakhir kita terputar.
“Apa kamu percaya dengan cinta pada
pandangan pertama?” tiba-tiba saja Afaf menanyakannya padaku. Tanpa basa-basi,
tanpa canggung sedikit pun.
Aku menoleh, memandang penuh tanya.
“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”
Bibirnya melengkung indah, sebelum
menjawab. “Aku percaya. Karena, itu terjadi padaku saat ini. Aku jatuh cinta
pada gadis yang baru sebulan ini kukenal. Dia gadis yang manis, lucu, dan
unik. Aku sudah jatuh cinta dengannya, bahkan sebelum aku mengenalnya.” Lantas,
Afaf menoleh ke arahku, masih dengan senyum manis itu. “Bagaimana denganmu? Apa
kamu juga merasakan hal yang sama?”
Seketika napasku tecekat. Tak dapat
menghirup oksigen dengan benar. Jantungku memompa heboh. Ada desiran aneh saat Afaf menyelesaikan kalimatnya. “A-apa maksudmu?.”
Afaf tersenyum penuh makna. “Bisakah
kamu mencernanya dari lagu ini?”
I knew I
loved you before I met you
I think I
dreamed you into life
I knew I
loved you before I met you
I have been waiting all my life
Perlahan, suara lembut yang
belakangan sering kudengar menggema dari dalam ponselku menerjang indera pendengaranku. Tidak perlu waktu lama
untuk aku memahami apa maksudnya. Karena memang semenjak pertemuan pertamaku dengan
Afaf, lagu itu telah menjadi sesuatu yang wajib kudengar setiap harinya.
Perlahan, mataku memanas.
Pandanganku kabur tertutup embun yang mulai berusaha menjatuhkan bulir
beningnya. Aku sadar akan kebodohanku. Terlalu naif untuk perasaan
yang akhirnya hanya akan menyakitiku. Namun, aku tidak dapat berbuat apapun saat
kulihat langkah kakinya yang beralawanan denganku. Dengan wajah basah, aku
hanya dapat memandang punggungmu yang kian memudar termakan jarak yang kian
menebal.
Semua terus berulang, hingga
berbulan lamanya. Hingga aku mulai menyerah dengan keadaan. Dan saat itulah
kulihat sebuah tangan terulur, membantuku untuk lepas dari belenggu mengerikan
itu. Dia adalah orang yang berbeda denganmu. Tidak selincah dan seindah dirimu. Namun, dialah orang
yang mampu menolongku. Dia yang semula kukira hanya sebagai tempat
pelarian saja.
Walau bagaimanapun aku, dia tetap membentangkan
lengannya dan menerimaku dengan senyuman. Saat itulah, kisah baruku dimulai.
Kisah cinta bersama orang yang berbeda, dengan aku yang tetap menjadi pemeran
utamanya.
Lalu, entah apa rencana Sang
Pencipta di balik semua ini. Dengan cara tak disangka, aku kembali dipertemukan
dengan pemuda dengan senyum bulan sabit itu. Kami bertemu, bertatap muka dengan suasana yang berbeda. Aku dengannya.
Dan kamu dengan seseorang—yang kutebak adalah penggantiku.
Bagai dua orang asing yang baru saja
dipertemukan. Kita saling melempar tatapan kosong, bukan pandangan penuh cinta
seperti dulu. Kenal, tapi seakan tidak saling mengenal. Hatiku yang sudah lama
tak bertemu denganmu, bahkan sudah mulai lupa cara mengeja namamu. Kini, seakan
menjerit memanggilmu.
“Eh, Nisa? Lama tidak bertemu.
Bagaimana kabarmu?” sapamu, seperti mendengar jeritan hatiku.
“Kabar baik. Bagaimana denganmu?”
saat kalimat yang terdengar bergertar itu terurai dari bibirku, sekilas,
kulirik dia yang berdiri di sampingku. Tatapan tajamnya tertuju lurus padamu.
Jantungku semakin berdetak ribut.
“Aku juga baik. Oh, iya. Kenalkan,
ini Franda, pacarku.” Seorang gadis mungil mengulurkan sebelah tangannya
padaku. Tepat dugaanku.
Aku membalas uluran tangannya sembari
tersenyum seramah mungkin. “Nisa.” Beberapa
detik aku hanya diam dengan tangan yang masih menggenggam tangan perempuanmu. “Ah,
iya. Kenalkan juga. Ini Rangga... pacarku.”
Setelahnya, kami duduk dalam satu
meja. Saling bertukar kisah. Lalu, entah mengapa, kurasa sesak di dadaku tak
kunjung menghilang. Tetapi, harus kuakui, ada rasa tak rela saat melihat
sepasang jemari itu saling bertautan.
Satu hal yang mengejutkanku, saat
kuingat bahwa ini adalah Desember. Pertemuan kita bagai reuni setelah dua tahun
tak saling jumpa. Seolah merayakan kisah dua tahun yang lalu degan iringan lagu
yang menggema dari sepaker kafe. I knew i love you. Lagu yang mengiringi awal
jumpa kita. Kisah yang telah menjelma sejarah.