Menurut
kebanyakan orang, cinta adalah emosi pribadi atau perasaan yang menggebu-gebu
terhadap benda atupun individu lainnya.
Namun,
menurut C.G Boefree dalam buku karangannya; cinta adalah kepedulian terhadap
orang lain sebanyak, atau melebihi terhadap diri sendiri.
Dan,
dalam perspektif biologi, cinta berasal dari beberapa hormon yang mempengaruhi
syaraf-syaraf hingga terjadi suatu reaksi, yaitu cinta. Salah satunya, adalah dopamine atau hormon yang bersifat addictive
Sedangkan,
cinta pada pandangan pertama menurut ilmu psikologi adalah ketertarikan
terhadap fisik, dan biasanya tidak berlangsung lama.
Tapi,
jika ada yang menanyakan padaku ‘apa itu cinta?’, maka aku akan menjawab; cinta
adalah bagian dari setiap individu. Ia selalu ada dalam setiap tarikan napasmu,
dalam setiap detak jantungmu, dalam setiap langkahmu, bahkan dalam setiap
pandanganmu.
Cinta
selalu ada dalam pandanganku?. Ya, begitupun pada pria yang sempat mengisi dan
bertengger cukup lama di hatiku itu. Dia selalu ada di dalam pandanganku,
bahkan saat ia tidak di depanku. Dia adalah pria pertama yang kucinta, pria
pertama yang mengajari aku arti cinta itu sendiri. Kalian bisa menyebutnya
‘Rama’.
Pertemuan
pertamaku dengannya adalah saat pertama kali aku menginjakkan kaki de sekolah
menengah yang berseragam abu-abu itu. Awal pertemuan kami? Tentu saja, saat
perkenalan anggota panitia MOS. Dan, semenjak saat itulah, ia seolah menjelma
bak seorang pangeran dari Negeri dongeng dengan sinarnya tak tak pernah redup
di mataku.
Saat
itu, aku juga mengira bahwa jarak antara aku dengan dia tak akan pernah
berkurang, tapi di saat itulah takdir bertindak. Perlahan, jarak diantara kami
pun mulai memudar. Dan, tanpa kusangka –bahkan, tak pernah kubayang—bahwa dia
akan menyapaku, si junior bau kencur.
“Hey, anak baru? Ikut tampil di
acar milad sekolah, juga?.”
Begitulah kurang lebih. Aku
tidak ingat betul apa yang diucapkannya saat itu, aku terlalu kaget. Hingga aku
hanya dapat mengangguk gagu. Jika diingat, aku persis orang tolol, saat itu.
Dan kurasa, itu akibat dari desiran hebat yang menjalar di seluruh tubuhku.
Entahlah.
Beberapa menit setelahnya, aku
sudah tenggelam dalam duniaku sendiri. Melenggak-lenggok mengikuti ketukan dan
irama. Bersama empat orang temanku, kami menari, menghibur penonton. Kurasa,
aku memiliki jiwa yang berbeda saat menari, seolah tubuhku bergerak dengan
sendirinya.
Lalu, tak lama setelah
penampilanku, dari pinggir panggung, aku memandag lurus pada sosok yang kini
tengah duduk sembari memangku sebuah gitar. Dia, Rama. Dengan lincah, ia
menarikan jemarinya diantara senar-senar gitar tersebut, menyanyikan lagu cinta
dengan suara lembutnya yang merontokkan hatiku, seketika. Ah,, dia begitu
sempurna.
“Hay…” sapanya, setelah
menyelesaikan penampilannya, dan menghampiriku.
Tiba-tiba saja, aku membeku.
Jantungku berdetak ribut. Hingga sepertinya ia dapat mendengarnya di tengah
kebisingan sekalipun.
“Tarianmu bagus” pujinya.
Aku menunduk, malu. “Terima
kasih” ucapku, lirih.
“Apa?” ia mendekatkan wajahnya.
Aku mendongak, untuk beberapa
detik pandangan kami beradu.
“Kamu bilang apa, tadi? Aku
tidak dengar”
“Eh, itu… terima kasih”
“Sama-sama. Ngomong-ngomong, apa
kamu tidak ingin memuji atas penampilanku, tadi?” seringai senyum indah terukir
di wajahnya. Sungguh memesona.
Rasanya, ingin sekalli saat itu
aku meloncat tinggi. Menyampaikan pada langit, bahwa aku tengah berbahagia.
Beberapa hari berselang, aku
semakin akrab dengannya. Bunga-bunga di hati tak lagi merupa kuncup, mereka
telah bermekaran indah. Teman-temanku pernah berkata; cinta itu indah, penuh
kebahagiaan. Dan sepertinya, aku mulai membenarkan itu. Walau sebenarnya aku
hanyalah seorang pecinta pemula. Semua masih abu-abu di pandanganku.
Aku pun terbuai oleh cinta, tak
dar ia telah melambungkanku, hingga aku melayang-layang di udara. Pun, tidak
menyadari bahwa semua hanyalah semu. Sampai saat kenyataan menarikku kembali
pada kenyataan. Saat itulah aku melihat sela-sela jemarinya tak lagi kosong.
Sudah ada sesorang yang berdiri setia di sampingnya. Bukan aku.
Kini, aku mulai mengerti bahwa
cinta tak selamanya tentang senyum dan tawa. Cinta juga tentang melepaskan,
merelakan, dan mengikhlaskan bersama senyum dalam air mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar