Minggu, 16 November 2014

The First and The Best



                Menurut kebanyakan orang, cinta adalah emosi pribadi atau perasaan yang menggebu-gebu terhadap benda atupun individu lainnya.
                Namun, menurut C.G Boefree dalam buku karangannya; cinta adalah kepedulian terhadap orang lain sebanyak, atau melebihi terhadap diri sendiri.
                Dan, dalam perspektif biologi, cinta berasal dari beberapa hormon yang mempengaruhi syaraf-syaraf hingga terjadi suatu reaksi, yaitu cinta. Salah satunya, adalah dopamine atau hormon yang bersifat addictive
                Sedangkan, cinta pada pandangan pertama menurut ilmu psikologi adalah ketertarikan terhadap fisik, dan biasanya tidak berlangsung lama.
                Tapi, jika ada yang menanyakan padaku ‘apa itu cinta?’, maka aku akan menjawab; cinta adalah bagian dari setiap individu. Ia selalu ada dalam setiap tarikan napasmu, dalam setiap detak jantungmu, dalam setiap langkahmu, bahkan dalam setiap pandanganmu.
                Cinta selalu ada dalam pandanganku?. Ya, begitupun pada pria yang sempat mengisi dan bertengger cukup lama di hatiku itu. Dia selalu ada di dalam pandanganku, bahkan saat ia tidak di depanku. Dia adalah pria pertama yang kucinta, pria pertama yang mengajari aku arti cinta itu sendiri. Kalian bisa menyebutnya ‘Rama’.
                Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat pertama kali aku menginjakkan kaki de sekolah menengah yang berseragam abu-abu itu. Awal pertemuan kami? Tentu saja, saat perkenalan anggota panitia MOS. Dan, semenjak saat itulah, ia seolah menjelma bak seorang pangeran dari Negeri dongeng dengan sinarnya tak tak pernah redup di mataku.
                Saat itu, aku juga mengira bahwa jarak antara aku dengan dia tak akan pernah berkurang, tapi di saat itulah takdir bertindak. Perlahan, jarak diantara kami pun mulai memudar. Dan, tanpa kusangka –bahkan, tak pernah kubayang—bahwa dia akan menyapaku, si junior bau kencur.
                “Hey, anak baru? Ikut tampil di acar milad sekolah, juga?.”
                Begitulah kurang lebih. Aku tidak ingat betul apa yang diucapkannya saat itu, aku terlalu kaget. Hingga aku hanya dapat mengangguk gagu. Jika diingat, aku persis orang tolol, saat itu. Dan kurasa, itu akibat dari desiran hebat yang menjalar di seluruh tubuhku. Entahlah.
                Beberapa menit setelahnya, aku sudah tenggelam dalam duniaku sendiri. Melenggak-lenggok mengikuti ketukan dan irama. Bersama empat orang temanku, kami menari, menghibur penonton. Kurasa, aku memiliki jiwa yang berbeda saat menari, seolah tubuhku bergerak dengan sendirinya.
                Lalu, tak lama setelah penampilanku, dari pinggir panggung, aku memandag lurus pada sosok yang kini tengah duduk sembari memangku sebuah gitar. Dia, Rama. Dengan lincah, ia menarikan jemarinya diantara senar-senar gitar tersebut, menyanyikan lagu cinta dengan suara lembutnya yang merontokkan hatiku, seketika. Ah,, dia begitu sempurna.
                “Hay…” sapanya, setelah menyelesaikan penampilannya, dan menghampiriku.
                Tiba-tiba saja, aku membeku. Jantungku berdetak ribut. Hingga sepertinya ia dapat mendengarnya di tengah kebisingan sekalipun.
                “Tarianmu bagus” pujinya.
                Aku menunduk, malu. “Terima kasih” ucapku, lirih.
                “Apa?” ia mendekatkan wajahnya.
                Aku mendongak, untuk beberapa detik pandangan kami beradu.
                “Kamu bilang apa, tadi? Aku tidak dengar”
                “Eh, itu… terima kasih”
                “Sama-sama. Ngomong-ngomong, apa kamu tidak ingin memuji atas penampilanku, tadi?” seringai senyum indah terukir di wajahnya. Sungguh memesona.
                Rasanya, ingin sekalli saat itu aku meloncat tinggi. Menyampaikan pada langit, bahwa aku tengah berbahagia.
                Beberapa hari berselang, aku semakin akrab dengannya. Bunga-bunga di hati tak lagi merupa kuncup, mereka telah bermekaran indah. Teman-temanku pernah berkata; cinta itu indah, penuh kebahagiaan. Dan sepertinya, aku mulai membenarkan itu. Walau sebenarnya aku hanyalah seorang pecinta pemula. Semua masih abu-abu di pandanganku.
                Aku pun terbuai oleh cinta, tak dar ia telah melambungkanku, hingga aku melayang-layang di udara. Pun, tidak menyadari bahwa semua hanyalah semu. Sampai saat kenyataan menarikku kembali pada kenyataan. Saat itulah aku melihat sela-sela jemarinya tak lagi kosong. Sudah ada sesorang yang berdiri setia di sampingnya. Bukan aku.
                Kini, aku mulai mengerti bahwa cinta tak selamanya tentang senyum dan tawa. Cinta juga tentang melepaskan, merelakan, dan mengikhlaskan bersama senyum dalam air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar