Minggu, 18 Januari 2015

Terlambat


“Apa kau menyukaiku?”
Entah sudah berapa kali kau bertanya seperti itu padaku. Namun, aku  tak pernah menanggapinya. Takut. Hingga aku memilih buta dan menutupi rasa. Semua karena kau baru saja datang kepadaku. Tapi, kali ini kulihat kau mulai goyah. Seolah sadar dan bosan dengan pilihanku yang tidak adil. Hingga kau benar-benar terjatuh dan berbalik, meninggalkanku.
Agaknya karma ikut geram melihat aku yang tak kunjung sadar. Ia pun datang dengan sebilah pisau sebagai balasan, berupa sosokmu yang bahagia bersamanya—penggantiku. Dan aku pun terjatuh, jauh lebih dalam darimu. Namun, aku tidak dapat berbuat banyak. Selain berusaha bangkit dengan wajah basah, bergelimang penyesalan.
Kini, walaupun kau berdiri tepat di hadapanku, aku tidak lagi dapat meraihmu. Karena jarak tak kasat mata yang semakin melebar diantara kita.

Ditulis bersama lantuntan lagu Maudy Ayunda - Cinta Datang Terlambat

Rabu, 14 Januari 2015

Entah Sedih atau Bahagia.


[Diikutkan dalam lomba ultah ke-4 Penerbit Haru]



Pagi yang cerah untuk hari yang spesial. Suara kokok seekor ayam yang baru saja bertambah usia terdengar lebih merdu dari kandang barunya—hadiah ulang tahun dari sang pemilik untuk ulang tahunnya yang keempat.
Seorang pria paru baya datang, dan membuka pintu kandang tersebut dengan sebuah senyuman, “Hallo, Haru. Bagaimana tidurmu? Pasti nyenyak, bukan?”
Haru, ayam itu mengepakkan sepasang sayapnya dengan riang, seolah mengatakan ‘Tentu saja, Tuan. Mimpiku lebih dari kata nyenyak’. Ia pun lantas dikeluarkan dari kandangya dan dibiarkan bergabung bersama teman-teman ayam lainnya. Berlari ke sana-kemari, berkokok, mematuk, dan bermain bersama.
Haru pun menceritakan tentang kandang barunya. Tentang betapa luas, nyaman, dan bagusnya kandang itu. Teman-temannya mendengarkan setiap cerita Haru dengan rasa bahagia yang tak kalah luar biasa. Mereka juga membayangkan, jika saja mereka dapat masuk dan bermalam di kandang Haru. Pasti menyenangkan!
Namun, entah mengapa Haru merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang janggal. Satu per satu temannya menghilang. Pergi dan tak kembali lagi. Haru pun merasa kehilangan dan mulai kesepian. Ia lantas berjalan ke dengan lunglai lalu teduduk pasrah. Ini hari bahagianya, lalu mengapa teman-temannya pergi begitu saja tanpa pamit dan tidak kembali lagi?
Hari beranjak sore, teman-teman Haru pun tidak ada yang kembali menampakkan diri. Kini, ia tinggal sendirian di tempat bermain tersebut. Sesekali, ia berkokok, seolah memanggil teman-temannya. Namun, tidak ada satupun yang menyahut. Pria paru baya itu kembali menghampirinya, menggendongnya dan membawanya kembali masuk ke dalam kandang. Haru hanya menurut dalam diam.
Lalu, sebelum menutup pintu kandang, pria tersebut menundukkan kepalanya seraya tersenyum, “Mulai besok kau akan menemukan teman-teman baru. Karena hari ini teman-temanmu sudah beralih ke tangan pemilik yang baru, barangkali ada diantara mereka yang sudah berpindah masuk ke dalam perut. Entahlah. Tapi, Haru. Aku tidak akan menjual atau memotongmu sampai kapanpu, karena kau adalah ayamku yang paling istimewa.”

Minggu, 04 Januari 2015

Murderer


Dannis mematung di tempatnya berdiri sejak setengah jam yang lalu. Wajahnya sepucat mayat. Tubuhnya gemetar. Pandangannya terarah lurus ke depan. Lalu, tanpa ia sadari kakinya melangkah mendekati bibir laut. Samar-samar, ia merasakan dingin di kakinya karena basah terjilat air laut. Namun, ia terus saja melangkah pasti.
Sesak di dadanya kian menebal. Membangkitkan sebuah kenangan yang sejak lama terus berusaha dibuangnya. Dan, selalu gagal. Perlahan, suara itu mulai terdengar, diikuti wajah yang begitu dirindukannya yang mulai terlukis jelas di hadapannya. Pemuda itu terus menyusuri laut dengan mata yang mulai memerah.
“Ayo, sini. Tangkap aku!” Seru seorang gadis dengan baju setengah basah.
“Awas kamu, ya. Kalo ketangkap nanti gak bakaln aku lepasin,” ancam pemuda tersebut, sembari terus berusaha mengejar kekasihnya.
Sepasang remaja yang tengah asik menikmati indahnya cinta itu masih saja berlarian, tak peduli dengan berbagai suara yang yang meneriaki mereka dari kejauhan. Berlari dan terus berlari, tanpa dapat dikendali. Sesekali, tawa mereka menggema diantaranya.
Pemuda itu terus berusaha mengejar gadisnya, walau napasnya kian memburu dan langkahnya kian berat. Tak berapa lama, langkahnya terhenti. Matanya melebar, memandang seuatu tepat di samping gadis tersebut.
“Laras, awas!” Teriaknya. Terlambat. Gadis tersebut sudah lebih dulu digulung ombak.
Wajah pemuda tersebut pun memucat saat dilihatnya tubuh gadis itu menghilang. Ditelan laut. Tak ada satu halpun yang dapat dilakukannya, selain berdoa; berharap agar kekasihnya segera ditemukan.
Waktu bergerak begitu lambat, baginya. Dua jam berlalu begitu saja. Namun tubuh Laras belum juga dapat ditemukan. Keringat dingin mulai menyelimuti tubuh pemuda yang tak pernah berhenti merapalkan doa dari pinggir pantai. Wajah-wajah yang sarat akan kepanikanpun tersirat dari mereka yang sempat meneriaki kedua remaja yang berlarian tak kenal arah tersebut.
Satu jam setelahnya, barulah tubuh pucat seorang gadis ditemukan jauh dari tempat semula ia berlari dan tergulung ombak. Bibirnya membiru, kulitnya mulai berkerut. Seakan tersengat ribuan volt listrik, pemuda tersebut segera menghampiri tubuh yang dibopong ke pantai dan segera dimasukkan ke dalam mobil ambulans.
“Dannis!” Ucap seseorang, sembari menahan lengan Dannis. “Lo gila apa? Hah? Mau bunuh diri?” Ditariknya tubuh yang tak lagi bertenaga itu ke pinggir pantai.
Dannis termenung mendapati hampir seluruh tubuhnya basah. Entah dengan cara apa ia dapat berjalan hampir ke tengah laut. Karena kenangan itu kah? Atau, karena ia seolah melihat wajah kekasihnya tengah tersenyum memandangnya di sana? Ia lantas terduduk di depan seoarang teman yang telah menyelamatkan nyawanya.
“Gue bukan pembunuh. Bukan gue yang ngebuat Laras meninggal...” lirih Dannis mengucapkannya dengan wajah yang basah karena rintik di matanya.
Rasa penyesalan itu masih menggelayutinya. Bukan menghantuinya. Kalau saja ia dapat menyelamatkan Laras saat gadis itu hampir tergulung ombak, mungkin dia tidak akan meninggal dalam perjalan menuju rumah sakit. Mungkin gadis itu masih di sini, di sampingnya. Menemaninya, bukan menghantuinya.

Tumbal

Sosokmu tak lagi ada menemani, namun di setiap pandangan, kamu seolah hadir di dalamnya. Tersenyum, tertawa, bercanda gurau, seperti biasanya. Rasa kehilangan yang belum terobatilah yang membuatmu selalu ada dalam hari-hari kami. Tak terkecuali aku yang menganggapmu spesial dibanding yang lainnya. Karena kamu berbeda.
Tumbal? Apa benar itu nyata adanya? Aku percaya kita hidup berdampingan dengan dunia lain yang tak kasat mata. Tapi, tumbal? Sesuatu atau seseorang yang dikorbankan agar mereka—yang tidak tampak—tidak marah pada kita. Apa itu benar? Entahlah.
Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja kamu menjadi salah satu diantara mereka. Menjadi yang dikorbankan demi mereka yang tidak mengerti. Aku berusaha untuk tidak memercayainya. Pun mereka; keluarga, kerabat, sahabat, dan merka yang lainnya. Namun, kehadiranmu telah membenarkan semua yang kami tolak. Tubuh pucat yang terbujur kaku itu telah memecahkan bendungan yang terus kami coba tahan agar tidak tumpah.
Kamu telah tiada. Kamu telah dikorbankan. Tumbal.
Sore itu, dalam usahaku untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah karena menunggu, dan berujung pada sebuah tangisan. Samar-samar, pendengaranku menangkap sebuah pembicaraan yang bertemakan kamu.
"Dia berencana untuk mancing bersama dua temannya. Padahal, baik dia ataupun istrinya tidak suka memakan ikan jenis yang ia inginkan itu. Tetapi, ia tetap saja memilih pergi."
Tiba-tiba, siluet dirimu menari di hadapanku. Beraksi sesuai apa yang mereka ceritakan. Dan aku hanya diam, menikmatinya.
"Dan teman-temannya bilang, dia sempat shalat isya tak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Dan sebelumnya pun, ia menyempatkan diri makan malam bersama istrinya di rumah."
Siluet itu terus saja beraksi, tak peduli dengan wajahku yang mulai basah terguyur bulir bening. Sembari aku menikmati bayangmu, pikiranku melayang jauh. Memikirkan alasan logis apa yang membuatmu hilang dua hari satu malam, hingga akhirnya kamu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Padahal, seingatku kamu pandai dalam olahraga renang.
Kini, sosokmu hanya tinggal kenangan. Tersimpan rapi di hati setiap orang yang menyayangimu, termasuk aku. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berdiri. Denyut di kepalaku kian menggila. Tubuhku terasa berat. Tapi, aku ingin mendengar alasan yang sesungguhnya. Bukan celotehan tak berarti.
Perlahan, kuayunkan kaki dengan langkah berat menuju dapur, tempat keluargaku berkumpul. Kulewati mereka yang terus membicarakanmu begitu saja. Lalu, tiba-tiba....
"Galih tadi minta maaf. Dia bilang, dia lupa untuk memberitahu peringatan dari hantu air itu. Sudah sejak lama ia diberitahu untuk memberikan apa yang hantu air itu pinta. Tetapi, ia tak kunjung memberikannya, hingga akhirnya Argalah yang menjadi korbannya."

Tubuhku mematung, seketika. Menegang, seolah tersengat jutaan lebah. Kamu... karena itukah kamu meninggalkan kami semua? Aku benar-benar tidak dapat memercayainya.

#Challage
#KampusFiksi

#KabarDariJauh