Senin, 26 Oktober 2015

Melati Jasmine



Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima malam. Mataku mulai terasa berat. Namun, entah mengapa sepasang indera penglihatanku itu enggan untuk tertutup. Pun tubuhku yang masih terasa bugar.

Insomnia? Mungkin...

Tepat saat aku hendak mencoba menutup mata untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba bau bunga melati berjejalan di sekitar hidungku. Wanginya begitu khas. Kedua sudut bibirku tertarik berlawanan arah. Perlahan, kelopak mataku turun. Sedikit demi sedikit, lalu merapat.
'Coba saja jika kau penasaran. Petik bunganya pagi hari beberapa menit menjelang matahari terbit, maka dia akan mengiringimu sepanjang hari. Atau, petik saja di saat senja luruh, menjelang gelap. Dan dia akan mencelakakanmu.'

Aku tersentak. Kelopak mataku kembali teangkat. Mengepak beberapa kali hingga bau itu tercium lagi. Beberapa potong udara dingin menggoda tubuhku, membuatnya meremang seketika. Kalimat panjang yang diucapkan seorang temanku tempo hari kembali menggema di balik batok kepalaku. Masa iya, sih?

Aku terus memikirkannya. Menyambungkannya dengan logika dan... gagal. Terlalu mustahil, bagiku. Sejurus kemudian, kalimat-kalimat itu bagai tenggelam dalam kertas hitam. Berakhir dalam mimpi.


***** 


Aku menggeliat tak tentu arah saat lantunan lagu Flashlight milik Jessie J berkoar-koar memenuhi ruang tidurku. Kedua tanganku merayap mencari selimut, lalu saat kutemukan benda tersebut segera kutimbun seluruh tubuhku dengannya.

Jessie J masih mengeluarkan suara lembutnya. Kali ini aku mengalah. Lengkingan suaraya benar-benar merusak mood tidurku. Dengan mata yang masih terpejam, kunikmati sisa lagu tersebut. Setelahnya, kuraih benda persegi sialan itu, lalu menekan tombol off pada alarm-nya.

Satu-dua kali mulutku membentuk vokal 'A' dengan lebarnya. Lagi, wangi terakhir yang memenuhi rongga penciumanku, sebelum aku tenggelam dalam dunia bawah sadar, datang menyapa pagi baruku. Sedikit ragu, kulirik jam dinding mungil di sampingku. Pukul lima baru saja berlalu lima belas menit yang lalu. Haruskah?

Entah dorongan dari mana, kakiku turun begitu saja dari ranjang. Menuntunku keluar rumah dan berhenti tepat di depan segerombol bunga melati milik Bunda yang terlihat masih basah akibat dijamah embun.

Satu. Dua. Tiga. Empat bunga kupetik tanpa sadar. Kuhidu bunga-bunga putih yang tersenyum di atas telapak tanganku itu. Sungguh menenangkan.

"Oke, bunganya sudah kupetik. Lalu bagaimana?"

Layaknya efek angin yang biasa kulihat di tv-tv, rambutku terhempas ke sana-sini. Sisi belakang tubuhku terasa dingin. Dingin sekali.

"Tidak ada kelanjutannya. Karena setelahnya aku akan menemanimu."

Aku dengar. Aku bisa mendengar dengan jelas bisikan itu. Tetapi kosong. Saat aku memutar tubuh, tidak ada satu pun yang aneh tertangkap indera penglihatanku. Semua masih wajar. Halaman depan rumahku masih seperti biasanya. Lalu, suara apa itu tadi?

Kedua bahuku tertarik sekelebat. Aku kembali beranjak masuk ke dalam rumah. Ingin melanjutkan tidurku. Tapi..., lagi-lagi aneh. Kamarku tiba-tiba saja mendingin. Padahal, seingatku semalamam tadi aku tidak menhidupkan AC. Dengan kening berkerut, kulangkahkan kaki mendekat meja kecil di samping ranjang. Meletakkan beberapa bunga melati yang kupetik tadi.

*****

Aneh.

Seharian ini sungguh aneh. Aku merasa tubuhku begitu ringan, begitu dingin, begitu... nyaman. Setiap teman yang kutemui selalu berkata hal yang sama: dia sedang menemanimu. Wangi parfummu berubah menjadi wangi melati, itu buktinya. Yang benar saja? Aku tidak melihatnya.

Sore itu, dengan rasa penasaran yang membuncah, kupetik lagi beberapa bunga melati milik Bunda. Kali ini, saat kulihat senja mulai melebur di badan bumi. 
Satu. Dua. Tiga. Empat bunga melati. Persis seperti pagi tadi.

Gemetar, aku membalik tubuh. Menunggu hasil dari usaha gilaku. Dan benar saja. Sosok itu terlihat nyata. Dengan gaun putih panjang hampir menyentuh tanah, juga rambut yang terurai panjang hingga pinggang. Dia tersenyum angkuh padaku.

"Hay, Jasmine. Mencariku?" tanyanya tanpa ekspresi. Aku diam. Bungkam. Bisu. "Baiklah. Kita akan terus bersama mulai sekarang."

Selangkah, dia mendekat. Aku mundur dengan sigap. Langkahnya terus bertambah seiring langkahku yang semakin bergetar. Dan tepat saat langkahnya berakhir, aku tidak merasakan apa pun lagi. Terakhir yang kuingat, tubuhku terbujur pasrah di tengah jalan dengan darah yang keluar dari mata, hidung, telinga, dan mulutku.







Well, ini iseng doang, sih. Daripada blog gue gak di-update dan gue pun lagi gabut banget ini. Hahaha :D