Sakit itu pernah ada. Membekas. Tidak akan pernah hilang.
Karena, dia yang telah melemparkannya padaku. Dan, karena itu pula aku sempat
membencinya. Hingga berbagai sumpah serapah keluar dari bibirku. Sungguh! Dia
adalah orang yang paling jahat yang pernah kutemui seumur hidup ini. Tetapi, berkat
dialah aku mengerti kerasnya hidup. Dia yang telah membuka mataku pada dunia
yang sesungguhnya.
Langit September tahun ini selalu terlihat gelap. Siap
menumpahkan beningnya kapan saja. Aku melirik arloji yang melingkar di
tanganku. Sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang dijanjikan. Dia selalu
saja begini, tidak pernah tepat waktu. Aku mulai lelah dengan sikapnya yang
tidak pernah berubah.
“Sudah lama, ya?” Suara bariton itu menghentikan
penantianku.“Maaf, ya. Ada urusan mendadak,” lanjutnya.
Aku menoeh, “Tidak apa-apa. Ada perlu apa kamu mengajakku
bertemu di sini?”
“Besok ulang tahunmu, kan? Aku ingin kita merayakannya
bersama. Kamu mau?” Tanyanya dengan penuh harap.
Sekilas, aku seperti melihat kilatan nakal di matanya.
Tapi, segera kubuang jauh-jauh. Dia… pria yang duduk di sampingku ini sudah
berjanji akan merubah sikapnya. Sedikit demi sedikit.
“Iya. Boleh.”
Ia
meloncat kegirangan, “Kalau begitu, besok aku jemput jam 8 malam. Oke?”
Malam?
Kenapa harus malam? Tidak bisakah kita merayakannya di siang atau sore hari
saja
Tiba-tiba, berbagai pikiran negatif berputar di
kepalaku. Takut. Sikapnya. Teman-temannya. Pergaulannya. Semua tentangnya
selalu berhasil membuat bulu kudukku meremang.
“Jam 8 malam?” Aku mencoba bernegosiasi dengannya.
“Iya. Kenapa? Ayolah, San. Untuk kali ini saja. Kamu sudah
dewasa, bukan anak SMA lagi.”
Aku menunduk, pasrah. Satu lagi sifat buruknya keluar.
Selalu tidak ingin dibantah. Apapun keputusannya, aku harus berkata ‘iya’.
Pernah aku berkata 'tidak’ atas keinginannya yang lain. Satu kali. Dan itu
sudah cukup membuatku untuk menghilangkan kata 'tidak’ dalam kamusku.
Di atas sana, langit telah membentangkan jubah hitamnya.
Beberapa sinar keemasan membuatnya tampah cantik. Di depan televisi, di ruang
keluarga, aku terus meremas pinggiran bantal di pangkuanku. Berharap dapat
melenyapkan kegelisahan. Kulihat Abang yang berjalan mendekati pintu.
Membukanya. Lalu, tersenyum pada sang tamu.
“Bagas? Mau jemput Sandra?”
Aku menegakkan kepala saat mendengar namaku disebutkan.
Sekali lagi, aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Belum
sampai langkahu saat mendekati mereka, Abang sudah lebih dulu menahan
tangannku.
“Kamu yakin mau jalan dengan dia? Berdua? Tidak mau abang
temanin?” dapat kurasakan kecemasan dalam setiap kata-katanya.
“Aku bisa jaga diri,” jawabku, yakin. Lantas melepaskan
tangannya.
Sepi lebih mendominasi perjalanan kami. Hanya suara angin
yang mengelus wajah, sesekali terdengar. Debar jantungku kian menggila, bersama
jarak yang kian menebal. Aku terperangah saat ia menghentikan motornya di
parkiran club malam. Tiba-tiba saja, dingin
menyelimuti tubuhku.
“Ini… kamu… tidak salah, kan?” Tanyaku, sedikit terbata.
“Ngga. Kenapa?”
Aku seakan kehabisan udara
saat mendengar jawabnya yang meluncur dengan santai. “Kamu… gak serius, kan,
Gas?”
“Sudahlah. Ayo, kita masuk.” Tanpa ba-bi-bu lagi, dia
menarik lenganku dan menuntunku memasuki gedung gelap dengan sinar pelangi itu.
Entah apa yang kurasakan saat itu. Suara dentuman musik
yang memekakkan telinga. Beberapa orang yang melanggak-lenggok tak tentu arah.
Tertawa lepas, seakan tak mengenal beban. Dan… diriku yang basah, berselimut
keringat dingin. Segelas soft
drink di hadapanku tak kusentuh
barang seujung jari. Bagas pun sibuk bercengkrama dengan teman-temannya, tanpa
mempedulikan keadaanku.
Aku berdiri, perutku mendadak mual melihat aktivitas di
sekelilingku. “Aku mau ke toilet,” ucapku singkat. Dan berlalu meninggalkan
Bagas bersama teman-temannya.
Lagi-lagi
langkahku terhenti begitu saja. Mual di perutku semakin menggila. Ditambah
kepalaku yang mulai terasa berat. Pemandangan apa lagi ini? Sedang apa mereka?
Berpelukan… ah, entahlah. Gegas, kutinggalkan tempat itu dan menghampiri Bagas.
“Aku mau pulang,” ucapku, begitu sampai di hadapannya.
“Apa? Kenapa?” Wajahnya mulai mengeras. Aku tahu dia paling
benci ditentang. Tapi, aku benar-benar sudah tidak sanggup dengan tingkahnya.
“Tidak masalah kalau kamu tidak bisa mengantar. Aku bisa pulang
sendiri,” segera kuambi angkah panjang, meninggalkan Bagas yang berkali-kali
meneriaki namaku.
Malam ini adalah kado ulang tahun terburuk yang pernah
kudapat. Dan aku tidak akan melupakannya. Akan kujadikan peringatan atas
sikap-sikap Bagas terhadapku. Balasan atas kebaikanku yang berniat membantunya
untuk merubah semua kebiasaan buruknya.
Enam buan
berlalu tanpa jejak. Tidak ada kepastian atas hubunganku dengan Bagas. Semua
kubiarkan begitu saja. Karena semua sudah berakhir.
Oktober berlalu bagai helaan angin.
Siang itu, aku menelusuri jalan di dekat kampusku dengan
ritme lambat. Otakku sibuk memikirkan satu nama. Pria yang dalam beberapa buan
ini terus mengejarku dan memaksakan perasaannya terbalaskan olehku. Lau, tak
tahu dari mana asalnya, sebuah mobil berwarna gelap berhenti tepat di
sampingku. Seorang pria keluar dengan terburu-buru dan membekapku dari
belakang. Kaget. Aku hanya bisa berdiam diri. Aku tak tahu apa yang terjadi
selanjutnya. Semuanya gelap.
Satu hal yang aku tahu, aku terbangun di sebuah ranjang
tanpa sehelai kainpun, hanya ditutupi dengan selembar selimut putih. Dengan
wajah basah, segera aku mengedarkan pndanga. Kosong. Tak ada seorangpun. Lalu,
tiba-tiba saja daun pintu kamar mandi tak jauh dariku terbuka. Seseorang yang
sangat kuhapal wajahnya keluar dengan memakai bathing
suit. Dia… pria yang menghantuiku beberapa bulan belakangan. Pria yang
sakit hati karena cintanya yang kutolak.
“Sudah bangun, sayang?” Tanyanya, lembut. Namun, terdengar
menjijikkan di telingaku.
Oh, Tuhan. Apa lagi ini?Apa salahku?
Hujan semakin deras membasahi wajahku. Hancur sudah
hidupku. Masa depanku berubah gelap, seakan kehilangan mataharinya. Benci. Aku
membenci mereka yang hanya merusak hidupku.
Satu bulan berlalu. Semua hanya kuhabiskan dengan berdiam
diri di kamar. Menangis, lalu tersenyum sinis. Membuat keluargaku semakin kalut
dengan keadaanku yang tak menentu. Mereka lalu membawaku ke rumah sakit. Aku
hanya tersenyum miring memandang dokter ahli kejiwaan yang duduk di hadapanku.
What’s going on, here? Mereka menganggapku sudah tidak
waras lagi? Hey, orang-orang yang sudah menghancurkan hidupku itu yang sudah
kehilangan akal sehatnya!
Pulangnya, aku diberi beberapa obat penenang. Entah apa
akan berfungsi untuk menenangkan hatiku yang sudah terlanjur hancur.
“Tunggu sebentar, ya. Bunda ambilkan air putih dulu,”
setetes air mata meluncur di pipinya. Tak tahu sudah berapa banyak air mata
yang beliau tumpahkan.
Sekelebat bayangan tentang kejadian-kejadian mengerikan itu
kembali menampakkan diri, membuatku hampir frustasi. Detik berikutnya, tak tahu
mendapat bisikan dari mana, aku meraih sebuah benda yang tergeletak di atas
meja, di samping ranjangku. Kutatap benda itu penuh permohonan. Perlahan kuayunkan
tanganku yang menggenggam benda itu, seraya berdoa atas sebuah cara yang
kuyakini akan menghilangkan rasa sakit di hatiku, tanpa bekas. Nyaris saja
benda itu melakukan tugasnya dengan baik, kalau saja Abang tidak merampas dan
membuangnya.
“Apa-apaan kamu ini? Jangan main-main dengan pisau itu.
Kamu bisa kehilangan nyawamu!” Bentak Abang. Wajahnya memerah menahan amarah.
Aku
memandangnya sendu. Berharap ia mengerti lelah yang kurasakan. Tetapi, ia
justru terduduk di hadapanku.
“Kumohon, satu kali saja. Biarkan Abang mendatanginya,
memberikan rasa sakit yang setimpal,” lirih, ia memohon kepadaku.
Aku ingin. Sangat ingin melihat mereka merasakan sakit yang
sama sepertiku. Tapi, apa itu bisa menghilangkan semua yang terjadi padaku? Tak
ada jawaban yang kuberikan. Hanya air mata yang terus mengalir di wajahku, dan
kini juga di wajahnya.
Aku
seperti tidak mengenal malam, pun mimpi. Hidupku sudah terlalu kelam dan semua
yang terjadi bagai mimpi buruk. Tak tahu sudah berapa kali aku mencoba
memutuskan napasku, tapi semua usahku selalu berhasil digagalkan. Lelah yang
menggelayutiku, semakin memberatkan tubuhku. Aku semakin tak dapat berbuat
apa-apa. Untuk berdiri saja, sungguh sulit rasanya.
“Ayolah, San. Abang tahu kamu kuat. Bangun dan perlihatkan
pada mereka betapa kuatnya dirimu.”
Sepanjang hari, kalimat yang pernah diucapkan saudaraku itu
terus menggema di telinga dan pikiranku. Sedikit demi sedikit aku mencoba untuk
berdiri, walau langkahku masih terseok-seok. Kuat. Aku harus kuat. Akan
kuperlihatkan pada mereka bahwa keinginan mereka untuk membunuhku secara tidak
langsung itu bukanlah hal gampang. Dan nanti akan ada waktunya untukku
membalaskan semua perbuatan yang pernah mereka lakukan padaku.
Waktu
terus berlari dengan cepat, aku terus berusaha menjajarinya. Ketika suatu
waktu, Tuhan mempertemukanku kembali pada salah satu manusia tak berhati yang
datang dalam hidupku. Dengan santai, tanpa dosa ia masih saja merayuku.
Menggodaku lebih dari sebelumnya.
“Sudah lama tidak jumpa. Bagaimana kabarmu, sayang?”
Hampir
saja lengan kotornya itu melingkar di bahuku, sebelum aku berhasil menamparnya.
Hah, kenapa tidak dari dulu saja aku melakukannya kalau tahu rasanya sebahagia
ini?
“Sakit? Ohh...” Ucapku santai, dan berlalu dari hadapannya.
Namun, setelah beberapa aku melangkah menjauhinya, rasa sesa menghampiriku. Ah,
kenapa tidak sekalian saja kucongkel matanya dengan stiletto yang kupakai.
Dunia ini memang keras. Kejam. Tapi, itu hanya dirasakan
untuk mereka yang menyerah pada hidup. Aku memang pernah terjatuh. Cukup dalam.
Sakit. Tapi, aku bisa bangkit. Karena mereka yang membutuhkan dan sayang padaku
lebih banyak dan kuat dari hidup ini.
Teruntuk mereka yang pernah berusaha menghancurkan, bahkan
mungkin membunuhku. Terima kasih. Berkat kalian aku seperti ini, mengerti arti
hidup yang sesungguhnya. Berkat kalian, aku bisa berdiri tegap di atas kakiku
sendiri. Kuat. Kokoh.
[Sepenggal curahan hati dua anak Adam yang difiksikan .]
[Sepenggal curahan hati dua anak Adam yang difiksikan .]
Well,
ceritanya rada garing. Tapi, ya, kalo kata kakak—yang ceritanya aku pinjam—itu;
lumayanlah daripada lumayun. :D