Senin, 26 Oktober 2015

Melati Jasmine



Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas lewat lima malam. Mataku mulai terasa berat. Namun, entah mengapa sepasang indera penglihatanku itu enggan untuk tertutup. Pun tubuhku yang masih terasa bugar.

Insomnia? Mungkin...

Tepat saat aku hendak mencoba menutup mata untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba bau bunga melati berjejalan di sekitar hidungku. Wanginya begitu khas. Kedua sudut bibirku tertarik berlawanan arah. Perlahan, kelopak mataku turun. Sedikit demi sedikit, lalu merapat.
'Coba saja jika kau penasaran. Petik bunganya pagi hari beberapa menit menjelang matahari terbit, maka dia akan mengiringimu sepanjang hari. Atau, petik saja di saat senja luruh, menjelang gelap. Dan dia akan mencelakakanmu.'

Aku tersentak. Kelopak mataku kembali teangkat. Mengepak beberapa kali hingga bau itu tercium lagi. Beberapa potong udara dingin menggoda tubuhku, membuatnya meremang seketika. Kalimat panjang yang diucapkan seorang temanku tempo hari kembali menggema di balik batok kepalaku. Masa iya, sih?

Aku terus memikirkannya. Menyambungkannya dengan logika dan... gagal. Terlalu mustahil, bagiku. Sejurus kemudian, kalimat-kalimat itu bagai tenggelam dalam kertas hitam. Berakhir dalam mimpi.


***** 


Aku menggeliat tak tentu arah saat lantunan lagu Flashlight milik Jessie J berkoar-koar memenuhi ruang tidurku. Kedua tanganku merayap mencari selimut, lalu saat kutemukan benda tersebut segera kutimbun seluruh tubuhku dengannya.

Jessie J masih mengeluarkan suara lembutnya. Kali ini aku mengalah. Lengkingan suaraya benar-benar merusak mood tidurku. Dengan mata yang masih terpejam, kunikmati sisa lagu tersebut. Setelahnya, kuraih benda persegi sialan itu, lalu menekan tombol off pada alarm-nya.

Satu-dua kali mulutku membentuk vokal 'A' dengan lebarnya. Lagi, wangi terakhir yang memenuhi rongga penciumanku, sebelum aku tenggelam dalam dunia bawah sadar, datang menyapa pagi baruku. Sedikit ragu, kulirik jam dinding mungil di sampingku. Pukul lima baru saja berlalu lima belas menit yang lalu. Haruskah?

Entah dorongan dari mana, kakiku turun begitu saja dari ranjang. Menuntunku keluar rumah dan berhenti tepat di depan segerombol bunga melati milik Bunda yang terlihat masih basah akibat dijamah embun.

Satu. Dua. Tiga. Empat bunga kupetik tanpa sadar. Kuhidu bunga-bunga putih yang tersenyum di atas telapak tanganku itu. Sungguh menenangkan.

"Oke, bunganya sudah kupetik. Lalu bagaimana?"

Layaknya efek angin yang biasa kulihat di tv-tv, rambutku terhempas ke sana-sini. Sisi belakang tubuhku terasa dingin. Dingin sekali.

"Tidak ada kelanjutannya. Karena setelahnya aku akan menemanimu."

Aku dengar. Aku bisa mendengar dengan jelas bisikan itu. Tetapi kosong. Saat aku memutar tubuh, tidak ada satu pun yang aneh tertangkap indera penglihatanku. Semua masih wajar. Halaman depan rumahku masih seperti biasanya. Lalu, suara apa itu tadi?

Kedua bahuku tertarik sekelebat. Aku kembali beranjak masuk ke dalam rumah. Ingin melanjutkan tidurku. Tapi..., lagi-lagi aneh. Kamarku tiba-tiba saja mendingin. Padahal, seingatku semalamam tadi aku tidak menhidupkan AC. Dengan kening berkerut, kulangkahkan kaki mendekat meja kecil di samping ranjang. Meletakkan beberapa bunga melati yang kupetik tadi.

*****

Aneh.

Seharian ini sungguh aneh. Aku merasa tubuhku begitu ringan, begitu dingin, begitu... nyaman. Setiap teman yang kutemui selalu berkata hal yang sama: dia sedang menemanimu. Wangi parfummu berubah menjadi wangi melati, itu buktinya. Yang benar saja? Aku tidak melihatnya.

Sore itu, dengan rasa penasaran yang membuncah, kupetik lagi beberapa bunga melati milik Bunda. Kali ini, saat kulihat senja mulai melebur di badan bumi. 
Satu. Dua. Tiga. Empat bunga melati. Persis seperti pagi tadi.

Gemetar, aku membalik tubuh. Menunggu hasil dari usaha gilaku. Dan benar saja. Sosok itu terlihat nyata. Dengan gaun putih panjang hampir menyentuh tanah, juga rambut yang terurai panjang hingga pinggang. Dia tersenyum angkuh padaku.

"Hay, Jasmine. Mencariku?" tanyanya tanpa ekspresi. Aku diam. Bungkam. Bisu. "Baiklah. Kita akan terus bersama mulai sekarang."

Selangkah, dia mendekat. Aku mundur dengan sigap. Langkahnya terus bertambah seiring langkahku yang semakin bergetar. Dan tepat saat langkahnya berakhir, aku tidak merasakan apa pun lagi. Terakhir yang kuingat, tubuhku terbujur pasrah di tengah jalan dengan darah yang keluar dari mata, hidung, telinga, dan mulutku.







Well, ini iseng doang, sih. Daripada blog gue gak di-update dan gue pun lagi gabut banget ini. Hahaha :D

Senin, 28 September 2015

Perayaan Dua Tahun

Maybe it's intuition
But some things you just don't question

Like in your eyes, I see my future in an instant
And there it goes,
I think I found my best friend
I know that it might sound more than a litle crazy
But, i believe...
            “Nis, kenalin dulu. Ini Afaf, temannya Bian. Kamu sama dia aja dulu, ya. Aku sama Bian mau main ke sana” ucap Kia, tepat saat mp3 pada ponselku mengalunkan lagu Savage Garden, menggantikan lagu ours yang baru saja dinyanyikan Taylor Swift.
            Dengan tatapan yang jauh dari kata bersahabat, aku menoleh, memandang pemuda yang telah berdiri di depanku. Namun, detik berikutnya, aku seakan disihir oleh senyum menawan—senyum indah bagai lengkung bulan sabit—pemuda itu, seketika hilang sudah kesalku tanpa bekas. Segera aku menyadarkan diri sebelum ia mengira yang tidak-tidak tentangku.
            “Hey, aku Afaf.” dengan gagahnya pemuda itu mengulurkan sebelah tangannya.
            Sesaat, aku terdiam memandang tangan yang dilapisi kemeja berlengan pendek, menampakkan sedikit otot-otot lengannya. Lantas, kuberanikan diri membalas uluran tangannya dengan tanganku yang mulai berkeringat dan gemetar.
            Entah dengan cara apa, aku merasa begitu dekat dan akrab dengan Afaf. Walau,  dalam perkenalan yang teramat singkat. Bermula dengan saling menanyakan hal remeh-temeh, hingga obrolan tak terarah yang mengalir dari bibir begitu saja. Senyum terus merekah dengan satu-dua tawa menggema. Aku tak mengerti rasa apa ini namanya. Yang ku tahu, aku suka bisa bersama pemuda hitam manis itu dengan jarak sedekat ini.


        Episode demi episode terus berputar. Aku hanya dapat, menontonnya dengan pasrah. Dengan sesak di dada yang semakin tak keruan saat episode yang berisi pertemuan terakhir kita terputar.


            “Apa kamu percaya dengan cinta pada pandangan pertama?” tiba-tiba saja Afaf menanyakannya padaku. Tanpa basa-basi, tanpa canggung sedikit pun.
            Aku menoleh, memandang penuh tanya. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”
            Bibirnya melengkung indah, sebelum menjawab. “Aku percaya. Karena, itu terjadi padaku saat ini. Aku jatuh cinta pada gadis yang baru sebulan ini kukenal. Dia gadis yang manis, lucu, dan unik. Aku sudah jatuh cinta dengannya, bahkan sebelum aku mengenalnya.” Lantas, Afaf menoleh ke arahku, masih dengan senyum manis itu. “Bagaimana denganmu? Apa kamu juga merasakan hal yang sama?”
            Seketika napasku tecekat. Tak dapat menghirup oksigen dengan benar. Jantungku memompa heboh. Ada desiran aneh saat Afaf menyelesaikan kalimatnya. “A-apa maksudmu?.”
            Afaf tersenyum penuh makna. “Bisakah kamu mencernanya dari lagu ini?”

I knew I loved you before I met you
I think I dreamed you into life
I knew I loved you before I met you
I have been waiting all my life

            Perlahan, suara lembut yang belakangan sering kudengar menggema dari dalam ponselku menerjang indera pendengaranku. Tidak perlu waktu lama untuk aku memahami apa maksudnya. Karena memang semenjak pertemuan pertamaku dengan Afaf, lagu itu telah menjadi sesuatu yang wajib kudengar setiap harinya.

            Perlahan, mataku memanas. Pandanganku kabur tertutup embun yang mulai berusaha menjatuhkan bulir beningnya. Aku sadar akan kebodohanku. Terlalu naif untuk perasaan yang akhirnya hanya akan menyakitiku. Namun, aku tidak dapat berbuat apapun saat kulihat langkah kakinya yang beralawanan denganku. Dengan wajah basah, aku hanya dapat memandang punggungmu yang kian memudar termakan jarak yang kian menebal.
            Semua terus berulang, hingga berbulan lamanya. Hingga aku mulai menyerah dengan keadaan. Dan saat itulah kulihat sebuah tangan terulur, membantuku untuk lepas dari belenggu mengerikan itu. Dia adalah orang yang berbeda denganmu. Tidak selincah dan seindah dirimu. Namun, dialah orang  yang mampu menolongku. Dia yang semula kukira hanya sebagai tempat pelarian saja.
            Walau bagaimanapun aku, dia tetap membentangkan lengannya dan menerimaku dengan senyuman. Saat itulah, kisah baruku dimulai. Kisah cinta bersama orang yang berbeda, dengan aku yang tetap menjadi pemeran utamanya.
            Lalu, entah apa rencana Sang Pencipta di balik semua ini. Dengan cara tak disangka, aku kembali dipertemukan dengan pemuda dengan senyum bulan sabit itu. Kami bertemu, bertatap muka  dengan suasana yang berbeda. Aku dengannya. Dan kamu dengan seseorang—yang kutebak adalah penggantiku.
            Bagai dua orang asing yang baru saja dipertemukan. Kita saling melempar tatapan kosong, bukan pandangan penuh cinta seperti dulu. Kenal, tapi seakan tidak saling mengenal. Hatiku yang sudah lama tak bertemu denganmu, bahkan sudah mulai lupa cara mengeja namamu. Kini, seakan menjerit memanggilmu.
            “Eh, Nisa? Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?” sapamu, seperti mendengar jeritan hatiku.
            “Kabar baik. Bagaimana denganmu?” saat kalimat yang terdengar bergertar itu terurai dari bibirku, sekilas, kulirik dia yang berdiri di sampingku. Tatapan tajamnya tertuju lurus padamu. Jantungku semakin berdetak ribut.
            “Aku juga baik. Oh, iya. Kenalkan, ini Franda, pacarku.” Seorang gadis mungil mengulurkan sebelah tangannya padaku. Tepat dugaanku.
            Aku membalas uluran tangannya sembari tersenyum  seramah mungkin. “Nisa.” Beberapa detik aku hanya diam dengan tangan yang masih menggenggam tangan perempuanmu. “Ah, iya. Kenalkan juga. Ini Rangga... pacarku.”
            Setelahnya, kami duduk dalam satu meja. Saling bertukar kisah. Lalu, entah mengapa, kurasa sesak di dadaku tak kunjung menghilang. Tetapi, harus kuakui, ada rasa tak rela saat melihat sepasang jemari itu saling bertautan.
            Satu hal yang mengejutkanku, saat kuingat bahwa ini adalah Desember. Pertemuan kita bagai reuni setelah dua tahun tak saling jumpa. Seolah merayakan kisah dua tahun yang lalu degan iringan lagu yang menggema dari sepaker kafe. I knew i love you. Lagu yang mengiringi awal jumpa kita. Kisah yang telah menjelma sejarah.

Rabu, 23 September 2015

Seumpama Pagi


Setetes harapan akan terus tumbuh
Seiring doa yang berbisik lirih


Matahari mulai menghilang di balik gedung-gedung pencakar langit ketika aku berjalan memasuki lorong kecil yang diapit bangunan tua tak terpakai. Menghamburkan cercahannya yang memudar dalam kelembutan. Beberapa angin nakal mengaduk-aduk rambutku saat menyusul langkah panjang pemuda di depanku dengan tergopoh-gopoh. Ravid Arkan—pemuda berkulit sawo matang—yang sejak hampir sepuluh tahun yang lalu menjadi sahabatku.

Hampir saja aku menubruk tubuh tegap Ravid saat pemuda itu tiba-tiba saja berhenti. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aku mendesah pelan.

“Sudah sampai?” tanyaku seraya melempar pandangan pada setiap sudut di sekitar.

Ravid membawaku ke sebuah lapangan kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan sebatas mata kaki. Beberapa lembar daun dari pohon—dengan ranting yang mulai menua—saling bergesekan. Sepi. Hening. Hanya kami berdua yang ada di tempat itu.

Dengan gerakan lambat, pemuda itu memutar tubuhnya, tersenyum lebar, lantas mengangguk.

 “Bisa kita duduk?”

Lagi, Ravid tidak bersuara. Selama beberapa detik, ia masih setia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya. Aku berdecak kesal.

 “Bisa kita duduk?” ulangku.

Ravid terkesiap, diraihnya lengan kananku agar lebih dekat dengannya. “Di sini saja.”

Menit meloncat-loncat. Langit tidak lagi membentangkan layar jingga. Sepotong benda bercahaya menampakkan diri di ujung pandangan, berpendar bersama beberapa benda mungil yang menyembul di balik layar hitam.

 “Bagaimana hubunganmu dengan Lio?” tanyanya, membuyarkan lamunanku.

Aku menghela napas berat, “Entahlah.”

“Entahlah?” ulangnya, tak mengerti.

“Ya, entahlah. Aku juga gak ngerti. Kenapa?”

Ravid tidak menjawab. Aku meliriknya yang mulai memejamkan mata.

 “Mulai bosan lagi?”

Aku tertawa kecil, “Kamu sungguh mengenalku.”

“Sampai kapan kamu akan mempermainkan banyak hati seperti itu? Tidak takut karma?”

Aku bergeming. Enggan menjawab pertanyaan yang tak terhitung sudah berapa kali keluar dari bibir tipisnya. Karma? I think it would be my best friend. Soon. Membayangkannya membuat sekelebat senyum mampir di bibirku. Mungkin saja kering di hatiku sedikit terobati dengan karma yang menemani duka. Mungkin saja.


*****

Karena hati terlalu rapuh
Dan bibir yang kelu
Hanya untuk berkata maaf


“Kamu payah. Baru lari segitu doang sudah capek.”

Aku memutar bola mata, memandang Ravid dengan tajam. “Segitu doang? Lari tiga kilo dengan perut yang baru diisi ‘segitu doang’?”

“Ya, kan, seharusnya tenagamu bertambah. Nin.”

 “Tauk, ah!” aku melempar tubuh pada punggung sofa—yang cukup besar untuk menenggelamkan seluruh tubuhku.

“Masih untung aku ajak langsung pulang ke rumahmu, bukan ke rumahku. Kan, lumayan buat olahraga.”

 “Sana, lari sendiri.”

Ravid tidak menjawab. Dia melangkah pergi meninggalkanku, lalu kembali dengan dua gelas air putih di tangannya. “Jangan air dingin, gak bagus buat kesehatan.”

Aku tersenyum miring, “Thank’s.”

Hening sebentar. Rongga dadaku tiba-tiba saja sesak. Keringat berguguran dari kedua sisi pelipisku. Aku menggigit bibir menahan sakit yang teramat sangat. Aku yakin, jika saat ini Ravid tidak sedang berada di sampingku, aku kan menjerit sekuat mungkin, melampiaskan rasa sakit yang tiba-tiba saja menerjang kepalaku.

“Menurutmu cinta itu apa?”

Sayup-sayup, aku mendengar Ravid kembali membuka suara.

“Menurutku, cinta itu seperti kupu-kupu. Indah. Menggoda. Bebas. Cinta itu rasa yang paling indah dengan pesonanya yang menggoda. Cinta bebas memilih dengan siapa dia akan jatuh, bagaimana cara dia mencinta, seperti apa ceritanya, dan... cinta tidak terikat dengan logika yang terus berusaha mengaturnya.” Lanjut Ravid.

Aku menoleh seraya mengerutkan kening. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba bicara tentang cinta? Namun, belum selesai kebingunganku, rasa mual menggelitik ulu hatiku.

“Rav...,” desisku.

Tubuhku sudah benar-benar diselimuti keringat dingin.  Pompaan jantung yang tidak beraturan menyulitkanku untuk bernapas.

“Ravid...,” suaraku terdengar semakin lirih.

“Morning, Sweety.” Tiba-tiba saja, seoarang pemuda duduk di sampingku.

Aku terkesiap. Memandang pemuda itu tak acuh. Lantas memberinya seulas senyum berat.

“Loh, kamu kenapa, Sayang? Kok pucat? Kamu sakit?” tanyanya beruntun.

Aku bergeming. Bibirku terasa berat untuk digerakkan.

“Panas banget!” serunya seraya meletakkan punggung tangannya di keningku.

Aku melirik Ravid yang masih saja diam. Matanya tidak lagi fokus memandang langit-langit, tatapannya beralih padaku. Sorot matanya tajam. Bibirnya mengatup rapat. Sekuat tenaga aku menata perasaan.

“Lio..., bisa bantu aku ke kamar?” suaraku terdengar serak.

Dengan sigap, dituntunnya aku berdiri, lantas membimbingku menuju kamar yang letaknya cukup jauh di belakang. Ada sekelebat rasa menghampiriku saat meninggalkan Ravid.


*****


Wahai, Kasih....
Menunggumu seumpama menanti pagi datang
Menyuguhkan embun yang basah
Menyejukkan hati yang kering


Aku mengembuskan napas berat. Mengingat kalimat panjang yang diucapkan Ravid beberapa hari yang lalu. Entah benar atau tidak, aku menangkap maksud lain yang terkandung di dalam kalimatnya itu. Entahlah.

Seperti dugaanku sebelumnya, virus yang tergolong ganas yang bersemayam di dalam aliran darahku cepat atau lambat akan membawaku ke tempat mengerikan ini. Tempat yang menyimpan sejuta kesedihan.

Sore tadi, setelah menyaksikan keruntuhan matahari dari balkon kamar. Sepasang anak Adam membawaku ke tempat ini, setelah tanpa sengaja melihat wajah pucatku dan darah yang mengalir dari hidung. Dan, sialnya lagi, pria berjas putih yang memeriksa keadaanku tadi tidak memperbolehkanku pulang.

“Siapa yang akan lebih dulu pergi? Kurasa..., aku. Tubuhmu terlalu bugar untuk pergi.”

Kurasakan pohon harapan di hatiku yang kian melemah, hanya menyisakan beberapa ranting doa yang masih kugumamkan. Semakin mengering seiring dengan bergugurnya lembar demi lembar daun yang—dulu—dipupuk dengan cinta.

Tiba-tiba, kurasakan seseorang melingkarkan lengannya di pinggangku. “Bagaimana jika kita pergi bersama?”

“Kamu... sejak kapan ada di sini?” tubuhku menegang saat mengetahui siapa yang tengah berdiri di belakangku itu. Ravid.

“Kamu terlalu baik untuk menutupi penyakitmu itu dariku.” Ia melonggarkan rengkuhanya. “Kenapa tidak cerita? Apa leukimia-mu itu terlalu hebat?” Ravid tersenyum remeh.

Aku tertawa lemah, “Lalu, bagaimana dengan kanker-mu itu? Apa dia lebih kuat dibanding penyakitku? Hmm? Apa kanker-mu itu sanggup membuatmu menghilangkan aku dari otakmu?”

Ravid tersentak, lengannya benar-benar lepas dari pinggangku.

“Aku terlalu mengenalmu untuk itu.”

Sejurus kemudian, pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat berbeda dari yang biasa kulihat. Ada rasa perih di dalamnya.

“Jadi? Sekarang dua orang penyakitan tengah menutupi perasaannya masing-masing?”

Keningku berkerut, “Maksudmu?”

Ravid melengos, “Apa giliranku sudah datang? Kamu bilang sudah bosan dengan Lio, bukan?”

Lalu, semua memerah dadu. Menatap satu sama lain dengan wajah yang mengembang malu.

Cinta Tiga Saudara

Alunan lagu I'm coming home milik Skylar Grey terdengar dari ponsel Safa, ringtone panggilan masuk. Ia membanting tubuhnya pada ranjang bernuansa cokelat, lantas meraih ponselnya yang masih setia memperdengarkan lagu favoritnya itu
Vano's calling
Safa menghela napas, enggan menjawab panggilan tersebut. Tak lama, ponselnya berhenti bergetar, begitu pun dengan lagunya. Namun, tak sampai dua detik, ponsel itu kembali bernyanyi, seraya memunculkan nama yang sama. Hingga pada panggilan ketiga, barulah Safa menjawabnya.
"Ya?"
Berisik sekali suara di seberang sana. Mau tidak mau, dengan kening berkerut, Safa menajamkan indera pendengarannya. Sulit memang, tapi, setidaknya, Safa dapat mendengar suara bergetar Vano yang sepertinya berbicara dengan sedikit berteriak.
"Kamu harus segera datang kalau kamu tidak ingin menyesal."
Begitu  bunyi kalimat terakhir yang didengar Safa, sebelum detik berikutnya panggilan diputuskan secara sepihak oleh sang penelpon. Kerut di dahi Safa bertambah banyak. Tidak mengerti apa maksud ucapan Vano. Ia lantas memilih memejamkan mata, tidur. Karena, sesungguhnya, sulit bagi Safa untuk bertemu dengan Vano. Terlebih setelah pemuda itu menyatakan perasaannya, beberapa bulan yang lalu.

*****

"Dari mana kamu tau aku di sini?"
"Dari..."
Safa mengangkat sebelah alisnya, "Kamu mengikutiku?"
Dan, saat itu juga, wajah pemuda di sampingnya itu memerah padam.
"Dasar! Ada perlu apa?" tanya Safa, kembali melempar pandangan pada hamparan bunga melati di depannya.
Bukannya menjawab pertanyaan Safa, pemuda itu justru mengangkat selebar kertas, tepat di depan wajah Safa. "Mau aku temani untuk daftar?"
Sesaat, Safa hanya diam. "Serius? Sumpah, ini beneran? Dance competition? Di sini? Kapan pendaftarannya dimulai? Pokoknya, kamu harus temani aku, Dan. Gak mau tau!" cecar Safa saat menyadari apa yang tertera pada kertas dalam genggamannya.
Danu. Pemuda itu hanya mengangkat lengan kirinya, mengacak-acak rambut Safa, gemas. Sedikit tawa terdengar dari bibirnya. Heran dengan mood perempuan di sampingnya itu yang mudah sekali berubah-ubah. Padahal, beberapa saat sebelum ia menghampiri Safa, dilihatnya raut kesedihat menyelimuti wajah manis gadis di sampingya itu.
"With my pleasure, Miss."

*****

“I don't wanna hurt him anymore
I don't wanna take away his life
I don't wanna be a murderer
A murdere... no no no..."
Safa menyelesaikan lagunya. Setetes air asin meluncur, keluar dari matanya. Entah mengapa, menurutnya, lagu milik Rihanna itu sangat pantas untuk perasaannya saat ini. Dan, harapannya akan sesak yang mengurai bersama setiap lirik lagu yang ia lantunkan, nyatanya tidak membuahkan hasil.
Sudah beberapa minggu ini, Safa seperti merasakan ada sesuatu yang berperang di hatinya. Ada rasa kecewa yang berhasil membuang rasa cinta, dan di saat yang sama sosok lain seolah berusaha menaburkan benih-benih rasa yang telah hilang itu.
 memainkan sebuah cincin yang memeluk jari manis di tangan kirinya, "apa aku masih pantas mengenakannya, setelah apa yang kamu lakukan saat ini?"
Tess. Setetes air asin kembali terjun bebas di wajahnya, kali ini diikuti dengan air asin lainnya. Semakin banyak, hingga menggenang di permukaan gitar, di pangkuan Safa. Sesak di dadanya tak kunjung mereda. Masih setia mengepul di ujung napasnya.
"Kamu ke mana? Di mana?" Safa menutup matanya, berusaha menghentikan tangisnya.
"Layaknya benda hidup. Hati dapat kapan saja berbelok arah. Ia memiliki kkontrolnya sendiri. Memiliki hak penuh atas apa yang ia inginkan. Maafkan aku, Vin."
               
*****

"Kamu gak serius kan, Van?"
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"
Safa mengembuskan napasnya. "Tapi, kamu..."
"Aku tau. Aku mengerti, Fa. Tapi, bukan aku yang menginginkan ini semua. Hatiku yang bertindak banyak di sini." Potong Vano, cepat.
Langit malam itu terlihat sepi, seperti takut untuk menampakkan diri dan memilih untul bersembunyi di balik awan gelap. Jelas saja, walau temanya adalah penyataan cinta, kedua insan ini tidak lantas membawa nuansa merah muda bersamanya.
"Maaf. Tapi, tidak samapai dua belas jam lagi, aku akan terikat dengan kakakmu." Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Safa, setelah hening untuk waktu yang cukup lama. Ia lalu berbalik, meninggalkan Vano.

*****
"Morning, sweet dancer."
Safa hendak memutar tubuhnya, sebelum pemuda dengan wangi parfum yang selalu menggodanya itu melingkarkan kedua lengannya di perut Safa. Membuat bibir mereka melungkung sempurna.
Tumben masih pagi gini sudah datang?" Safa menyandarkan kepalanya pada dada bidang pemuda di belakangnya itu.
"Because, i miss you." Jawab pemuda itu, manja.
"We've met two days ago, Danu."
Danu mendesis, seolah tidak terima dengan ucapan Safa. "Two days is too long for me," pemuda manis itu masih setia dengan nada manjanya. "So..., where have you been?"
"Gak ke mana-mana. Stay at home. Hanya sedang memikirkan..."
“Are you thinkin' about the other guy?"
“Jealouse?"
"Is it a question?"
"No. I'm just kidding." Bohong Safa. Ia mencoba tersenyum, menyamarkan gurat kegelisahan di wajahnya.
Lantunan lagu It was always you milik Maroon 5 terdengar, tepat saat Danu hendak membuka mulut. Dikeluarkannya benda persegi itu dar saku jaketnya. "Ya, Van?"
Entah apa yang dibicarakan Danu dengan seseorang di seberang sana. Yang jelas, detik setelah Danu menjawab panggilan tersebut, wajahnya seketika menegang. Hanya satu kata yang ia ucapkan, yang didengar Safa. Kritis.
Tak berapa lama, ia pamit pulang. Lalu, selang beberapa menit, giliran ponsel Safa yang menjerit, mengeluarkan ringtone panggilan masuk. Namun, tak segera membuat Safa menjawabnya, setelah ia lihat nama siapa yang tertera di sana.
"Can't you give me my own time, Vano?"         

*****

From: Vano Kamu terlambat, Fa. Vino telah pergi.
Sontak bola mata Safa melebar saat membaca pesan tersebut yang membawa nama seseorang yang telah lama tidak dijumpainya itu. Ia yang baru saja bangun dari tidur siangnya, seperti mendapat misteri box saat kesadarannya belum pulih betul.
Dengan rasa bingung bercampur takut, kembali dibacanya pesan tersebut. Tidak ada yang berubah. Safa lantas beralih melihat waktu pengiriman pesan. Pukul sembilan lewat sepuluh, pagi tadi. Berarti lebih dari lima jam yang lalu.
To: Vano Apa maksudmu? Di mana Vino?
Tak berapa lama, balasan dari Vano masuk.
From: Vano Kemarilah. Kami sekeluarga berada di pemakaman tak jauh dari rumah.
Gegas, Safa membersihkan diri, lantas pergi menuju tempat yang disebutkan Vano. Di sepanjang perjalanan, banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Safa. Membuat debar jantungnya tak keruan.
Sesampainya di pemakaman, Safa segera berlari tak tentu arah. Mencari sisik Vano. Dan, betapa kagetnya Safa saat mendapati orangtua Vino duduk di samping gundukan tanah merah dengan wajah basah. Tak jauh dari mereka, Vano berdiri, menatap Safa di balik kaca mata hitamnya bersama seorang pemuda dengan pakaian serba hitam. Danu?

*****
               
“Kamu mau ke mana? Berapa lama? Kenapa meninggalkanku?"
Vino tersenyum geli melihat tingkah manja perempuan yang beberapa hari yang lalu telah terikat dengannya dengan sebuah cincin mas putih di salah satu jari di lengan kiri mereka. Perempuan unik dengan mood-nya yang selalu berhasil membuatnya kewalahan.
"Aku hanya menjemput saudara kandungku. Kamu ingat Danu Wiranta yang kuliah di Perth, kan? Aku mau menjemputnya."
Safa menunjukkan senyum terbaiknya, "aku ikut, ya?"
"Aku tidak akan lama, Sayang. Aku janji."

"Dia bohong. Dia tidak pergi menjemput Danu, Fa. Dia... dia terkena kanker otak. Dan, dia menyembunyikannya dari kita semua. Dia berusaha mencari cara untuk menyembuhkan penyakitnya, tanpa ingin bantuan dari kita."
Penjelasan singkat yang diucapkan Vano, mengembalikan Safa dari lamunannya. Ia mengelus lembut batu yang bertuliskan nama tunangannya itu. Vino Wiranta. Lalu, kembali berdiri, menatap dua pemuda yang tersenyum getir di hadapannya.

Sepi

Terlalu sunyi untuk hening
Aku tidak suka, aku muak
Tapi aku benci gaduh yang ramai
Jadi, bagaimana?
Haruskah aku mengotakkan persegi?

Hangat api tak sepanas hati
Dua bibir saling bertautan
Kata maaf menjelma tindakan
Aku benci perasaan itu

Bisa racun tak lagi berfungsi
Telah dulu dibunuh rasa

Aku mau....
Aku suka....
Aku rindu....

Bingarmu pergi bersama sepi
Jiwaku mati dimakan raga

Lantas aku bagaimana?
Apa harus kubunyikan lonceng
Agar bayangmu tak ikut pergi?

Selasa, 22 September 2015

Life Music

Ada begitu banyak kisah yang terjadi secara nyata dan tertuang dalam bentuk beberapa baris lirik lagu, dan di antara begitu banyak lagu yang tercipta, entah mengapa, lagu sendu selalu menjadi favorit untuk mengenang dia--seseorang yang dicinta. Walau terasa perih, selalu ada alasan untuk mereka--yang sedang berduka--terus memutar lagu tersebut. Menikmatinya dengan wajah basah.

Ku coba menghapus bayang-bayang
Masih ku bertanya
Adakah arti aku menunggu
Bila semua ini tak menentu
Ku ragu... [1]

Sepotong lirik lagu mengalun lembut di telinga perempuan berpipi chubby itu. Naella Caroline--perempuan mungil dengan baju berwarna cokelatnya yang kebesaran, nyaris membuat tubuhnya tenggelam, namun terlihat pantas-pantas saja ia kenakan. Tanpa aba-aba lagi, setetes bulir bening meluncur bebas di wajahnya yang lalu disusul dengan hujan lokal.
Sial.
 Lagu itu benar-benar menamparnya dengan ganas. Seakan ingin meneriakkan segala isi hatinya dengan beberapa baris kata. Seolah ingin menyuarakan seluruh kalimat yang mengumpul, tersendat di ujung lidahnya.
Lebih dari satu bulan ia menunggu, yang artinya lebih dari satu bulan pula ia duduk di balkon kamarnya, menghadap jalanan di depan rumahnya, menanti datangnya sang penebar pesona. Dia, seseorang yang berjalan entah ke mana dengan membawa hati Naella dalam genggamannya. Dia, pemuda yang tepat satu tahun yang lalu Naella temui dengan seringai senyum polosnya.

                                                                *****

Kau datang dan jantungku berdegub kencang
Kau buatku terbang melayang
Tiada ku sangka getaran ini
Ada saat jumpa yang pertama[2]

Sabtu pagi, Naella dikejutkan oleh sosok yang kini tengah berada di ambang pintu rumahnya. Seorang pemuda manis dengan kulit kecokelatan dan tubuh tinggi-tegap, khas seorang pemain basket.
"Hay," ucap pemuda tersebut, seraya tersenyum dan mengangkat lima jarinya.
Naella bergeming, masih belum memercayai apa yang tengah ia lihat.
"Nae?" sapa orang itu, sekali lagi.
Naella masih saja diam, mematung.
"Emm... gue ganggu, ya?"
Tukk.
Ah, eh, iya, kenapa?" tanya Naella, tak beraturan. Pemuda itu tersenyum.
Naella mencoba melangkahkan kakinya sesantai mungkin, mendekati pemuda di depannya. Walau, nyatanya, siapa saja dapan melihat langkah gemetarnya yang begitu ketara. Termasuk pemuda tersebut.
"Gue ganggu?"
"Ohh... ngga, kok. Ayo, masuk."
Entah ini mimpi atau bukan, yang jelas, semua terasa begitu indah dan nyata. Sungguh, Naella akan dengan senang hati memperpanjang durasi tidurnya, jika memang semua ini hanyalah sebuah mimpi.
"Dari mana kakak tau alamat rumahku?"
Pemuda itu tersenyum, sebentar. "Apa guna aku jadi senior yang nge-OSPEK kamu, kalo dapatin alamat rumah kamu aja aku gak bisa?"
Naella hanya tertawa kecil mendengarnya. Orang ini...
"Lalu, kakak ke sini..."
Lagi-lagi, pemuda manis yang kini duduk di hadapan Naella itu tidak langsung menjawab. Beberapa saat ia hanya diam hingga lalu ia menunduk sedikit, seraya meringis. Mengusap tengkuknya, tak beraturan.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan minuman."
Naella segera berdiri. Ia harus cepat pergi dari tempat itu. Harus. Jika ia tidak ingin jantungnya yang sedari tadi terus menggedor tulang rusuknya itu berhasil meloncat keluar dari tubuhnya.

*****

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If i would have to know
That you wanted me
The way i wanted you [3]

"Kenapa telpon aku semalam gak dijawab?"
Suara itu terdengar jelas di telinga kanan Naella. Sontak, membuatnya menoleh, lantas terkejut saat mendapati wakah seorang pemuda yang menemaninya bermain di dalam mimpi semalam, kini berada tidak lebih dari lima senti dari wajahnya. Reflek, Naella memundurkan kepalanya.
"Kak David!" teriak Naella, tercekik.
David. Pemuda itu terkekeh geli melihat ekspresi lucu perempuan di sampingnya itu.
"Kamu belum jawab." Desaknya.
Naella menghela napas, sesaat. "Aku ketiduran, Kak." Jawabnya, tanpa memandang wajah David sedikit pun.
David menganggukkan kepalanya. Ia duduk di kursi kosong, di sebelah kanan Naella. Memandang wajah perempuan itu dengan dahi berkerut. Wajah manis yang sudah beberapa bulan ini mewarnai hari-harinya dengan senyum cerah. Namun, entah mengapa wajah itu terlihat seperti ditutupi awan mendung siang ini.
"Kok sendirian?"
Naella menoleh, tersenyum samar. "Yang lain lagi ada kelas."
"Kamu bolos?" Kerut di dahi David bertambah. Tidak biasanya...
"Lagi gak konsen." Jawab Naella, singkat.
"Ada masalah? Cerita aja, mana tau aku bisa bantu."
Naella menggeleng. Bukan tidak ada masalah. Tapi, bagaimana mungkin ia menceritakan bahwa masalah sebenarnya yang mengganggu konsentrasinya adalah pemuda di sampinya ini. Bagaimana mungkin ia bisa bertanya tentang kejelasan hubungan mereka.

*****

Hope for a better day
A litle love to find away
Through this heaviness i fell
I just need someone to say
Everything's okay[4]

Telinga Naella mulai panas. Dadanya sesak. Ingin sekali ia menulikan telinganya saat ini agar sesak di dadanya mengurai atau setidaknya ia diperbolehkan meneriakkan satu kata saja dengan lantang. Stop!
"Kamu sedang ada masalah dengan Kak David?"
"Atau jangan-jangan kalian sudah putus?"
"Lo sebenarnya ada apa sih sama Kak Dav?"
"Nae, tadi gue sempat liat Kak Dav sama Firly yang anak ekonomi itu, loh!"
Jedeerrr.
Napas Naella seperti tertahan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan teman-temannya itu. Satu kalimat yang berhasil membuatnya merasa seperti terjatuh ke dalam jurang api. Panas. Panas sekali.
"Eh, tapi, Lo pacarnya Kak Dav, kan?"
Plaakkk.
Perih. Lagi-lagi, kalimat yang meluncur dari bibir teman-temannya itu membuat Naella semakin tersudut dan kesakitan. Tak tahu mengapa, mereka bisa mengucapkan kalimat-kalimat sadis seperti itu. Pacar? Kekasih? Kak Dav? Bahkan, saat terakhir bertemu pun status mereka masih sama. Tidak lebih dari seorang teman. Junior dan senior di kampus. Mahasiswa semester satu dengan seorang ketua BEM. Hanya betasa itu.
Sejenak, Naella memejamkan matanya. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, seolah takut setelah ia mengembuskan napas nanti, oksigen itu telah habis. Lalu, memandang raut penasaran yang begitu ketara pada wajahh teman-temannya.
"Gue gak ada apa-apa sama Kak Dav, dan... soal cewek itu... mungkin dia pacarnya Kak Dav. Gue juga kurang tau, sih, ya."
Butuh kekuatan yang besar untuk Naella mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Terlebih saat mengucapkan status David dan seorang perempuan yang dia sendiri tidak tahu siapa namanya.

*****

At night when the stars light up my room
I sit by mu side
Talking to the moon
Try to get to you
In hopes you were the other side
Talking to me to
Or i'm a fool
Who sits alone Talking to the moon[5]

Naella sungguh bingung bagaimana cara menghadapi hari-harinya ke depan. Beberapa hari ini adalah hari yang berat, baginya. Dimana ia harus melewati setiap detik dengan perasaan yang kosong. Kebahagiaan saat dulu bersama Davis hilang begitu saja hanya karena pemandangan yang tertangkap indera penglihatannya.
Sebentar memang. Bahkan, sangat sebentar. Hanya satu menit. Namun, satu menit membawa sepasang tangan muda mudi itu dengan hebatnya dapat menghilangkan semua senyum dan tawa Naella. Juga, satu menit yang memperdengarkan kalimat yang begitu tajam, menyayat.
"Kamu tuh lucu banget sih, Fir, kalo lagi ngambek gini."
"Terus aja kau bikin aku makin bt, Kak."
Malam ini, di balkon kamarnya, Naella memulai aktivitas barunya. Duduk, memandang langit malam, sambil sesekali menatap jalanan di depan rumahnya, menanti kehadiran seseorang. Dia... pemuda yang berhasil kabur dengan membawa hatinya.






[1] Karina Salim – Dalam Hati Saja.
[2] Raissa – Could It Be.
[3] Ariana Grande – Almost Is Never Enough.
[4] Lenka – Everthing’s Okay
[5] Bruno Mars – Talking To The Moon


Senin, 14 September 2015

Bintang Jatuh

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Dead Returns’








                “Lo ikut jalan, kan?”
                “Gak. Aku di rumah aja.”
                “Please, deh. Lo gak capek gitu di rumah mulu?
                “Kan aku nulisnya sambil duduk. Kok capek?”
                “Freak lo! Percuma tampang  cakep kalo kelakuan lo gak normal.”

*****

                Entah sudah berapa lama Prissy menghabiskan waktu untuk mengintai perempuan itu. Memerhatikan apa saja yang ia lakukan dengan tubuhnya. Pergi ke salon, berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, pergi ke pesta, shopping, dan... mendekati seorang pria. Dan, semua itu semakin membuat Prisy gerah.
                Cukup sudah main-mainnya. Aku sudah tidak tahan!
Setengah mati Prissy berusaha mencari cara untuk kembali ke tubuhnya. Tubuh yang dulu terlihat menawan dan sangat ia banggakan, tapi kini ia terjebak di dalam tubuh yang lebih tampak seperti tubuh seorang kuli yang sedang mandi kerigat. Basah. Bau. Lengket. Lebih dari satu jam sudah ia maraton mengeliligi kampus hanya untuk mencari seorang tersangka, dalang di balik semua kejadian sial yang dialaminya satu bulan belakangan.
                Sampai di gedung fakultas ekonomi, indera penglihatan Prissy dengan cepat menangkap sesosok perempuan bertubuh ramping yang mengenakan dress cokelat tua tengah berdiri seraya menyandarkan punggungnya pada dinding pembatas koridor lantai tiga. Segera ia berari menghampiri perempuan yang untungnya sedang sendiri itu.
                “Aku tidak mau tau kamu pakai sihir apa. Yang jelas, aku mau kamu kembaikan tubuhku!” cecar Prissy begitu sampai di hadapan perempuan tersebut
                “I want. But, sorry, honey, gue sudah terlalu nyaman di tubuh lo. And, i’m so happy being Prissy.”
                Hampir saja tangan basah Prissy mendarat di wajah perempuan di hadapannya, tubuhnya sendiri, sebelum seorang pria menangkap pergelangan tangan tersebut, lalu menariknya pergi dari tempat itu. Kemarahan Prissy yang sudah mencapai tingkat akhir seketika mengurai begitu saja saat diihatnya siapa yan menarik tangannya saat itu. Lalu, diliriknya perempuan yang kini berada dalam tubunya dengan seringai jahat.
                Sekarang Prissy tahu apa yang membuat perempan tersebut betah berada di dalam tubuhnya. Karena, saat ia berada di dalam tubuh perempuan tersebut, bukan hanya roh mereka yang tertukar. Tetapi, juga beberapa sifat yang telah mendarah daging yang dengan sendirinya membuat Prissy merasakan betapa tidak ‘istimewa’-nya dia.
                Beberapa hari berselang, Prissy kembali mendatangi perempuan yang tengah bersenang-senang dengan tubuhnya itu. Dan betapa kagetnya perempuan  itu saat mengetahui bahwa Prissy tidak mengucapkan kalimat yang ia kira adalah sebuah permohonan untuk megembalikan tubuh mereka.
“Terserah kamu mau berapa lama di dalam tubuhku.  Karena, sepertinya aku mulai menikmati berada  di dalam tubuhu. Dan... terima kasih. Dyllan baru saja memintaku untuk menjadi kekasihnya.”

*****

Satu hal yang aku tahu tentang kehidupan. Being yourself is much happier.
                Kalya Tunggal Putri—perempuan di ujung belasan tahun dengan lesung pipit yang tertanam dalam di kedua pipinya—menghela napas panjang. Satu persatu kerut di keningnya mulai terlihat, pikirannya kacau. Hilang sudah mood  menulisnya malam ini. Bahkan, ranjang yang kini didudukinya terasa lebih menggoda daripada sekadar melirik layar laptop yang menapakkan tulisannya yang baru setengah jadi itu.
I’m not freak. I just need my own time. Is it wrong?
                Tiba-tiba saja Kalya teringat pada salah seorang teman kuliahnya—bukan teman dalam arti kata sesungguhnya, hanya saling mengenal nama—Prissy. Perempuan manis yang memiliki tubuh bak seorang model dengan selera fashion yang tinggi. Meski hanya mengenakan kaus oblong polos dengan bawahan jeans selutut, siapa pun akan sulit untuk berpaling darinya. Bahkan Dyllan—pria tampan yang menjadi idola di kampusnya—pun begitu.
                Kalya sendiri tidak sengaja berkenalan dengan Prissy. Saat itu adik sepupunya yang kebetulan kuliah di kampus yang sama dengannya dan menjadi salah satu sahabat Prissy sedang merayakan ulang tahun dan Prissy adalah salah satu dari tamu di acara itu. Ia ingat betul betapa terpesonanya ia saat meihat Prissy hari itu. Lau, entah dari mana datangnya, sebuah perasaan iri mengelus hati Kalya.
                What a lucky girl.
Kalya mengurut keningnya, kepalanya mulai berdenyut. Dilepasnya kaca mata yang sudah menggantung di ujung hidungnya. Lantas ia mengalihkan pandangan pada jendela kamar yang gordennya sengaja tidak ditutup. Menampakkan sepotong langit malam yang begitu tenang. Dan, saat itu juga, Kalya mendapati sebuah bintang jatuh dari singgasananya. Beberapa detik sebelum Kalya memejamkan matanya, bibir tipisnya bergerak, membisikkan sesuatu.
                They   said that every  wish will be come true, if you make it when you see a shooting star, right? So, let me make my wish. I wish... i can be Prissy.