Minggu, 07 Desember 2014

Missing The Rain



              Apakah menangisi sesorang di masa lalu adalah sebuah dosa?
            Apakah menjadikan memori indah dalam kenangan sebagai tempat pelarian adalah tindakan kriminal?
            Apakah hidup dalam belenggu masa lalu adalah hal yang menyedihkkan?
            Jika benar begitu. Maka, Julia adalah seorang pendosa yang menyedihkan, dan harus tinggal di balik jeruji.

*****

            Sinar sang surya mulai menghilang di ujung laut, berpaling pada belahan bumi lainnya. Langit pun perlahan berganti gelap. Disertai dengan benda mungil yang satu per satu mulai bermunculan.
            Julia menengadah, memandang lukisan alam di atas sana. Sepertinya, sepanjang sisa hari ini akan tetap cerah. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, sedikitpun. Ia lantas menghembuskan napasnya dengan kasar.

            “Karna, hujan tahu semua kisah tentang kita. Tentang bagaimana lucunya kita dipertemukan, tentang bagaimana hebatnya hujan menyatukan kita. Hujan menyimpan semuanya. Jadi, izinkan aku untuk terus mengukir kisah kita bersamanya, agar kisah kita akan terus berlanjut, selamanya” dengan lembut, Guntur mengucapkannya tepat di telinga kiri Julia.
            Bak sebuah mantra, seketika Julia mematung saat itu juga. Jantungnya memompa tak karuan. Ada sebuah desiran hebat saat Guntur menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak menyangka bahwa pria yang baru saja dikenalnya beberapa bulan semenjak ia menapaki kaki di dunia kerja yang terkenal kejam itu, kini telah menyatakan perasaan padanya, dan tengah menunggu sebuah jawaban darinya.
            Tanpa dapat dikendali, kepala Julia lantas mengangguk dengan sendirinya, menciptakan rona kebahagiaan di wajah pria yang berdiri di belakangnya itu. Dengan sigap, Guntur menarik tubuh Julia dan merengkuhnya. Menenggelamkan tubuh mungil Julia dalam pelukannya.
            Tiba-tiba saja hujan turun, mengguyur tubuh mereka tanpa ampun. Namun, bukannya berlari, menghindar, mencari tempat untuk berteduh. Julia dan Guntur justru tertawa riang bersama. Mereka seolah menari dalam hujan.
            “Lihat, Ju. Bahkan, hujan pun tidak ingin ketinggalan untuk merayakan kebahagiaan kita” ucap Guntur di sela-sela rintik hujan yang mebasahi wajahnya.
            Julia hanya mengangguk, tak dapat berkata-kata lagi. Tetapi, di dalam hatinya, Julia tengah berbahagia. Hingga seluruh kuncup di hatinya bermekaran indah.

            Entah mengapa, Julia merasakan matanya mulai menghangat. Sebuah awan menutupi pandangannya. Cepat-cepat, ia menutup mata. Memblokir seluruh akses untuk kaburnya air dari matanya.
            Kenangan empat tahun yang lalu itu dengan lancang menari di depannya. Menciptakan sesak yang tak tertahan di dada. Guntur dan hujan. Seseorang dengan suasana yang sangat berarti dalam hidupnya. Sejak empat tahun yang lalu, hingga sampai saat ini.
            Perlahan, Julia beranjak pergi dari pantai tersebut. Melangkah, entah kemana. Ia hanya mengikuti kemana arah irama hatinya akan membawanya.

                                                             *****

            Berjalan, dan terus berjalan, tak tentu arah, tak mengenal tujuan. Yang Julia inginkan saat ini hanyalah terus berjalan, melelahkan diri yang telah didahulukan oleh pikirannya yang lelah karna menunggu.
            Hingga, ayunan langkah kaki Julia terhenti pada sebuah cafe minimalis yang terlihat menggoda. Lantas, irama hatinya pun memerintahkannya untuk melangkah masuk ke dalam bangunan sederhana itu.

            “Kamu mau makan apa. Gun?.”
            Pria di depannya itu terlihat seakan menimbang-nimbang sesuatu. Mata sipitnya terlihat tenggelam dalam raut keseriusan di wajahnya.
            “Apa aja, deh. Gak makan juga aku sudah kenyang mandangin kamu” godanya, sembari mengedipkan sebelah matanya.
            Seketika, seluruh aliran darah berkumpul di wajah Julia, menciptakan rona merah di pipinya. Kini, wajah itu terlihat lebih mirip dengan tomat, bulat dan berwarna kemerahan.
            “Apa sih? Gak lucu” Julia memalingkan wajah malunya.
            Tawa Guntur pun pecah saat melihat wajah malu-malu kekasihnya itu. Ia lantas mengelus mesra puncak kepala Julia. “Tapi, kamu suka, kan?.”
            Seketika, Julia menoleh, menatap garang padanya. Sebelah tangannya telah terangkat, siap untuk mencubit kekasihnya yang masih saja memandangnya dengan tatapan nakal. Namun, dengan sigap, Guntur menarik kedua tangan Julia dan menguncinya di atas meja.
            “Kamu mau nyubit aku lagi? Gak kasihan sama badan aku yang biru-biru, karna dicubitin kamu terus?.”
            Perlahan, kekesalan Julia memudar mendengar kalimat Guntur yang bernada sedih.

            Lagi, Julia merasakan dadanya sakit, sesak. Seakan udara di sekelilingnya menghilang. Lalu, tersadar dimana dirinya berada, Julia pun segera menormalkan kembali perasaannya, tak ingin menjadi pusat perhatian hanya karna ia menangis di tempat umum. Sesak di dadanya pun berangsur pulih.

*****
            Hingga malam harinya, hujan memang tak kunjung datang. Ini sudah minggu ketiga di musim penghujan. Namun, entah mengapa, untuk tahun ini agaknya hujan begitu malas untuk datang, walau sekadar menyapa.
            Dan, entah untuk yang keberapa kalinya, Julia kembali termenung. Ia menatap sendu pada langit di beranda kamarnya.

            “Indah, bukan? Ah, lukisan alam di atas sana akan kalah indah dengan kisah-kisah kita.”
            Julia menyandarkan kepalanya pada bahu pria yang berdiri di sampingnya itu. “Benarkah?.”
            Guntur lantas menoleh. Tersenyum manis. Senyum yang selalu berhasil memporak-porandakan hati Julia. “Tentu saja. Akan kita buat bulan dan bintang di atas sana iri pada kita.”
            Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Julia, hanya senyum bahagia yang tercetak di wajahnya.
            Mengetahui bahwa tidak ada jawaban dari kekasihnya itu, Guntur lantas menegakkan kepala Julia dan menghadapkan tubuh wanita itu tepat di depannya. “Kamu tidak percaya?.”
            Masih tidak ada jawaban dari bibir tipis wanita itu. Hanya senyum manis yang diberikannya.
            “Percaya padaku, dan pegang janjiku.”
            Mendengar kalimat yang diucapkan Guntur dengan tegas, namun terdengar seperti anal-anak, senyum Julia pun berubah menjadi tawa. “Kamu persis seperti anak kecil kalau seperti ini.”

            Untuk yang kesekian kalinya, dengan sekuat tenaga Julia bertahan agar benteng yang selama ini ia bangun tidak runtuh begitu saja, terhapus air mata. Kian lama, ia kian lelah dengan pikirannya. Hingga pada setiap langkahnya, seakan hanya akan menuntunnya kembali pada memori indah selama empat tahun belakangan.
            Selama rindu menggantung pada dirinya, selama itu pula ia harus berusaha memperkokoh benteng pertahanannya yang semakin lama semakin rapuh, terkikis rindu.

*****
            Lelah oleh rindu yang kian menggila, Julia lantas beranjak masuk ke dalam kamarnya, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang kian menggila.
            Lama ia memandang langit-langit kamarnya, melempar seluruh penat yang selama ini ia tanggung sendiri. Hingga akhirnya, matanya pun mulai berat dan memejam.

            Di bawah naungan senja, sepasang kekasih itu terlihat tengah menikmati hari bersejarah mereka. Tanggal, bulan, tempat, bahkan waktu yang sama. Bahagia tengah menyelimuti mereka dengan hangatnya cinta.
            “Berbaliklah, aku punya sebuah hadiah untukmu” pinta Guntur pada kekasihnya.
            Dengan hati yang berdebar, Julia lantas menurut. Ia pun segera membelakangi Guntur.
            “Pejamkan matamu” lanjut pria tersebut.
            Sembari memejamkan mata, Julia menerka hadiah apa yang akan diberikan Guntur padanya sebagai hadiah untuk hari jadi mereka yang keempat dan bertepatan dengan ulang tahun peraknya. Lamat-lamat, ia merasakan ada sesuatu yang menempel, melingkar di lehernya.
            “Guntur akan datang bersama hujan. Hujan yang kamu suka, hujan yang kamu cinta, hujan kita.”
            Perlahan, Julia membuka matanya, menunduk, memandang benda mungil yang kini menggantung indah di lehernya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk awan dengan sebuah guntur yang menjuntai di bawahnya. Senyum merekah sempurna di wajahnya.

            Seakan disengat ribuan volt listrik, Julia tersadar dari tidurnya yang teramat singkat. Lagi-lagi, ia memimpikan kenangan manis itu. Dan kali ini, ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi menahan agar air matanya tidak keluar, jatuh, mengahancurkan benteng pertahanannya. Ia merindukan hujan, merindukan guntur yang datang bersama hujan yang menyimpan segala kenangan manis tentangnya dan Guntur selama bertahun-tahun.
            Mengingat mimpinya baru saja, tangan Julia lantas bergerak menuju lehernya. Mengelus sesuatu yang masih setia menggantung di sana. Melepaskannya, dan seketika ia tersenyum getir menatap benda mungil tersebut. Perlahan, Julia melangkah menuju sebuah meja tak jauh dari ranjangnya, menarik sebuah laci, dan meletakkan benda mungil tersebut di dalamnya. Bersama sebuah undangan pernikahan beratas namakan ‘Guntur dan Astri’.