Minggu, 07 Desember 2014

Missing The Rain



              Apakah menangisi sesorang di masa lalu adalah sebuah dosa?
            Apakah menjadikan memori indah dalam kenangan sebagai tempat pelarian adalah tindakan kriminal?
            Apakah hidup dalam belenggu masa lalu adalah hal yang menyedihkkan?
            Jika benar begitu. Maka, Julia adalah seorang pendosa yang menyedihkan, dan harus tinggal di balik jeruji.

*****

            Sinar sang surya mulai menghilang di ujung laut, berpaling pada belahan bumi lainnya. Langit pun perlahan berganti gelap. Disertai dengan benda mungil yang satu per satu mulai bermunculan.
            Julia menengadah, memandang lukisan alam di atas sana. Sepertinya, sepanjang sisa hari ini akan tetap cerah. Tidak ada tanda-tanda akan turun hujan, sedikitpun. Ia lantas menghembuskan napasnya dengan kasar.

            “Karna, hujan tahu semua kisah tentang kita. Tentang bagaimana lucunya kita dipertemukan, tentang bagaimana hebatnya hujan menyatukan kita. Hujan menyimpan semuanya. Jadi, izinkan aku untuk terus mengukir kisah kita bersamanya, agar kisah kita akan terus berlanjut, selamanya” dengan lembut, Guntur mengucapkannya tepat di telinga kiri Julia.
            Bak sebuah mantra, seketika Julia mematung saat itu juga. Jantungnya memompa tak karuan. Ada sebuah desiran hebat saat Guntur menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak menyangka bahwa pria yang baru saja dikenalnya beberapa bulan semenjak ia menapaki kaki di dunia kerja yang terkenal kejam itu, kini telah menyatakan perasaan padanya, dan tengah menunggu sebuah jawaban darinya.
            Tanpa dapat dikendali, kepala Julia lantas mengangguk dengan sendirinya, menciptakan rona kebahagiaan di wajah pria yang berdiri di belakangnya itu. Dengan sigap, Guntur menarik tubuh Julia dan merengkuhnya. Menenggelamkan tubuh mungil Julia dalam pelukannya.
            Tiba-tiba saja hujan turun, mengguyur tubuh mereka tanpa ampun. Namun, bukannya berlari, menghindar, mencari tempat untuk berteduh. Julia dan Guntur justru tertawa riang bersama. Mereka seolah menari dalam hujan.
            “Lihat, Ju. Bahkan, hujan pun tidak ingin ketinggalan untuk merayakan kebahagiaan kita” ucap Guntur di sela-sela rintik hujan yang mebasahi wajahnya.
            Julia hanya mengangguk, tak dapat berkata-kata lagi. Tetapi, di dalam hatinya, Julia tengah berbahagia. Hingga seluruh kuncup di hatinya bermekaran indah.

            Entah mengapa, Julia merasakan matanya mulai menghangat. Sebuah awan menutupi pandangannya. Cepat-cepat, ia menutup mata. Memblokir seluruh akses untuk kaburnya air dari matanya.
            Kenangan empat tahun yang lalu itu dengan lancang menari di depannya. Menciptakan sesak yang tak tertahan di dada. Guntur dan hujan. Seseorang dengan suasana yang sangat berarti dalam hidupnya. Sejak empat tahun yang lalu, hingga sampai saat ini.
            Perlahan, Julia beranjak pergi dari pantai tersebut. Melangkah, entah kemana. Ia hanya mengikuti kemana arah irama hatinya akan membawanya.

                                                             *****

            Berjalan, dan terus berjalan, tak tentu arah, tak mengenal tujuan. Yang Julia inginkan saat ini hanyalah terus berjalan, melelahkan diri yang telah didahulukan oleh pikirannya yang lelah karna menunggu.
            Hingga, ayunan langkah kaki Julia terhenti pada sebuah cafe minimalis yang terlihat menggoda. Lantas, irama hatinya pun memerintahkannya untuk melangkah masuk ke dalam bangunan sederhana itu.

            “Kamu mau makan apa. Gun?.”
            Pria di depannya itu terlihat seakan menimbang-nimbang sesuatu. Mata sipitnya terlihat tenggelam dalam raut keseriusan di wajahnya.
            “Apa aja, deh. Gak makan juga aku sudah kenyang mandangin kamu” godanya, sembari mengedipkan sebelah matanya.
            Seketika, seluruh aliran darah berkumpul di wajah Julia, menciptakan rona merah di pipinya. Kini, wajah itu terlihat lebih mirip dengan tomat, bulat dan berwarna kemerahan.
            “Apa sih? Gak lucu” Julia memalingkan wajah malunya.
            Tawa Guntur pun pecah saat melihat wajah malu-malu kekasihnya itu. Ia lantas mengelus mesra puncak kepala Julia. “Tapi, kamu suka, kan?.”
            Seketika, Julia menoleh, menatap garang padanya. Sebelah tangannya telah terangkat, siap untuk mencubit kekasihnya yang masih saja memandangnya dengan tatapan nakal. Namun, dengan sigap, Guntur menarik kedua tangan Julia dan menguncinya di atas meja.
            “Kamu mau nyubit aku lagi? Gak kasihan sama badan aku yang biru-biru, karna dicubitin kamu terus?.”
            Perlahan, kekesalan Julia memudar mendengar kalimat Guntur yang bernada sedih.

            Lagi, Julia merasakan dadanya sakit, sesak. Seakan udara di sekelilingnya menghilang. Lalu, tersadar dimana dirinya berada, Julia pun segera menormalkan kembali perasaannya, tak ingin menjadi pusat perhatian hanya karna ia menangis di tempat umum. Sesak di dadanya pun berangsur pulih.

*****
            Hingga malam harinya, hujan memang tak kunjung datang. Ini sudah minggu ketiga di musim penghujan. Namun, entah mengapa, untuk tahun ini agaknya hujan begitu malas untuk datang, walau sekadar menyapa.
            Dan, entah untuk yang keberapa kalinya, Julia kembali termenung. Ia menatap sendu pada langit di beranda kamarnya.

            “Indah, bukan? Ah, lukisan alam di atas sana akan kalah indah dengan kisah-kisah kita.”
            Julia menyandarkan kepalanya pada bahu pria yang berdiri di sampingnya itu. “Benarkah?.”
            Guntur lantas menoleh. Tersenyum manis. Senyum yang selalu berhasil memporak-porandakan hati Julia. “Tentu saja. Akan kita buat bulan dan bintang di atas sana iri pada kita.”
            Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Julia, hanya senyum bahagia yang tercetak di wajahnya.
            Mengetahui bahwa tidak ada jawaban dari kekasihnya itu, Guntur lantas menegakkan kepala Julia dan menghadapkan tubuh wanita itu tepat di depannya. “Kamu tidak percaya?.”
            Masih tidak ada jawaban dari bibir tipis wanita itu. Hanya senyum manis yang diberikannya.
            “Percaya padaku, dan pegang janjiku.”
            Mendengar kalimat yang diucapkan Guntur dengan tegas, namun terdengar seperti anal-anak, senyum Julia pun berubah menjadi tawa. “Kamu persis seperti anak kecil kalau seperti ini.”

            Untuk yang kesekian kalinya, dengan sekuat tenaga Julia bertahan agar benteng yang selama ini ia bangun tidak runtuh begitu saja, terhapus air mata. Kian lama, ia kian lelah dengan pikirannya. Hingga pada setiap langkahnya, seakan hanya akan menuntunnya kembali pada memori indah selama empat tahun belakangan.
            Selama rindu menggantung pada dirinya, selama itu pula ia harus berusaha memperkokoh benteng pertahanannya yang semakin lama semakin rapuh, terkikis rindu.

*****
            Lelah oleh rindu yang kian menggila, Julia lantas beranjak masuk ke dalam kamarnya, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang kian menggila.
            Lama ia memandang langit-langit kamarnya, melempar seluruh penat yang selama ini ia tanggung sendiri. Hingga akhirnya, matanya pun mulai berat dan memejam.

            Di bawah naungan senja, sepasang kekasih itu terlihat tengah menikmati hari bersejarah mereka. Tanggal, bulan, tempat, bahkan waktu yang sama. Bahagia tengah menyelimuti mereka dengan hangatnya cinta.
            “Berbaliklah, aku punya sebuah hadiah untukmu” pinta Guntur pada kekasihnya.
            Dengan hati yang berdebar, Julia lantas menurut. Ia pun segera membelakangi Guntur.
            “Pejamkan matamu” lanjut pria tersebut.
            Sembari memejamkan mata, Julia menerka hadiah apa yang akan diberikan Guntur padanya sebagai hadiah untuk hari jadi mereka yang keempat dan bertepatan dengan ulang tahun peraknya. Lamat-lamat, ia merasakan ada sesuatu yang menempel, melingkar di lehernya.
            “Guntur akan datang bersama hujan. Hujan yang kamu suka, hujan yang kamu cinta, hujan kita.”
            Perlahan, Julia membuka matanya, menunduk, memandang benda mungil yang kini menggantung indah di lehernya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk awan dengan sebuah guntur yang menjuntai di bawahnya. Senyum merekah sempurna di wajahnya.

            Seakan disengat ribuan volt listrik, Julia tersadar dari tidurnya yang teramat singkat. Lagi-lagi, ia memimpikan kenangan manis itu. Dan kali ini, ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi menahan agar air matanya tidak keluar, jatuh, mengahancurkan benteng pertahanannya. Ia merindukan hujan, merindukan guntur yang datang bersama hujan yang menyimpan segala kenangan manis tentangnya dan Guntur selama bertahun-tahun.
            Mengingat mimpinya baru saja, tangan Julia lantas bergerak menuju lehernya. Mengelus sesuatu yang masih setia menggantung di sana. Melepaskannya, dan seketika ia tersenyum getir menatap benda mungil tersebut. Perlahan, Julia melangkah menuju sebuah meja tak jauh dari ranjangnya, menarik sebuah laci, dan meletakkan benda mungil tersebut di dalamnya. Bersama sebuah undangan pernikahan beratas namakan ‘Guntur dan Astri’. 

Kamis, 20 November 2014

A Dream





“Kau! Beraninya kau melawan kami!”
            Suara bentakan itu menggema ke seluruh koridor lantai dua. Isabella memicingkan matanya, memfokuskan pendengarannya. Perlahan, langkah kakinya berjalan mengikuti asal suara tersebut.
            “Kau pikir kau siapa? Hah?”
          Tiba-tiba saja, langkahnya terhenti tepat di depan kelas mantra, suara itu berasal dari dalamnya. Entah mengapa, debar jantungnya berdetak tak karuan. Dengan tangan gemetar, ia memutar kenop pintu di depannya.
       Terlihat enam orang murid berseragam di dalamnya, lima diantaranya duduk menghadap seorang murid yang berdiri sembari menundukkan kepalanya.
            “Kita apakan dia?” Tanya seorang perempuan yang duduk di barisan depan kepada keempat temannya. Pandangan perempuan tersebut tertuju lurus pada murid di depannya.
“Kau ini, murid beasiswa saja sombongnya bukan main” lanjutnya, sembari mengangkat tubuh murid tersebut dengan tatapannya. Dilemparnya tubuh yang melayang-layang itu ke kiri dan kanan. Seorang laki-laki yang duduk tepat di sebelah perempuan tersebut memandangnya, tak acuh. Sedang tiga teman di belakang mereka, sibuk membicarakan hukuman apa yang pantas untuk sang murid beasiswa.
“Kita sihir saja dia jadi tikus’
“Atau, kita biarkan saja tubuhnya melayang-layang seperti itu sampai besok”
Isabella bergeming, tak dihiraukannya lagi ucapan-ucapan nakal tersebut. Pandangannya telah terkunci pada tubuh yang melayang di depannya. Tubuh itu… tubuhnya.
Seketika, Issabella tersentak, rasa dingin menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, peluh penuh bercucuran dari dahinya. Entah apa maksud dari mimpinya itu, semua terasa begitu nyata.
Debar jantung semakin tak karuan saat tiba di depan ruang kelas ramuan, pagi itu. Sekuat tenaga, Isabella menenangkan dirinya yang meronta, meminta berbalik.
“Isabella, kau akan bergabung dengan kami untuk latihan membuat ramuan ageing potion, kan?” suara manja Vannesa mengagetkan Isabella, menghentikan langkah beratnya.
Di belakang Vannesa, berdiri empat orang sahabatnya, menatap garang padanya. Seketika, Isabella mengangguk patuh, bayangan mimpinya menari-nari di hadapannya.


*Ageing potion (Ramuan penua): Ramuan yang dapat menyebabkan peminum menjadi lebih tua beberapa tahun dari usia aslinya, menyesuaikan banyaknya ramuan yang diminum.



Cerepen ini diiktsertakan dalam flash fiction pipet.

Minggu, 16 November 2014

The First and The Best



                Menurut kebanyakan orang, cinta adalah emosi pribadi atau perasaan yang menggebu-gebu terhadap benda atupun individu lainnya.
                Namun, menurut C.G Boefree dalam buku karangannya; cinta adalah kepedulian terhadap orang lain sebanyak, atau melebihi terhadap diri sendiri.
                Dan, dalam perspektif biologi, cinta berasal dari beberapa hormon yang mempengaruhi syaraf-syaraf hingga terjadi suatu reaksi, yaitu cinta. Salah satunya, adalah dopamine atau hormon yang bersifat addictive
                Sedangkan, cinta pada pandangan pertama menurut ilmu psikologi adalah ketertarikan terhadap fisik, dan biasanya tidak berlangsung lama.
                Tapi, jika ada yang menanyakan padaku ‘apa itu cinta?’, maka aku akan menjawab; cinta adalah bagian dari setiap individu. Ia selalu ada dalam setiap tarikan napasmu, dalam setiap detak jantungmu, dalam setiap langkahmu, bahkan dalam setiap pandanganmu.
                Cinta selalu ada dalam pandanganku?. Ya, begitupun pada pria yang sempat mengisi dan bertengger cukup lama di hatiku itu. Dia selalu ada di dalam pandanganku, bahkan saat ia tidak di depanku. Dia adalah pria pertama yang kucinta, pria pertama yang mengajari aku arti cinta itu sendiri. Kalian bisa menyebutnya ‘Rama’.
                Pertemuan pertamaku dengannya adalah saat pertama kali aku menginjakkan kaki de sekolah menengah yang berseragam abu-abu itu. Awal pertemuan kami? Tentu saja, saat perkenalan anggota panitia MOS. Dan, semenjak saat itulah, ia seolah menjelma bak seorang pangeran dari Negeri dongeng dengan sinarnya tak tak pernah redup di mataku.
                Saat itu, aku juga mengira bahwa jarak antara aku dengan dia tak akan pernah berkurang, tapi di saat itulah takdir bertindak. Perlahan, jarak diantara kami pun mulai memudar. Dan, tanpa kusangka –bahkan, tak pernah kubayang—bahwa dia akan menyapaku, si junior bau kencur.
                “Hey, anak baru? Ikut tampil di acar milad sekolah, juga?.”
                Begitulah kurang lebih. Aku tidak ingat betul apa yang diucapkannya saat itu, aku terlalu kaget. Hingga aku hanya dapat mengangguk gagu. Jika diingat, aku persis orang tolol, saat itu. Dan kurasa, itu akibat dari desiran hebat yang menjalar di seluruh tubuhku. Entahlah.
                Beberapa menit setelahnya, aku sudah tenggelam dalam duniaku sendiri. Melenggak-lenggok mengikuti ketukan dan irama. Bersama empat orang temanku, kami menari, menghibur penonton. Kurasa, aku memiliki jiwa yang berbeda saat menari, seolah tubuhku bergerak dengan sendirinya.
                Lalu, tak lama setelah penampilanku, dari pinggir panggung, aku memandag lurus pada sosok yang kini tengah duduk sembari memangku sebuah gitar. Dia, Rama. Dengan lincah, ia menarikan jemarinya diantara senar-senar gitar tersebut, menyanyikan lagu cinta dengan suara lembutnya yang merontokkan hatiku, seketika. Ah,, dia begitu sempurna.
                “Hay…” sapanya, setelah menyelesaikan penampilannya, dan menghampiriku.
                Tiba-tiba saja, aku membeku. Jantungku berdetak ribut. Hingga sepertinya ia dapat mendengarnya di tengah kebisingan sekalipun.
                “Tarianmu bagus” pujinya.
                Aku menunduk, malu. “Terima kasih” ucapku, lirih.
                “Apa?” ia mendekatkan wajahnya.
                Aku mendongak, untuk beberapa detik pandangan kami beradu.
                “Kamu bilang apa, tadi? Aku tidak dengar”
                “Eh, itu… terima kasih”
                “Sama-sama. Ngomong-ngomong, apa kamu tidak ingin memuji atas penampilanku, tadi?” seringai senyum indah terukir di wajahnya. Sungguh memesona.
                Rasanya, ingin sekalli saat itu aku meloncat tinggi. Menyampaikan pada langit, bahwa aku tengah berbahagia.
                Beberapa hari berselang, aku semakin akrab dengannya. Bunga-bunga di hati tak lagi merupa kuncup, mereka telah bermekaran indah. Teman-temanku pernah berkata; cinta itu indah, penuh kebahagiaan. Dan sepertinya, aku mulai membenarkan itu. Walau sebenarnya aku hanyalah seorang pecinta pemula. Semua masih abu-abu di pandanganku.
                Aku pun terbuai oleh cinta, tak dar ia telah melambungkanku, hingga aku melayang-layang di udara. Pun, tidak menyadari bahwa semua hanyalah semu. Sampai saat kenyataan menarikku kembali pada kenyataan. Saat itulah aku melihat sela-sela jemarinya tak lagi kosong. Sudah ada sesorang yang berdiri setia di sampingnya. Bukan aku.
                Kini, aku mulai mengerti bahwa cinta tak selamanya tentang senyum dan tawa. Cinta juga tentang melepaskan, merelakan, dan mengikhlaskan bersama senyum dalam air mata.

Berbeda

                Annisa memandang jauh ke dalam ruang penuh jiwa tersebut, ekor matanya melirik dengan liar. Beberapa orang dengan seragam hijau, dan pakaian rapi lainnya sibuk hilir mudik di hadapannya. Seringai senyuman merekah di wajahnya.

                Praktek kerja lapangan dan magang. Ah, Annisa sudah cukup bosan memikirkan dua hal tersebut, hingga hampir gila, dibuatnya. Sialnya lagi, melaksanakan praktek kerja nyata adalah sebuah keharusan, dan wajib hukumnya. Artinya, jika Annisa tidak melaksanakan praktek kerja nyata tersebut, maka ia akan berdosa dan gagal!.
                Ada dua tempat magang yang disarankan pada Annisa, siang itu. Entah mengapa, tak ada satu pun dari tempat tersebut yang menarik, keduanya justru terdengar bagai tempat keramat yang akan mengantarnya menuju gerbang kematian. Sekolah luar biasa dan rumah sakit jiwa. Ia berpikir, orang sinting mana yang ingin menghabiskan waktu magang mereka di tempat mengerikan itu.
                Annisa terlihat tengah memijat kepalanya, saat Putri –sahabatnya—datang ke rumahnya.
                “Nis, aku punya kabar baik untuk kamu” ucap gadis berkaca mata itu.
                “Hmm…”
                “Aku sudah memilih tempat untuk kita magang nanti”
                Mendengar kalimat ‘tempat magang’, denyut di kepala Annisa kian menggila.
                “Oh, ya? Dimana?” Annisa menyipitkan matanya, berharap dua tempat yang sedari tadi menghantuinya tidak keluar dari bibir sahabatnya itu.
                “Rumah sakit jiwa Dr. Faradhiba, gimana?.”
                Tiba-tiba, napas Annisa tercekat. Dadanya terasa sesak, tak dapat menghirup udara segar. Dan, matanya seakan ingin loncat keluar.
                Namun, sepertinya, Putri tidak menangkap reaksi terkejut dari sahabatnya itu. Ia lantas terus menyampaikan informasi mengenai rencana magang mereka nantinya.
                “Dan, aku sudah mengajukannya pada Bu Miranda. Beliau juga bilang, kalau selama magang nantinya akan dua psikolog yang akan menemani kita. Hmm… kalau tidak salah, namanya Pak Gusti dan Bu Ovi.”
                Seketika, tubuh Annisa luruh, tertarik gravitasi, mendengar penuturan sahabatnya itu. Ah, sepertinya ia memang harus terjebak pada salah satu tempat mengerikan itu.

*****

                Dalam benak Annisa, dua minggu berlalu begitu saja. Dan, sekarang tiba saat untuk dirinya, Putri, dan dua orang teman mahasiswa psikologi lainnya untuk memulai magang hari pertama mereka.
                Dengan langkah berat, keempat mahasiswa jurusan psikologi itu menelusuri lorong bangsal psikiatri, tempat pasien gangguan jiwa dirawat. Di ujung lorong, ada sebuah kantor, ruang psikolog Gusti. Namun, hingga  tiba di percabangan lorong,  langkah mereka terhenti. Bingung, tak tahu harus melangkah kemana. Rasa takut membuat mereka lupa akan petunjuk yang diberikan psikolog lainnya secara lisan, sepuluh menit yang lalu.
                Putri menghela napas panjang, merutuki penyakit short term memorynya. Berbeda dengan ketiga temannya yang sibuk celingukan mencari petunjuk, Annisa lebih memilih untuk duduk pada bangku panjang di sampingnya. Ada seorang pria dewasa yang juga duduk di sana. Annisa menatapnya sekilas. Menimbang apakah orang tersebut adalah pasien atau hanya orang lain yang ingin menjenguk keluarganya. Sejenak, ia sibuk berdebat dengan pikirannya.
                Teteh, nanti di sana hati-hati. Jangan asal ajak orang asing ngobrol atau main, ingat kalau itu rumah sakit jiwa. Bedakan, yang mana orang normal, yang mana pasien. Orang normal, biasanya akan berpakaian rapi dan bertingkah sopan. Sedangkan, pasien akan berpakaian seragam dan bertingkah aneh dan konyol.”
                Seketika, wejangan yang diberikan Ibunya dua hari yang lalu bergema di telinganya. Dengan keyakinan atas informasi dari sang Ibu, Annisa menyimpulkan bahwa pria di sampingnya itu bukanlah pasien rumah sakit jiwa tersebut. Ia terlihat bersih dan berpakaian rapi.
                “Maaf, permisi. Saya mau numpang Tanya, ruang psikolog Gusti dimana, ya?” Tanya Annisa pada pria tersebut.
                Mendengar kalimat Annisa itu, pria tersebut lantas menoleh, memiringkan kepalanya, dan tersenyum lebar. Ah, Annisa tahu senyum itu. Itu bukan senyum dari bibir orang normal.
                Perlahan, Annisa pun berdiri dan berjalan mundur, mendekati ketiga temannya. Namun, pandangannya tetap tertuju pada pria tersebut. Rasa takut kian membuncah, kala seyum di bibir pria itu memudar,  berganti dengan tatapan garang dan luapan emosi.
                “Kamu! Kamu ngapain di sini?! Dasar pembohong, pengkhianat. Pergi kamu!.”’
                Ketiga temannya Annisa pun serentak menoleh, mendengar cacian tersebut. Lalu, seakan dikomando, mereka pun lantas berlari meninggalkan tempat tersebut.
                “Kamu apakan orang tadi, sampai dia bisa marah seperti itu?” Tanya Dimas
                Annisa menggeleng. Ia tidak mungkin mengaku bahwa ia baru saja mengajak seorang pasien berbicara dan bertanya ruang psikolog Gusti. Di dalam hati, ia merutuki kebodohannya yang dengan polosnya memercayai film-film yang ditontontonnya di televisi. Ah, kenapa penampilan mereka berbeda. Ibu juga tidak menjelaskan serperti itu.
                “Kalian sedang apa di sini?.”
                Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari belakang mereka. Dengan gaya lambat, keempat mahasiswa tersebut pun berbalik. Dan, seketika Annisa mematung memandang pria tegap di hadapannya.
                “Saya sudah menunggu kalian dari tadi di ruangan saya” lanjutnya.
                “Oh, Tuhan. Apa benar dia psikolog Gusti? Kurasa, hari-hariku tidak akan seburuk yang kubayangkan…” batin Annisa.

                “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu? Apa kamu sudah mulai ketularan pasien di sini?” sebuah bisikan membuyarkan lamunan Annisa. Ia lantas menoleh, memandang kekasihnya yang telah berdiri di belakangnya itu.
                “Kamu tadi bilang kalau aku kenapa?” Tanya Annisa dengan nada galaknya.
                “kamu… ketularan pasien di sini” ulangnya.
                Seketika, kedua tangan Annisa teracung, bersiap mencubit lengan, perut, atau apapun itu pada pria di depannya ini, yang penting ia dapat membalas ejekan tersebut.

Minggu, 02 November 2014

Senja




Saat luka kian menanah diguyur air mata
Senja kita telah menjadi sejarah
Takkan ada lagi sinar sang surya
Yang meleleh melebur bersama laut

Sisa-sisa bias jingga
Bagai lukisan penuh duka
Membutakan mata hati

Langit pun menangis
Bersama burung yang menyanyikan lagu elegi
Mengantar kepergianmu
Menuju tempat tak terhitung jarak

Dan saat tangan tak lagi dapat bertautan
Izinkan rinduku menjadi temanmu
Melindungi dalam sajak penuh harap
Dalam kenangan berbingkai senja


Barisan Duka

Kuterdiam dalam keramaian
Menjerit dalam kesunyian
Kumenari dalam kegelapan
Meraba dalam ruang penuh warna
Aku... menangis dalam suka berselimut lara

Tak ada senyum ataupun tawa
Semua tentang air mata

Kuberlari mengejar bayang
Yang menghilang entah kemana
Kucoba menggapai angan
Yang pergi bersama angin
Rapuh, retak, hancur berkeping

Semua gelap tak berwarna
Menghimpit, remukkan jantung

Aku tinggal dalam duka
Beralas air mata, berselimut luka
Tak bertuan, tak berteman

Sendiri dalam ruang penuh sesak

New Roomate



               Hari ini tepat seminggu setelah kepindahan Karin ke apartement barunya. Rasa penasaran pun kian menebal. Semenjak ia pertama kali menapaki kaki di apartement tersebut, sudah berbagai macam hal aneh dialaminya. Mulai dari bau ruangan yang sering berubau-ubah; bau melati, bau anyir, bau kemenyan, bakhan bau bangkai, sekalipun. Tak jarang ia merasa seperti diikuti, entah apa atau siapa.
                Malam hariya, Karin tertidur lebih larut. Dan, seperti enam malam sebelumnya, ia merasa seperti ada orang lain yang tidur di sebelahnya. Dengan bermodalkan nekat, Karin menoleh. Lalu, mendapati sesosok wanita ber4gaun putih dengan tubuh pucat berbaring di sebelahnya. Sepertinya, Karin mendapat teman baru.

Flash fiction; #100KataBikinTakut

Boneka Si Adik

[Guerilla Quiz 3] Urban Legend: Tell me your story!

Aku tidak ingat kapan pastinya cerita ini sampai ke telingaku. Yang kuingat, saat itu ada seorang teman yang berkunjung ke rumahku, dan terkejut saat mendapati kamarku yang penuh dengan boneka.
"Kukira kamu cuma suka baca dan koleksi novel, Ta. Ternyata boneka juga.…" ucapnya sambil lalu, mencomot salah satu buku dari lemari koleksi novel-novelku.
Awalnya, aku hanya diam saja. Tidak menanggapi kalimat temanku itu. Namun, beberapa menit setelahnya, aku ingat bahwa temanku satu ini sangat anti dengan boneka. Ia tidak mau membeli boneka untuk dirinya sendiri, bahkan, saat ada yang ingin memberikannya boneka secara cuma-cuma selalu ditolaknya.
"Ah, iya. Kamu kenapa tidak suka boneka, Din?"
Ia menoleh, tersenyum penuh arti. "Siapa bilang? Aku suka kok, hanya saja aku tidak mau menyimpan atau memilikinya."
"Kenapa?"
"Aku tidak ingin bermain dengan seseorang atau sesuatu yang tidak kukenal."


****


Malam itu, aku tengah sibuk bercengkrama dengan berlembar-lembar tumpukan tugas di kamarku. Aku yang mulai merasa lelah dan bosan, lantas beranjak menuju dapur, sekadar membuat segelas susu hangat. Sesaat, ekor mataku menangkap sosok anak perempuan yang tengah bermain boneka di ruang keluarga. 'Bukankah adikku sudah tertidur?'. Aku mengangkat bahu, tidak begitu memperdulikannya. Tugas-tugasku masih setia menunggu.
Esok harinya, saat aku tengah membaca sebuah novel, setelah kemarin seharian otakku diajak bekerja, aku mendengar sebuah tangisan anak perempuan. Sekilas, aku melirik jam dinding kamarku. Pukul sepuluh malam sudah berlalu dua puluh menit yang lalu. 'Siapa yang menangis malam-malam begini?'.Aku beranjak menuju kamar adikku, memastikannya apakah sudah tertidur. Namu, baru saja daun pintu terbuka, aku sudah lebih dulu mematung di depannya. Pandanganku tertuju lurus pada sosok yang berdiri di depan adikku. Sosok gadis mungil berambut panjang dengan gaun putih yang menatap sendu, sembari memegang sebuah boneka.

Menyadari kehadiranku, ia lantas menoleh. "Aku juga ingin bermain….”

Kalung Keabadian


                Untuk yang kesekian kalinya aku hanya dapat memendam rasa penasaranku. Liontin yang menggantung dan tak pernah lepas dari lehernya itu benar-benar menyedot perhatianku. Sepintas lalu, liontin tersebut terlihat seperti salib, namun jika dilihat lebih seksama lagi, lionton tersebut berbeda dan mungkin tidak ada hubungannya sama sekali dengan salib.
                Sejak sampai di cafe tadi, Amora berkali-kali mengelus liontin di lehernya. Entah mengapa. Sesekali, ia mengedarkan pandangannya, memerhatikan seisi ruangan, lalu kembali menyesap coklat panasnya, tetap memegang liontin tersebut. Beberapa kata telah sampai di ujung lidahku, tapi tak satupun yang berani untuk keluar. Aku sudah terlalu bosan dengan jawaban yang diberikannya.
                “Ini adalah liontin keberuntungannku.”
                Begitu kurang lebih jawaban yang sering kudapat atas tanyaku.
                Amora adalah teman baruku yang langsung bertransformasi menjadi sahabat baikku sebulan belakangan, hasil paksaan tugas kulliah. Walaupun kami baru saling mengenal, tapi tidak ada rahasia atau sikap tertutup diantara kami. Hanya satu hal itu saja yang tak pernah ia ceritakan padaku, terkait benda mungil yang setia menggantung di lehernya.
                Setelah beberapa jam kami habiskan hanya untuk duduk dan membahas tugas kuliah, yang berakhir pada obrolan para wanita yang tak berisi, aku dan Amora pun memilih pulang kembali ke kostan.

                                                                    *****

                Entah sudah berapa lama aku tertidur, hingga saat aku terbangun, lukisan di atas sana telah berubah gelap, dihiasi beberapa benda mungil bercahaya, menerangi bumi. Aku beranjak menuju kamar Amora, berencana membahas tugas yang seharusnya dua hari lagi kami kumpulkan.
                Tanpa mengetuk terlebih dahulu, aku langsung saja mendorong daun pintu di depanku. Namun, baru sedikit saja aku mendorongnya, sebuah tontonan mengerikan telah disuguhhkan padaku. Aku terdiam di tempatku, sembari mengerutkan dahi dan memikirkan hal apa yang sedang dilakukan Amora. Ia melenggak-lenggok tak tentu arah, mulutnya terus berkomat-kamit merapalkan sesuatu, sembari mengacungkan sesuatu yang sepertinya kukenal pada patung dengan mahkota cahaya matahari yang bersinar. Liontinnya.
                Aku berbalik, kembali menuju kamarku. Jantungku mulai memompa tak karuan. Ada  rasa takut yang berdesir, bersama rasa penasaran yang mulai tak terkendali. Diam-diam, aku mencoba mencari tahu benda apa yang sebenarnya selama ini menggantung di leher Amora. Sesaat, aku terdiam, mengingat bentuk benda mungil tersebut. Kuketik ‘benda serupa salib’ pada laptopku. Dan, benar saja, benda yang kucari langsung terpampang jelas di dalamnya. Sebuah benda berbentuk huruf ‘T’ dengan lingkaran di atasnya. Ankh. Benda yang dipercayai dapat memeberikan keabadian bagi mereka –pengikut—yang telah melakukan sebuah ritual menyeramkan dengan mengorbankan keperawanan seorang gadis.
                Aku menatap tak percaya. Sahabat yang baru saja kudapat, ternyata adalah seseorang yang sangat mengerikan. Atau mungkin, adalah seseorang yang sangat berbahaya. Entahlah. Pikiranku mulai melayang-layang tak jelas. Aku berharap, semoga saja tindakanku ini tidak diketahui oleh Amora. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika saja ia mengenyadari bahwa aku telah mengetahui apa yang selama ini disembunyikannya.
                Tiba-tiba saja, daun pintu kamarku terbuka dengan kasar. Seseorang yang sedang menari-nari di pikaranku, kini berdiri tegap di amabang pintu. Ia menatap nanar padaku, nyaliku menciut seketika.
                “Apa yang kaulakukan?. Apa yang sudah kaulihat?”
               Perlahan, ia melangkah mendekatiku, dengan sebelah tangan tersembunyi di balik badannya. Aku menerka apa yang disembunyikannya. Tapi, aku terlalu takut. Kakiku seperti terpaku, badanku memebeku. Aku benar-benar tak dapat bergerak atau memalingkan pandangan sedikitpun darinya. Lalu, entah dengan cara apa dia melakukannya, aku seperti mati rasa. Darah mulai bercucuran dari leherku, dan aku pun mulai kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya terjatuh dan pandanganku gelap.




tantangan @KampusFiksi; #ProsaNadimu
Sebuah cerpen yang didapat berdasarkan ide dari tiga kepala. Aku, seorang teman baikku (Citra Aulia), dan adik sepupuku (Delta Eka). Semoga dapat dibayangkan, dan ceritanya tidak ngalor-ngidul.