Apakah menangisi sesorang di masa
lalu adalah sebuah dosa?
Apakah menjadikan memori indah dalam
kenangan sebagai tempat pelarian adalah tindakan kriminal?
Apakah hidup dalam belenggu masa
lalu adalah hal yang menyedihkkan?
Jika benar begitu. Maka, Julia
adalah seorang pendosa yang menyedihkan, dan harus tinggal di balik jeruji.
*****
Sinar sang surya mulai menghilang di
ujung laut, berpaling pada belahan bumi lainnya. Langit pun perlahan berganti
gelap. Disertai dengan benda mungil yang satu per satu mulai bermunculan.
Julia menengadah, memandang lukisan
alam di atas sana. Sepertinya, sepanjang sisa hari ini akan tetap cerah. Tidak
ada tanda-tanda akan turun hujan, sedikitpun. Ia lantas menghembuskan napasnya
dengan kasar.
“Karna, hujan tahu semua kisah
tentang kita. Tentang bagaimana lucunya kita dipertemukan, tentang bagaimana
hebatnya hujan menyatukan kita. Hujan menyimpan semuanya. Jadi, izinkan aku
untuk terus mengukir kisah kita bersamanya, agar kisah kita akan terus berlanjut,
selamanya” dengan lembut, Guntur mengucapkannya tepat di telinga kiri Julia.
Bak sebuah mantra, seketika Julia
mematung saat itu juga. Jantungnya memompa tak karuan. Ada sebuah desiran hebat
saat Guntur menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak menyangka bahwa pria yang baru
saja dikenalnya beberapa bulan semenjak ia menapaki kaki di dunia kerja yang
terkenal kejam itu, kini telah menyatakan perasaan padanya, dan tengah menunggu
sebuah jawaban darinya.
Tanpa dapat dikendali, kepala Julia
lantas mengangguk dengan sendirinya, menciptakan rona kebahagiaan di wajah pria
yang berdiri di belakangnya itu. Dengan sigap, Guntur menarik tubuh Julia dan
merengkuhnya. Menenggelamkan tubuh mungil Julia dalam pelukannya.
Tiba-tiba saja hujan turun,
mengguyur tubuh mereka tanpa ampun. Namun, bukannya berlari, menghindar,
mencari tempat untuk berteduh. Julia dan Guntur justru tertawa riang bersama.
Mereka seolah menari dalam hujan.
“Lihat, Ju. Bahkan, hujan pun tidak
ingin ketinggalan untuk merayakan kebahagiaan kita” ucap Guntur di sela-sela
rintik hujan yang mebasahi wajahnya.
Julia hanya mengangguk, tak dapat
berkata-kata lagi. Tetapi, di dalam hatinya, Julia tengah berbahagia. Hingga
seluruh kuncup di hatinya bermekaran indah.
Entah mengapa, Julia merasakan
matanya mulai menghangat. Sebuah awan menutupi pandangannya. Cepat-cepat, ia
menutup mata. Memblokir seluruh akses untuk kaburnya air dari matanya.
Kenangan empat tahun yang lalu itu
dengan lancang menari di depannya. Menciptakan sesak yang tak tertahan di dada.
Guntur dan hujan. Seseorang dengan suasana yang sangat berarti dalam hidupnya.
Sejak empat tahun yang lalu, hingga sampai saat ini.
Perlahan, Julia beranjak pergi dari
pantai tersebut. Melangkah, entah kemana. Ia hanya mengikuti kemana arah irama
hatinya akan membawanya.
*****
Berjalan, dan terus berjalan, tak
tentu arah, tak mengenal tujuan. Yang Julia inginkan saat ini hanyalah terus
berjalan, melelahkan diri yang telah didahulukan oleh pikirannya yang lelah
karna menunggu.
Hingga, ayunan langkah kaki Julia
terhenti pada sebuah cafe minimalis yang terlihat menggoda. Lantas, irama
hatinya pun memerintahkannya untuk melangkah masuk ke dalam bangunan sederhana
itu.
“Kamu mau makan apa. Gun?.”
Pria di depannya itu terlihat seakan menimbang-nimbang sesuatu. Mata sipitnya terlihat tenggelam dalam raut keseriusan di wajahnya.
Pria di depannya itu terlihat seakan menimbang-nimbang sesuatu. Mata sipitnya terlihat tenggelam dalam raut keseriusan di wajahnya.
“Apa aja, deh. Gak makan juga aku
sudah kenyang mandangin kamu” godanya, sembari mengedipkan sebelah matanya.
Seketika, seluruh aliran darah
berkumpul di wajah Julia, menciptakan rona merah di pipinya. Kini, wajah itu
terlihat lebih mirip dengan tomat, bulat dan berwarna kemerahan.
“Apa sih? Gak lucu” Julia
memalingkan wajah malunya.
Tawa Guntur pun pecah saat melihat
wajah malu-malu kekasihnya itu. Ia lantas mengelus mesra puncak kepala Julia.
“Tapi, kamu suka, kan?.”
Seketika, Julia menoleh, menatap
garang padanya. Sebelah tangannya telah terangkat, siap untuk mencubit
kekasihnya yang masih saja memandangnya dengan tatapan nakal. Namun, dengan
sigap, Guntur menarik kedua tangan Julia dan menguncinya di atas meja.
“Kamu mau nyubit aku lagi? Gak
kasihan sama badan aku yang biru-biru, karna dicubitin kamu terus?.”
Perlahan, kekesalan Julia memudar
mendengar kalimat Guntur yang bernada sedih.
Lagi, Julia merasakan dadanya sakit,
sesak. Seakan udara di sekelilingnya menghilang. Lalu, tersadar dimana dirinya
berada, Julia pun segera menormalkan kembali perasaannya, tak ingin menjadi
pusat perhatian hanya karna ia menangis di tempat umum. Sesak di dadanya pun
berangsur pulih.
*****
Hingga malam harinya, hujan memang
tak kunjung datang. Ini sudah minggu ketiga di musim penghujan. Namun, entah
mengapa, untuk tahun ini agaknya hujan begitu malas untuk datang, walau sekadar
menyapa.
Dan, entah untuk yang keberapa
kalinya, Julia kembali termenung. Ia menatap sendu pada langit di beranda
kamarnya.
“Indah, bukan? Ah, lukisan alam di
atas sana akan kalah indah dengan kisah-kisah kita.”
Julia menyandarkan kepalanya pada
bahu pria yang berdiri di sampingnya itu. “Benarkah?.”
Guntur lantas menoleh. Tersenyum
manis. Senyum yang selalu berhasil memporak-porandakan hati Julia. “Tentu saja.
Akan kita buat bulan dan bintang di atas sana iri pada kita.”
Tak ada lagi kata-kata yang keluar
dari bibir Julia, hanya senyum bahagia yang tercetak di wajahnya.
Mengetahui bahwa tidak ada jawaban
dari kekasihnya itu, Guntur lantas menegakkan kepala Julia dan menghadapkan
tubuh wanita itu tepat di depannya. “Kamu tidak percaya?.”
Masih tidak ada jawaban dari bibir
tipis wanita itu. Hanya senyum manis yang diberikannya.
“Percaya padaku, dan pegang
janjiku.”
Mendengar kalimat yang diucapkan
Guntur dengan tegas, namun terdengar seperti anal-anak, senyum Julia pun
berubah menjadi tawa. “Kamu persis seperti anak kecil kalau seperti ini.”
Untuk yang kesekian kalinya, dengan
sekuat tenaga Julia bertahan agar benteng yang selama ini ia bangun tidak
runtuh begitu saja, terhapus air mata. Kian lama, ia kian lelah dengan
pikirannya. Hingga pada setiap langkahnya, seakan hanya akan menuntunnya kembali
pada memori indah selama empat tahun belakangan.
Selama rindu menggantung pada
dirinya, selama itu pula ia harus berusaha memperkokoh benteng pertahanannya
yang semakin lama semakin rapuh, terkikis rindu.
*****
Lelah oleh rindu yang kian menggila,
Julia lantas beranjak masuk ke dalam kamarnya, mengistirahatkan tubuh dan
pikirannya yang kian menggila.
Lama ia memandang langit-langit
kamarnya, melempar seluruh penat yang selama ini ia tanggung sendiri. Hingga
akhirnya, matanya pun mulai berat dan memejam.
Di bawah naungan senja, sepasang
kekasih itu terlihat tengah menikmati hari bersejarah mereka. Tanggal, bulan,
tempat, bahkan waktu yang sama. Bahagia tengah menyelimuti mereka dengan
hangatnya cinta.
“Berbaliklah, aku punya sebuah
hadiah untukmu” pinta Guntur pada kekasihnya.
Dengan hati yang berdebar, Julia
lantas menurut. Ia pun segera membelakangi Guntur.
“Pejamkan matamu” lanjut pria
tersebut.
Sembari memejamkan mata, Julia
menerka hadiah apa yang akan diberikan Guntur padanya sebagai hadiah untuk hari
jadi mereka yang keempat dan bertepatan dengan ulang tahun peraknya.
Lamat-lamat, ia merasakan ada sesuatu yang menempel, melingkar di lehernya.
“Guntur akan datang bersama hujan.
Hujan yang kamu suka, hujan yang kamu cinta, hujan kita.”
Perlahan, Julia membuka matanya,
menunduk, memandang benda mungil yang kini menggantung indah di lehernya.
Sebuah kalung dengan liontin berbentuk awan dengan sebuah guntur yang menjuntai
di bawahnya. Senyum merekah sempurna di wajahnya.
Seakan disengat ribuan volt listrik,
Julia tersadar dari tidurnya yang teramat singkat. Lagi-lagi, ia memimpikan
kenangan manis itu. Dan kali ini, ia benar-benar sudah tidak sanggup lagi
menahan agar air matanya tidak keluar, jatuh, mengahancurkan benteng
pertahanannya. Ia merindukan hujan, merindukan guntur yang datang bersama hujan
yang menyimpan segala kenangan manis tentangnya dan Guntur selama
bertahun-tahun.
Mengingat mimpinya baru saja, tangan
Julia lantas bergerak menuju lehernya. Mengelus sesuatu yang masih setia
menggantung di sana. Melepaskannya, dan seketika ia tersenyum getir menatap
benda mungil tersebut. Perlahan, Julia melangkah menuju sebuah meja tak jauh
dari ranjangnya, menarik sebuah laci, dan meletakkan benda mungil tersebut di
dalamnya. Bersama sebuah undangan pernikahan beratas namakan ‘Guntur dan
Astri’.