Annisa
memandang jauh ke dalam ruang penuh jiwa tersebut, ekor matanya melirik dengan
liar. Beberapa orang dengan seragam hijau, dan pakaian rapi lainnya sibuk hilir
mudik di hadapannya. Seringai senyuman merekah di wajahnya.
Praktek
kerja lapangan dan magang. Ah, Annisa sudah cukup bosan memikirkan dua hal
tersebut, hingga hampir gila, dibuatnya. Sialnya lagi, melaksanakan praktek
kerja nyata adalah sebuah keharusan, dan wajib hukumnya. Artinya, jika Annisa
tidak melaksanakan praktek kerja nyata tersebut, maka ia akan berdosa dan
gagal!.
Ada dua
tempat magang yang disarankan pada Annisa, siang itu. Entah mengapa, tak ada
satu pun dari tempat tersebut yang menarik, keduanya justru terdengar bagai
tempat keramat yang akan mengantarnya menuju gerbang kematian. Sekolah
luar biasa dan rumah sakit jiwa. Ia berpikir, orang sinting mana yang ingin
menghabiskan waktu magang mereka di tempat mengerikan itu.
Annisa
terlihat tengah memijat kepalanya, saat Putri –sahabatnya—datang ke rumahnya.
“Nis,
aku punya kabar baik untuk kamu” ucap gadis berkaca mata itu.
“Hmm…”
“Aku
sudah memilih tempat untuk kita magang nanti”
Mendengar
kalimat ‘tempat magang’, denyut di kepala Annisa kian menggila.
“Oh,
ya? Dimana?” Annisa menyipitkan matanya, berharap dua tempat yang sedari tadi
menghantuinya tidak keluar dari bibir sahabatnya itu.
“Rumah
sakit jiwa Dr. Faradhiba, gimana?.”
Tiba-tiba,
napas Annisa tercekat. Dadanya terasa sesak, tak dapat menghirup udara segar.
Dan, matanya seakan ingin loncat keluar.
Namun,
sepertinya, Putri tidak menangkap reaksi terkejut dari sahabatnya itu. Ia
lantas terus menyampaikan informasi mengenai rencana magang mereka nantinya.
“Dan,
aku sudah mengajukannya pada Bu Miranda. Beliau juga bilang, kalau selama
magang nantinya akan dua psikolog yang akan menemani kita. Hmm… kalau tidak
salah, namanya Pak Gusti dan Bu Ovi.”
Seketika,
tubuh Annisa luruh, tertarik gravitasi, mendengar penuturan sahabatnya itu. Ah,
sepertinya ia memang harus terjebak pada salah satu tempat mengerikan itu.
*****
Dalam
benak Annisa, dua minggu berlalu begitu saja. Dan, sekarang tiba saat untuk
dirinya, Putri, dan dua orang teman mahasiswa psikologi lainnya untuk memulai
magang hari pertama mereka.
Dengan
langkah berat, keempat mahasiswa jurusan psikologi itu menelusuri lorong bangsal
psikiatri, tempat pasien gangguan jiwa dirawat. Di ujung lorong, ada sebuah
kantor, ruang psikolog Gusti. Namun, hingga
tiba di percabangan lorong,
langkah mereka terhenti. Bingung, tak tahu harus melangkah kemana. Rasa takut
membuat mereka lupa akan petunjuk yang diberikan psikolog lainnya secara lisan,
sepuluh menit yang lalu.
Putri
menghela napas panjang, merutuki penyakit short
term memorynya. Berbeda dengan ketiga temannya yang sibuk celingukan
mencari petunjuk, Annisa lebih memilih untuk duduk pada bangku panjang di
sampingnya. Ada seorang pria dewasa yang juga duduk di sana. Annisa menatapnya
sekilas. Menimbang apakah orang tersebut adalah pasien atau hanya orang lain
yang ingin menjenguk keluarganya. Sejenak, ia sibuk berdebat dengan pikirannya.
“Teteh, nanti di sana hati-hati. Jangan
asal ajak orang asing ngobrol atau main, ingat kalau itu rumah sakit jiwa.
Bedakan, yang mana orang normal, yang mana pasien. Orang normal, biasanya akan
berpakaian rapi dan bertingkah sopan. Sedangkan, pasien akan berpakaian seragam
dan bertingkah aneh dan konyol.”
Seketika,
wejangan yang diberikan Ibunya dua hari yang lalu bergema di telinganya. Dengan
keyakinan atas informasi dari sang Ibu, Annisa menyimpulkan bahwa pria di
sampingnya itu bukanlah pasien rumah sakit jiwa tersebut. Ia terlihat bersih
dan berpakaian rapi.
“Maaf,
permisi. Saya mau numpang Tanya, ruang psikolog Gusti dimana, ya?” Tanya Annisa
pada pria tersebut.
Mendengar
kalimat Annisa itu, pria tersebut lantas menoleh, memiringkan kepalanya, dan
tersenyum lebar. Ah, Annisa tahu senyum itu. Itu bukan senyum dari bibir orang
normal.
Perlahan,
Annisa pun berdiri dan berjalan mundur, mendekati ketiga temannya. Namun,
pandangannya tetap tertuju pada pria tersebut. Rasa takut kian membuncah, kala
seyum di bibir pria itu memudar,
berganti dengan tatapan garang dan luapan emosi.
“Kamu!
Kamu ngapain di sini?! Dasar pembohong, pengkhianat. Pergi kamu!.”’
Ketiga
temannya Annisa pun serentak menoleh, mendengar cacian tersebut. Lalu, seakan
dikomando, mereka pun lantas berlari meninggalkan tempat tersebut.
“Kamu
apakan orang tadi, sampai dia bisa marah seperti itu?” Tanya Dimas
Annisa
menggeleng. Ia tidak mungkin mengaku bahwa ia baru saja mengajak seorang pasien
berbicara dan bertanya ruang psikolog Gusti. Di dalam hati, ia merutuki
kebodohannya yang dengan polosnya memercayai film-film yang ditontontonnya di televisi.
Ah, kenapa penampilan mereka berbeda. Ibu juga tidak menjelaskan serperti itu.
“Kalian
sedang apa di sini?.”
Tiba-tiba,
sebuah suara terdengar dari belakang mereka. Dengan gaya lambat, keempat
mahasiswa tersebut pun berbalik. Dan, seketika Annisa mematung memandang pria
tegap di hadapannya.
“Saya
sudah menunggu kalian dari tadi di ruangan saya” lanjutnya.
“Oh,
Tuhan. Apa benar dia psikolog Gusti? Kurasa, hari-hariku tidak akan seburuk
yang kubayangkan…” batin Annisa.
“Kamu
kenapa senyum-senyum seperti itu? Apa kamu sudah mulai ketularan pasien di
sini?” sebuah bisikan membuyarkan lamunan Annisa. Ia lantas menoleh, memandang
kekasihnya yang telah berdiri di belakangnya itu.
“Kamu
tadi bilang kalau aku kenapa?” Tanya Annisa dengan nada galaknya.
“kamu…
ketularan pasien di sini” ulangnya.
Seketika,
kedua tangan Annisa teracung, bersiap mencubit lengan, perut, atau apapun itu
pada pria di depannya ini, yang penting ia dapat membalas ejekan tersebut.