Siang itu Jimmi baru saja keluar
dari kelas dengan sedikit menggerutu. Dosen ekonominya selalu saja begitu,
mengajar dengan sekenaknya. Kadang ia masuk tak sesuai jadwal, dan kalau sudah
di ruang kelas ia sering kali mengajar tak ingat waktu. Mengajar dengan
suaranya yang bagai lantunan lagu nina bobo di siang hari, membuat hampir
seluruh mahasiswanya tertidur lelap.
Dengan langkah panjang Jimmi
berjalan menuju area depan kampus dan mencari angkutan kota jurusan pulogadung.
Segera ia meloncat masuk ke dalam angkutan kota tersebut begitu didapatnya. Ia
benar-benar tidak ingin ketinggalan barang sedetikpun untuk mendengar suara
penyiar radio favoritnya.
Selama di perjalanan, Jimmi
terlihat begitu gelisah. Sedikit-sedikit ia meluruskan kaki, lalu kembali duduk
tegap. Tak jarang, ia membetulkan posisi duduknya yang miring ke sana-sini.
Untunglah, angkutan kota tersebut sedang sepi.
Sesampainya di persimpangan
rumahnya, Jimmi cepat-cepat keluar dengan sebelumnya memberikan selembar uang
ribuan pada supir angkutan kota tersebut, tanpa meminta kembalian. Setengah
berlari, Jimmi berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari
persimpangan tersebut.
Hingga saat ia tiba di kamarnya,
ia pun melempar tasnya dengan sembarang ke atas kasur dan langsung menghidupkan
radio yang ada di atas meja belajarnya. Dan, lantas ia pun duduk sembari
memandang langit-langit kamarnya, menormalkan napasnya yang memburu.
Seketika, Jimmi mengembangkan senyum saat mendengar suara merdu penyiar radio
favoritnya itu.
"Selamat siang, Jakarta.
Kembali lagi sama Cinta, di sini. Oke, setelah tadi kita mendengar beberapa
lagu yang kalian request. Sekarang, Cinta mau lanjut cerita tentang cinta
pertama. Dan, bagi kalian pendengar setia 'Senandung nada Cinta' juga bisa
ikutan cerita di nomor telpon..."
Lantunan suara lembut dari
penyiar radio yang mengaku bernama 'Cinta' itu begitu menenangkan hati Jimmi.
Ia tak pernah bosan mendengarkan radio dengan frekuensi dan jam yang sama di
setiap hari senin hingga jumat. Mendengar lagu-lagu cinta nan romantis yang
ditambah dengan suara merdu dari penyiarnya. Pernah terbersit di pikran Jimmi
untuk bertemu dengan penyiar radio favoritnya itu. Namun, nyalinya belum begitu
kuat untuk melakukannya. Hingga saat ini, Jimmi hanya bisa menjadi pendengar
setianya saja.
Tiba-tiba saja pikiran Jimmi
melayang, entah kemana. Lantunan lagu AB Three, Michael Jackson, dan AB Club
lewat begitu saja di telinganya. Lalu, dengan sigap ia mengambil selembar
kertas dan membubuhinya dengan seteret goresan tinta pena.
Dear,
Cinta.
Sebelumnya, maaf atas
kelancanganku yang dengan sekenaknya mengirimimu surat tak berharga ini. Tak
perlu kaupikirkan siapa yang mengirimnya. Aku hanya salah satu dari penggemarmu
yang selalu setia mendengarkan siaranmu di radio, Senandung nada Cinta.
Dengan surat ini, aku hanya ingin
menyampaikan apa yang kupendam selama berbulan-bulan belakangan. Aku pun
sebenarnya tidak begitu paham apa namanya ini. Yang kutahu, aku hanya tidak
ingin ketinggalan pada setiap waktu siaranmu, dan selalu ingin mendengar
suaramu yang menenangkan itu, walau hanya melalui radio saja.
Kau tak perlu takut atas
kegilaanku ini. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku hanya penggemarmu yang
ingin menyampaikan apa yang kurasakan. Tetaplah menjadi penyiar radio yang
disenangi banyak pendengar, melakukannya dengan hati dan tanpa beban.
Terima kasih atas waktumu yang
kausia-siakan hanya untuk membaca suratku ini.
Your
secret admirer, Mr.J
Jakarta,
21 September 1995
Ada sebuah kelegaan saat Jimmi
menyelesaikan tulisannya itu. Entah ini merupakan ide bagus atau tidak. Hanya
ini satu-satunya cara yang berani ia lakukan. Walaupun, masih tersimpan
keinginan untuk bertemu dengan sang penyiar radio favoritnya itu.
cerpen ini diikut sertakan dalam
tantangan @kampusfiksi; #CerpenRadio