Senin, 20 Oktober 2014

Senandung Nada Cinta


Siang itu Jimmi baru saja keluar dari kelas dengan sedikit menggerutu. Dosen ekonominya selalu saja begitu, mengajar dengan sekenaknya. Kadang ia masuk tak sesuai jadwal, dan kalau sudah di ruang kelas ia sering kali mengajar tak ingat waktu. Mengajar dengan suaranya yang bagai lantunan lagu nina bobo di siang hari, membuat hampir seluruh mahasiswanya tertidur lelap.
Dengan langkah panjang Jimmi berjalan menuju area depan kampus dan mencari angkutan kota jurusan pulogadung. Segera ia meloncat masuk ke dalam angkutan kota tersebut begitu didapatnya. Ia benar-benar tidak ingin ketinggalan barang sedetikpun untuk mendengar suara penyiar radio favoritnya.
Selama di perjalanan, Jimmi terlihat begitu gelisah. Sedikit-sedikit ia meluruskan kaki, lalu kembali duduk tegap. Tak jarang, ia membetulkan posisi duduknya yang miring ke sana-sini. Untunglah, angkutan kota tersebut sedang sepi.
Sesampainya di persimpangan rumahnya, Jimmi cepat-cepat keluar dengan sebelumnya memberikan selembar uang ribuan pada supir angkutan kota tersebut, tanpa meminta kembalian. Setengah berlari, Jimmi berjalan menuju rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari persimpangan tersebut.

Hingga saat ia tiba di kamarnya, ia pun melempar tasnya dengan sembarang ke atas kasur dan langsung menghidupkan radio yang ada di atas meja belajarnya. Dan, lantas ia pun duduk sembari memandang langit-langit kamarnya, menormalkan napasnya yang memburu. Seketika, Jimmi mengembangkan senyum saat mendengar suara merdu penyiar radio favoritnya itu.
"Selamat siang, Jakarta. Kembali lagi sama Cinta, di sini. Oke, setelah tadi kita mendengar beberapa lagu yang kalian request. Sekarang, Cinta mau lanjut cerita tentang cinta pertama. Dan, bagi kalian pendengar setia 'Senandung nada Cinta' juga bisa ikutan cerita di nomor telpon..."
Lantunan suara lembut dari penyiar radio yang mengaku bernama 'Cinta' itu begitu menenangkan hati Jimmi. Ia tak pernah bosan mendengarkan radio dengan frekuensi dan jam yang sama di setiap hari senin hingga jumat. Mendengar lagu-lagu cinta nan romantis yang ditambah dengan suara merdu dari penyiarnya. Pernah terbersit di pikran Jimmi untuk bertemu dengan penyiar radio favoritnya itu. Namun, nyalinya belum begitu kuat untuk melakukannya. Hingga saat ini, Jimmi hanya bisa menjadi pendengar setianya saja.
Tiba-tiba saja pikiran Jimmi melayang, entah kemana. Lantunan lagu AB Three, Michael Jackson, dan AB Club lewat begitu saja di telinganya. Lalu, dengan sigap ia mengambil selembar kertas dan membubuhinya dengan seteret goresan tinta pena.


Dear, Cinta.

Sebelumnya, maaf atas kelancanganku yang dengan sekenaknya mengirimimu surat tak berharga ini. Tak perlu kaupikirkan siapa yang mengirimnya. Aku hanya salah satu dari penggemarmu yang selalu setia mendengarkan siaranmu di radio, Senandung nada Cinta.
Dengan surat ini, aku hanya ingin menyampaikan apa yang kupendam selama berbulan-bulan belakangan. Aku pun sebenarnya tidak begitu paham apa namanya ini. Yang kutahu, aku hanya tidak ingin ketinggalan pada setiap waktu siaranmu, dan selalu ingin mendengar suaramu yang menenangkan itu, walau hanya melalui radio saja.
Kau tak perlu takut atas kegilaanku ini. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku hanya penggemarmu yang ingin menyampaikan apa yang kurasakan. Tetaplah menjadi penyiar radio yang disenangi banyak pendengar, melakukannya dengan hati dan tanpa beban.

Terima kasih atas waktumu yang kausia-siakan hanya untuk membaca suratku ini.

Your secret admirer, Mr.J
Jakarta, 21 September 1995


Ada sebuah kelegaan saat Jimmi menyelesaikan tulisannya itu. Entah ini merupakan ide bagus atau tidak. Hanya ini satu-satunya cara yang berani ia lakukan. Walaupun, masih tersimpan keinginan untuk bertemu dengan sang penyiar radio favoritnya itu.


cerpen ini diikut sertakan dalam tantangan @kampusfiksi; #CerpenRadio


Selasa, 14 Oktober 2014

24 Di Masa lalu

Sejenak, aku terdiam dalam pandangan yang tertuju lurus pada kalender di tanganku. Rindu itu kembali menyapa, menciptakan sesak yang tak tertahan di dada. Melukis wajah yang terus berusaha untuk kulupakan. Tiba-tiba, pandanganku kabur. Setetes air jatuh tepat di angka 24.
“kesempatan kedua itu tidak datang pada setiap orang, dan kau justru menyia-nyiakannya.  Sekarang, kau mengingikan kesempatan ketiga?. Yang benar saja, Nona?!”
Kalimat yang dilontarkan teman baikku itu kembali terngiang di telinga, bak kaset kusut.
Perlahan, rasa itu berpindah. Meraba leherku, lantas mencekiknya tanpa ampun. Mati. Aku merasa mati oleh rasa yang kubuahi dengan harapan-harapan kosong. Namun, aku tidak sepenuhnya mati. Rasa itu hanya membunuh hatiku. Tapi, tidak untuk mata dan tubuhku yang kian menggila.
Tanpa kusadari, kenangan telah merentangkan lengannya dan merengkuh erat tubuhku. Lalu, mengajakku masuk ke dalam dunianya.

Dapat kulihat jelas raut kebahagiaan melekat sempurna pada wajah seorang gadis yang baru saja pulang dari kencannya. Senyum tak henti-hentinya merekah di bibir tiptisnya. Aku pun dapat merasakan bahwa di dalam hatinya, ia tengah meloncat kegirangan.
Gadis itu..., gadis yang sungguh egois. Ia lebih mementingkan kebahagiannya daripada orang yang telah memberikan kebahagiaan itu sendiri. Dan, keegoisan tersebut justru berubah menjadi boomerang yang akan menghancurkan kebahagiaanya.
Gadis yang memegang prinsip konyol—aku tidak akan dengan mudah mengatakan ‘iya’ pada cinta yang baru saja kutemui—pada akhirnya benar-benar kehilangan cintanya. Tak peduli seberapa jauh ia berlari atau seberapa keras ia berteriak.Cinta itu tidak akan mau kembali pada gadis egois sepertinya. Bahkan, untuk menoleh pun, tidak.
Kulihat, gadis itu melangkah mendekatiku. Menatapku dengan nanar.
“Aku adalah gadis yang egois. Gadis gila yang masih saja memegang prinsip hidupnya yang konyol. Aku…  adalah kamu.” Ucapnya sembari menunjukku.
Aku terkejut. Namun, di detik yang sama, aku mendapati wajahnya yang begitu serupa denganku. Benarkah gadis ini aku? Aku adalah gadis gila dan konyol ini?
Tiba-tiba saja, kenangan melepaskan rengkuhannya dan menjatuhkanku pada kenyataan. Aku menangis, kesakitan. Bukan karena kenangan yang dengan seenaknya menjatukanku. Tapi, karena gadis yang baru saja aku temui.
Aku menghela napas dengan kasar, lalu meletakkan kembali kalender yang kupegang ke tempatnya—tepat di sebelah lilin hias berbentuk inisial namamu, lalu beranjak menuju kamar mandi dan mencuci muka di wastafel, berharap dapat mengusir kegundahan bersama air yang jatuh dari wajahku. Namun, yang kudapati justru wajah bersalah pada gadis yang berdiri tepat di depanku. Diriku sendiri.
Sepanjang hari, penyesalan tak habis-habisnya menghantuiku. Membuatku semakin gila. Aku merasa seakan dihantui oleh ‘gadis’ yang mengaku diriku. Datang entah dari mana, lalu menatapku seolah aku adalah pendosa besar.
Hari terus berganti dan aku masih saja hidup dalam bayangan masa lalu. Pada mereka yang kujadikan tempat untuk berbagi cerita, aku selalu mendapan pesan yang sama: cinta lama akan hilang seiring waktu berlalu dengan kau mengikhlaskan ataupun dengan cinta baru yang dicari.
Dan, aku pun melakukannya. Mengikhlaskan dirimu yang telah bahagia bersamanya—orang yang kaupilih dengan cinta barumu. Seiring bersamanya, perlahan prinsip konyol itu pun ikut memudar.



Wahai kamu, cahaya gelap malamku....
Terasa jahat atas terima kasih untuk waktumu yang terbuang sia.
Ku kira maaf tak cukup untuk apa kau dapat.
Tapi hidup selalu adil.
Entah apa dan bagaimana,
Kita pernah hampir ada.

Proses, proses, proses, dan waktu!



                Ini butuh proses. Itu butuh proses. Semua butuh proses. Dan, proses pun pasti membutuhkaan waktu. Cepat atau lambat. Semua tentang waktu, karna dialah yang mengatur segalanya. Pun pada cinta yang tumbuh dan berkembang di hati setiap insan, ia membutuhkan waktu dan proses.
                Aku dank au adalah dua orang yang baru saja dipertemukan, dan kita mmembutuhkan waktu untuk saling mengenal dan mengaakrabkan diri. Tapi, agaknya kau tidak pernah mengenal proses.
                Dengan gayamu, kau datang dengan segenggam cinta yang kauberikan padaku. Aku bingung, tak tahu harus berbuat dan berkata apa. Mungkin, memang ada cinta di hatiku untukmu. Tapi, aku belum yakin dengannya. Cinta ini terasa masih bias. Aku meminta waktu. Namun, kau tak mau. Jadi, maaf, jika aku membiarkanmu pergi dariku. Selamat tinggal cinta sesaat.


Vierratale - cinta butuh waktu

Tentang Sebuah Harapan


“Setalah matahari, setelah langit, benda yang berwarna cerah adalah harapan.” (Milli dan Nathan)
*****
                Tidak mendapat izin untuk menjalin hubungan lebih dengan lawan jenis memang menyedihkan bagi sebagian remaja. Alhassil, backstreet pun menjadi solusi. Tapi, backstrret juga bukan ssolusi yang baik. Contohnya; saat inngin bertemu atau sekadar jalan-jalan dengan kekassih saja harus sembunyi-sembunyi. Belum lagi, ada beberapa di antara mereka yang harus berhubungan jarak jauh atau yang sering disebut  long distance relationship. Sudahlah backstreet, LDR pula. Ssungguh malang nassib mereka ini. Tapi, di situlah kisah ini dimulai.
Siang itu, dua orang gadis tengah menunggu kedatangan tamu mereka. Atau, mungkin lebih tepatnya tamu dari sahabat sang pemilik rumah. Tia—sang pemilik rumah –dengan pasrah merelakan rumanya menjadi tempat pertemuan sahabatnya dengan sang kekasih. Bukan karna apa, justru karna untuk bertemu di rumahnya sendiri sangatlah tidak mungkin. Ada keluarganya dalam formasi lengkap sedang berkumpul di sana. Ya, sahabtnya ini adalh salah satu pelaku dari bacstreet–LDR tersebut. Bersekolah di kota yang berneda adalah salah satu alasan mereka.
                Dan, sang tamu yang ditunggu pun akhirnya datnag. Dengan mengendarai motor massing-massing, Bima datang bersama seorang temannya.
                Senyum manis disuguhkan Tia dan Amel, sahabatnya. Mempersilahkan si tamu untuk masuk. Diam-diam, Tia memperhatikan Bima. Mencari tahu apa yang membuat sahabatnya itu sampai jatuh cinta pada cowok itu. Namun, tiba-tiba saja Tia dikagetkan dengan ulah teman Bima. Dengan santainya, ia melangkahkan kaki massuk ke ruang tamu, dan membanting diri pada salah satu kursi.
                Sejenak, Tia hanya saling melempar rasa kaget dengan Amel yang mengangkat bahu.
                Belum lagi hilang rasa kaget yang tiba-tiba menyergap, Tia dan Amel—mungkin juga Bima –melongo, begitu mendengar kalimat yang terdengar polos keluar dari bibir teman Bima itu.
                “Masuk kali, Bim”
                “Iya, masuk aja” ucap Amel malu-malu.
                Dengan susah payah, Tia menahan agar senyumnya tidak meldeak menjadi tawa. Dia sudah hapal betul semua tentang sahabatnya yang sudah dianggapnya seperti keluarga itu. Amel yang baik, cuek, polos, dan pemalu. Ya, Amel ssangat pemalu. Hanya saat bersama orang-orang terdekatnyalah ia bersikap lebih terbuka. Termasuk saat bersama Tia.
                Entah untuk yang ke berapa kalinya Tia menghela napas. Pertemuan yang dikiranya akan membosankan ini ternyata meleset. Lebih dari membosankan, pertemuan ini sngat membosankan sekali. Hamper 80% waktu diisi dengan keterdiaman, hanya Bima dan temannya itulah yang sesekali berbisik, entah apa.
                Akhirnya, setelah cukup lama berdiam diri dengan kondisi yang sama, Bima dan temannya pun pamit pulang. Masih terlihat jelas wajah malu-malu Amel dan Bima saat itu. Lau, berselang beberapa menit kemudian Amel pun ikut pamit pulang. Ada sesuatu yang sepertimya disembunyikan AAmel dari Tia. Tapi, Tia tak begitu memikirkannya.
                Dan seperti biasnya, jika tidak ada kegiatan Tia akan dengan senang hati melakukan aktivita favoritnya. Tidur. Namun, belum sempat Tia memejamkan mata, ponselnya lebih dulu mengeluarkan suara tanda panggilan masuk. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan meraih ponsel yang tegeletak di atas meja di sebelah kasurnya. Dari Amel. Setengah bingung, Tia menjawab telepon dari sahabatnya itu.
                “Tia maaf, ya” ucap Amel di sebrang sna, tanpa sempat Tia mengucapkan ‘halo’ ataupun salam.
                “Kenapa?”
                “Maaf, ya. Pokoknya aku meminta maaf”
                “Iya, minta maaf karna apa?”
                “Tadi, temannya Bima yang ikut ke rumahmu itu namanya Dimas… “
                “Iya, terus?”
                “Terus… terus, itu… hmmm… dia tadi minta nomor ponsel kamu”
                Tia diam. Tidak ada sepatah  kata pun yang keluar.
                “Tia. Hallo, hallo?”
                “Ah, iya. Kenapa?”
                “Kamu marah?”
                “gak. Ya sudah, aku mau tidur dulu, ya?”’
                Setelah memutuskan telepon dari Amel, Tia sibuk dengan pikirannya. Memikirkan alasan mengapa Dimas meminta nomor ponselnya, dan mengapa dengan mudahnya Amel memberikannya. Tia juga berpikir, jangan-jangan, saat Bima berbisik dengan temannya tadi, mereka sedang membicarakan dirinya. Entahlah.
                Tia terus memikirkannya hingga benar-benar tertidur. Sangat pulas. Bahkan, saat ponselnya terus berbunyi, Tia tidak menyadarinya.
                Entah berapa lama Tia tertidur. Hingga saat ia terbangun langit sudah berubah menjadi gelap. Ia pun kembali teringat pada ponselnya yang tergelatak pasrah di atas meja. Tia lantas mengambil dan melihat pemberitahuannya. Ada beberapa pesan dari temannya, termasuk Amel, dan dua pesan dari nomor yang tidak dikenal.
                ‘Hay’
                ‘Kok gak dibalas?’
                Dengan yakin, Tia menebak bahwa pengirim pesan tersebut adalah Dimas.
                ‘Sorry, ini siapa?’
                Tia membalas pesan tersebut dan memastikan siapa pengirimnya. Mana tau saja Tia salah. Namun, balasan pesan yang diterimanya dengan cepat telah membenarkan dugaanya.
                Pada awalnya, Tia membalas pesan tersebut dengan malas. Tapi, setelah beberapa pesan terkirim, Tia menjadi tertarik dan terus membalas setiap pesan yang diterimanya. Walau, terkadang isinya hanyalah pesan-pesan tidak penting, hingga akhirnya, mereka pun menjadi semakin akrab.
                Ada beberapa kali Dimas menjemput Tia di sekolahnya, dan terkadang mereka jalan bersama, hanya sekadar untuk makan atau nonton di bioskop. Dan, mereka pun benar-benar akrab sekarang. Tak jarang mereka saling bertukar cerita tentang apa saja yang baru mereka alami seharian tadi.
                Seperti saat ini, Amel dengan setia mendengar cerita dari BIma. Tentang kenakalan yang baru saja dilakukannya di sekolah. Terkadang, Tia mengejek ata tingkah Bima tersebut. Namun, sebenarnya, ada perhatian yang tersimpan di balik setiap ejekannya tersebut.
                Dari kedekatan mereka ini, sudah dua kali Dimas mengatakan cintanya. Tapi, tak satu pun yang mendapat jawaban. Tia ragu akan perasaannya dari kedekatan mereka yang tebilang masih baru. Ia hanya mengalihkan pembicaraan saat Dimas membicarakan tentang perasaannya itu. Namun, sepertinya Dimas menangkap kesimpulan yang berbeda. Dimas mengira bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, karna Tia tak kunjung menjawab pertanyaannya.
                Beberapa minggu berlalu, semua mulai berubah. Tia mulai jarang bertemu dengan Dimas, komunikasi di antara mereka pun mulai memudar. Hingga suatu ketika, Tia melihat Dimas bersama seseorang yang lain, seseorang yang telah menggatikan posisinya. Ada rasa kecewa yang menjalar di tubuh taia. Tapi, ia tak dapat menyalahkan Dimas atas keputusannya. Karna, sebelumnya, ia telah diberi kesempatan hingga dua kali, dan telah disia-siakannya.
                Kini , Tia hanya dapat menyimpan harapan yang terus dipegannya, walau perlahan menghilang bersama waktu.

Minggu, 12 Oktober 2014

Kabut Di Mata Zevana




                Hujan. Ya, itulah yang seharusnya menghiasi Indonesia saat ini, sampai habis musimnya. Tapi, dunia semakin tua. Tak lagi mengenal musim. Selama satu minggu ini bisa saja kau mati kedinginan, karna terus diguyur hujan. Dan, satu minggu setelahnya, kau akan mati kepanasan disengat matahari.
                Seperti saat ini, agaknya hujan begitu enggan untuk mampir di kota kelahiran Zevana. Jambi. Sudah sekitar satu bulan, hujan hanya datang dalam hitungan hari, sangat jarang. Dan, itu semakin memperburuk keadaan kota. Kabut asap yang menyelimuti kota beberapa minggu belakangan, semakin malas untuk pergi. Yang ada, ia semakin mempertebal diri. Mengancam kesehatan masyarakat. Anehnya, salah satu informasi mengatakan bahwa masyarakat di Riau—tempat asal kabut asap yang berada di Jambi –tetap melaksanakan aktivitass mereka dengan normal. Dan, ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jambi. Seluruh sekolah telah diliburkan, bahkan untuk keluar rumah pun mereka sudah menggunakan masker. Entahlah, Zevana sendiri pun tidak mengerti apa alasannya.
                Bosan dengan televisi yang acap kali menyuguhkan sinetron penuh drama, Zevana lantas mematikan televisi yang sedari tadi hanya terus-terusan ditukar channelnya. Melempar remot dengan sembarang, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Beberapa minggu yang lalu, saat Zevana menolehkan kepala ke arah jendela kamarnya, ia masih dapat melihat anak-anak bermain atau sekadar duduk-duduk di taman perumahan tempat tingggalnnya. Tapi, sekarang taman itu sepi. Taman yang terlihat kosong itu hanya diselimuti kabut asap yang tak kunjung pergi. Zevana tersenyum kecut melihatnya. Belakangan ini, perasaan Zevana memang sedang tidak baik. Ada satu hal yang terus menghantuinya, dan ini menyangkut tentang hatinya yang tengah hancur. Belum lagi, ditambah cuaca buruk yang membuatnya malas untuk keluar rumah, walau hanya selangkah.
                Zevana merasa bodoh karna telah menghindar dari teman baiknya, hanya karna Rama—pria yang sangat dicintainya –telah menjalin hubungan dengan Kania, teman baiknya. Seperti ada sesuatu yang menghujam hatinya saat ia bertemu Rama ataupun Kania. Sejujurnya, ia tidak ingin terus menghindari Kania, tapi ia tidak ingin membuat hatinya lebih hancur melihat kebersamaan dan kemesraan mereka.
                Tanpa sengaja, mata Zevana menagkap sesuatu yang tergantung rapi tepat di depan pintu lemari bajunya. Sebuah jaket yang sempat dipinjamkan Rama saat mereka baru pulang kuliah. Dua hari, sebelum Rama dan Kania resmi berpacaran.

                Hujan tiba-tiba saja mengguyur mereka, tepat di saat Zevana dan Rama sedang berjalan menuju parkiran kampus. Refleks, Zevana dan Rama pun berbalik, lantas berlari kembali menuju gedung kampus yang tidak jauh dari mereka. Namun, cukup untuk membasahi tubuh mereka.
                Sesampainya mereka di gedung kampus, baik Zevana ataupun Rama saling merapikan diri yang hancur dihantam hujan.
                “Baju kamu basah banget, Ze” ucap Rama saat mendapati pakaian Zevana yang basah kuyup hingga berhasil membentuk lekuk tubuhnya.
                “Iya” jawab Zevana, sembari menatap pasrah pakaiannya.
                Tanpa berpikir panjang, Rama membuka resleting tasnya dan mengambil jaket yang dibawanya. Lalu, meletakkan jaket tersebut di atas tubuh Zevana. Kaget, Zevana mendongak, menatap Rama yang tersenyum manis kepadanya.
                “Pakai aja dulu” ucap Rama, lembut.
                Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Zevana, ia hanya menganggukkan kepala. Sibuk menormalkan detak jantungnya yang tidak wajar. Tak tahan dengan Rama yang masih saja tersenyum padanya, Zevana lantas melempar pandangan pada hujan yang belum puas mengguyur Bumi.
                “Hujannya awet” Zevana mengangkat tangan, membiarkan hujan jatuh di tangannya.
                “Biarkan saja. Mana tahu kabut asapnya bisa hilang, kan?” lagi-lagi, Rama menoleh ke arah Zevana dan tersenyum manis padanya.

                Zevana merasakan matanya memanas, kabur ditutupi kabut. Sepotong kejadian beberapa hari yang lalu itu, berhasil membuat luka di hatinya kian menanah. Entah apa yang harus dilakukan agar dapat mengobati luka di hatinya. Cinta yang pernah tumbuh, namun tak sempat untuk bermekaran itu telah mati, digantikan dengan luka di hatinya saat ini.
                Kabut di matanya telah hilang, berganti dengan hujan yang mengguyur wajah manisnya. Tapi, tidak untuk kabut yang sesungguhnya di luar sana, yang entah kapan akan menghilang. Perlahan, Zevana mendekati jaket yang tergantung di depan lemari bajunya itu. Dan, lantas menenggelamkannya dalam rengkuhan. Masih dapat dengan jelas ia mencium aroma tubuh Rama yang mengurai dari jaket tersebut. Membuat hujan di matanya semain tak ingin berhenti turun.
                “Tuhan, tolong aku. Beri tahu aku, harus dengan apa aku menyembuhkan luka yang tak berkesudahan di hati ini”



Tantangan @KampusFiksi #DeskripsiAngin
Panjang kata: 673 kata