Minggu, 16 November 2014

Berbeda

                Annisa memandang jauh ke dalam ruang penuh jiwa tersebut, ekor matanya melirik dengan liar. Beberapa orang dengan seragam hijau, dan pakaian rapi lainnya sibuk hilir mudik di hadapannya. Seringai senyuman merekah di wajahnya.

                Praktek kerja lapangan dan magang. Ah, Annisa sudah cukup bosan memikirkan dua hal tersebut, hingga hampir gila, dibuatnya. Sialnya lagi, melaksanakan praktek kerja nyata adalah sebuah keharusan, dan wajib hukumnya. Artinya, jika Annisa tidak melaksanakan praktek kerja nyata tersebut, maka ia akan berdosa dan gagal!.
                Ada dua tempat magang yang disarankan pada Annisa, siang itu. Entah mengapa, tak ada satu pun dari tempat tersebut yang menarik, keduanya justru terdengar bagai tempat keramat yang akan mengantarnya menuju gerbang kematian. Sekolah luar biasa dan rumah sakit jiwa. Ia berpikir, orang sinting mana yang ingin menghabiskan waktu magang mereka di tempat mengerikan itu.
                Annisa terlihat tengah memijat kepalanya, saat Putri –sahabatnya—datang ke rumahnya.
                “Nis, aku punya kabar baik untuk kamu” ucap gadis berkaca mata itu.
                “Hmm…”
                “Aku sudah memilih tempat untuk kita magang nanti”
                Mendengar kalimat ‘tempat magang’, denyut di kepala Annisa kian menggila.
                “Oh, ya? Dimana?” Annisa menyipitkan matanya, berharap dua tempat yang sedari tadi menghantuinya tidak keluar dari bibir sahabatnya itu.
                “Rumah sakit jiwa Dr. Faradhiba, gimana?.”
                Tiba-tiba, napas Annisa tercekat. Dadanya terasa sesak, tak dapat menghirup udara segar. Dan, matanya seakan ingin loncat keluar.
                Namun, sepertinya, Putri tidak menangkap reaksi terkejut dari sahabatnya itu. Ia lantas terus menyampaikan informasi mengenai rencana magang mereka nantinya.
                “Dan, aku sudah mengajukannya pada Bu Miranda. Beliau juga bilang, kalau selama magang nantinya akan dua psikolog yang akan menemani kita. Hmm… kalau tidak salah, namanya Pak Gusti dan Bu Ovi.”
                Seketika, tubuh Annisa luruh, tertarik gravitasi, mendengar penuturan sahabatnya itu. Ah, sepertinya ia memang harus terjebak pada salah satu tempat mengerikan itu.

*****

                Dalam benak Annisa, dua minggu berlalu begitu saja. Dan, sekarang tiba saat untuk dirinya, Putri, dan dua orang teman mahasiswa psikologi lainnya untuk memulai magang hari pertama mereka.
                Dengan langkah berat, keempat mahasiswa jurusan psikologi itu menelusuri lorong bangsal psikiatri, tempat pasien gangguan jiwa dirawat. Di ujung lorong, ada sebuah kantor, ruang psikolog Gusti. Namun, hingga  tiba di percabangan lorong,  langkah mereka terhenti. Bingung, tak tahu harus melangkah kemana. Rasa takut membuat mereka lupa akan petunjuk yang diberikan psikolog lainnya secara lisan, sepuluh menit yang lalu.
                Putri menghela napas panjang, merutuki penyakit short term memorynya. Berbeda dengan ketiga temannya yang sibuk celingukan mencari petunjuk, Annisa lebih memilih untuk duduk pada bangku panjang di sampingnya. Ada seorang pria dewasa yang juga duduk di sana. Annisa menatapnya sekilas. Menimbang apakah orang tersebut adalah pasien atau hanya orang lain yang ingin menjenguk keluarganya. Sejenak, ia sibuk berdebat dengan pikirannya.
                Teteh, nanti di sana hati-hati. Jangan asal ajak orang asing ngobrol atau main, ingat kalau itu rumah sakit jiwa. Bedakan, yang mana orang normal, yang mana pasien. Orang normal, biasanya akan berpakaian rapi dan bertingkah sopan. Sedangkan, pasien akan berpakaian seragam dan bertingkah aneh dan konyol.”
                Seketika, wejangan yang diberikan Ibunya dua hari yang lalu bergema di telinganya. Dengan keyakinan atas informasi dari sang Ibu, Annisa menyimpulkan bahwa pria di sampingnya itu bukanlah pasien rumah sakit jiwa tersebut. Ia terlihat bersih dan berpakaian rapi.
                “Maaf, permisi. Saya mau numpang Tanya, ruang psikolog Gusti dimana, ya?” Tanya Annisa pada pria tersebut.
                Mendengar kalimat Annisa itu, pria tersebut lantas menoleh, memiringkan kepalanya, dan tersenyum lebar. Ah, Annisa tahu senyum itu. Itu bukan senyum dari bibir orang normal.
                Perlahan, Annisa pun berdiri dan berjalan mundur, mendekati ketiga temannya. Namun, pandangannya tetap tertuju pada pria tersebut. Rasa takut kian membuncah, kala seyum di bibir pria itu memudar,  berganti dengan tatapan garang dan luapan emosi.
                “Kamu! Kamu ngapain di sini?! Dasar pembohong, pengkhianat. Pergi kamu!.”’
                Ketiga temannya Annisa pun serentak menoleh, mendengar cacian tersebut. Lalu, seakan dikomando, mereka pun lantas berlari meninggalkan tempat tersebut.
                “Kamu apakan orang tadi, sampai dia bisa marah seperti itu?” Tanya Dimas
                Annisa menggeleng. Ia tidak mungkin mengaku bahwa ia baru saja mengajak seorang pasien berbicara dan bertanya ruang psikolog Gusti. Di dalam hati, ia merutuki kebodohannya yang dengan polosnya memercayai film-film yang ditontontonnya di televisi. Ah, kenapa penampilan mereka berbeda. Ibu juga tidak menjelaskan serperti itu.
                “Kalian sedang apa di sini?.”
                Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari belakang mereka. Dengan gaya lambat, keempat mahasiswa tersebut pun berbalik. Dan, seketika Annisa mematung memandang pria tegap di hadapannya.
                “Saya sudah menunggu kalian dari tadi di ruangan saya” lanjutnya.
                “Oh, Tuhan. Apa benar dia psikolog Gusti? Kurasa, hari-hariku tidak akan seburuk yang kubayangkan…” batin Annisa.

                “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu? Apa kamu sudah mulai ketularan pasien di sini?” sebuah bisikan membuyarkan lamunan Annisa. Ia lantas menoleh, memandang kekasihnya yang telah berdiri di belakangnya itu.
                “Kamu tadi bilang kalau aku kenapa?” Tanya Annisa dengan nada galaknya.
                “kamu… ketularan pasien di sini” ulangnya.
                Seketika, kedua tangan Annisa teracung, bersiap mencubit lengan, perut, atau apapun itu pada pria di depannya ini, yang penting ia dapat membalas ejekan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar