Lama kuterdiam memandang pada satu arah, pada tempat
yang menyisahkan tawa dan air mata. Perlahan, rasa itu muncul kembali, dan
semakin nyata. Mengoyak luka lama yang bahkan belum sempat mengering.
Entah apa yang mendorongku untuk datang ke tempat ini,
setelah setahun lamanya. Aku pun tak tahu. Dengan sekuat tenaga , kucoba
melangkahkan kaki menapaki jalan yang menuntunku menuju pintu masuk sebuah
taman. Segera kedamaian menyambut kehadiranku, ramah.
Beberapa jenis tanaman anggrek tersenyum, melambaikan
tangan, mengajakku masuk lebih dalam lagi. Aku ragu. Namun, tetap saja aku
melangkah. Lagi-lagi, entah karna apa. Lelah kuayunkan langkah yang semakin
berat, tapi, tak juga aku beranjak jauh.
Sebuah kehangatan seketika menjalar di tubuhku.
Kala tangan kokoh tersebut menggenggam erat tanganku. Aku menoleh, tersenyum
manis padanya. Dengan santai, ia menuntunku mengelilingi taman, melihat
berbagai jenis tanaman anggrek yang setia menghuni bersama beberapa jenis
tanaman bunga lainnya, dan juga beberapa tanaman obat.
Taman ini masih tetap sama. Sejuk dan damai. Sesuai dengan namanya, Taman Anggrek Sri Soedewi. Rumah dari puluhan jenis tanaman anggrek.
Taman ini masih tetap sama. Sejuk dan damai. Sesuai dengan namanya, Taman Anggrek Sri Soedewi. Rumah dari puluhan jenis tanaman anggrek.
Aku berjalan beriringan dengannya. Kurasakan, ada
beberapa tatapan yang tak kumengerti tertuju padaku. Namun, kubiarkan begitu saja. Masa bodoh. Rasa nyaman terlanjur merajai. Kami berjalan menuju
pada sebuah bangku taman yang terletak di tepi danau buatan yang berisikan
beberapa ikan hias, ditambah beberapa tanaman anggrek jenis air. Tempat ini
memang sungguh berharga bagiku.
“Ga, lihat deh. Bunga anggreknya cantik, ya?"
Seketika cowok yang dipanggil "Ga" itu pun
memicingkan mata, mengikuti arah yang kutunjuk. "Yang mana, sih?"
"Aduh, kamu ini. Makanya, punya mata jangan sipit
banget gitu, jadi susah melihat kan?" ledekku.
Merasa tidak terima dibilang seperti itu, cowok di sebelahku pun diam-diam mendekat dan dengan cepat memencet hidungku.
Merasa tidak terima dibilang seperti itu, cowok di sebelahku pun diam-diam mendekat dan dengan cepat memencet hidungku.
“Aaawww” rintihku, sembari mengelus hidung yang mulai memerah akibat kesakitan.
Bukannya meminta maaf, dia justru tertawa puas. Ada sesuatu yang berdesir saat mendengar tawanya, menghilangkan
rasa amarahku. Aku tersenyum, memandang cowok yang sangat kucintai.
Setelah cukup lama duduk di bangku taman tersebut,
kami pun kembali menelusuri tiap sudut taman. Tempat ini selalu menjadi ‘pelarian’
bagi mreka yang telah dipusingkan oleh panas dan hiruk pikuk kota.
"Dee, coba lihat. Bunganya sudah bermekaran.
Bukankah terakhir datang bunganya masih belum ada?" ucapnya, sembari
menunjukkan salah satu jenis anggrek.
Arundina. Jenis anggrek kesukaanku. Selain warnanya
yang cantik-- merah dan putih, dengan bibir berwarna ungu --juga karna bunga yang
menggantung ke bawah ini memiliki bentuk yang indah.
"Iya. Cantik, ya?" aku menyentuh tanaman
tersebut. Ingin rasanya kupetik dan kubawa pulang. Tapi, itu tidak mungkin.
Aku merasakan bahwa kau tengah memandangku dalam. Aku
menoleh. Tatapan kita beradu. Tak dapat terelakkan bahwa jantungku memompa
cepat saat itu. Mata coklatmu yang sayu itu, entah mengapa aku merasa begitu
merindukannya. Perlahan, kauraih lenganku. Menggenggamnya erat, seakan tak
ingin kehilangan.
"Berjanjilah padaku bahwa kau akan terus bahagia.
Bukalah hatimu, Dee."
Dengan lirih dia mengucapkan tiap kata tersebut, namun
aku masih dapat menangkap permohonan yang teramat sangat di dalamnya. Aku tak
dapat bicara. Lidahku kelu.
"Aku mencintaimu, Dee."
"Aku mencintaimu, Dee."
Sedikit demi sedikit kulihat tubuhmu memudar. Hingga kau
benar-benar menghilang diterpa angin.
Terkejut, aku pun meneriaki namamu.
Berlari sembari menoleh kiri-kanan, mencari sosokmu yang tiba-tiba saja
menghilang. Hujan pun membasahi wajahku. Dan pada detik berikutnya, aku seakan
ditampar oleh kenyataan. Sakit.
Beberapa pasang mata pun menatapku heran. Jengah,
akhirnya aku pun memilih untuk meninggalkan taman itu.
Untuk kesekian kalinya, kubiarkan kakiku melangkah
dengan sendirinya menuntuntu. Aku bergegas menuju mobil yang terparkir di depan
taman. Kupacu mobil secepat mungkin. Tapi, sayang. Keadaan tidak mengizinkan. Mobilku
berjalan merangkak saat menelusuri jalan Jendral Ahmad Yani. Memang jalan yang
sering disebut daerah telanai ini jarang sekali sepi. Aku pun hanya dapat
menghela napas.
Dan, disinilah aku sekarang. Tempat yang sangat tak
disenangi kebanyakan orang, karna hanya akan ada air mata. Tempat di mana
orang-orang saling melepas ikatan
duniawi. Berdiri di depan gundukan tanah, membuat hujan kembali mengguyur
wajahku. Ditambah, saat kubaca nama yang tertera di batu tersebut. Rangga
Aditya. Sepotong kenangan muncul tanpa
permisi.
Masih dapat kudengar jelas saat
seorang sahabatmu menelponku, memberitahu bahwa kau telah meninggal dalam
kecelakaan. Dan, sejak saat itu aku selalu menghindari tempat ini. Tak percaya
akan informasi yang kudapat.
Cepat-cepat kuhapus air mataku. Lalu, mencoba mengukir
senyum setulus mungkin.
"Maafin aku, Ga. Maaf. Aku janji, aku akan terus
bahagia dan mulai membuka kembali hatiku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar