“Setalah matahari,
setelah langit, benda yang berwarna cerah adalah harapan.” (Milli dan Nathan)
*****
Tidak mendapat
izin untuk menjalin hubungan lebih dengan lawan jenis memang menyedihkan bagi
sebagian remaja. Alhassil, backstreet
pun menjadi solusi. Tapi, backstrret
juga bukan ssolusi yang baik. Contohnya; saat inngin bertemu atau sekadar
jalan-jalan dengan kekassih saja harus sembunyi-sembunyi. Belum lagi, ada
beberapa di antara mereka yang harus berhubungan jarak jauh atau yang sering
disebut long distance relationship. Sudahlah backstreet, LDR pula. Ssungguh malang
nassib mereka ini. Tapi, di situlah kisah ini dimulai.
Siang itu, dua orang gadis tengah menunggu kedatangan tamu
mereka. Atau, mungkin lebih tepatnya tamu dari sahabat sang pemilik rumah.
Tia—sang pemilik rumah –dengan pasrah merelakan rumanya menjadi tempat
pertemuan sahabatnya dengan sang kekasih. Bukan karna apa, justru karna untuk
bertemu di rumahnya sendiri sangatlah tidak mungkin. Ada keluarganya dalam
formasi lengkap sedang berkumpul di sana. Ya, sahabtnya ini adalh salah satu
pelaku dari bacstreet–LDR tersebut.
Bersekolah di kota yang berneda adalah salah satu alasan mereka.
Dan,
sang tamu yang ditunggu pun akhirnya datnag. Dengan mengendarai motor
massing-massing, Bima datang bersama seorang temannya.
Senyum
manis disuguhkan Tia dan Amel, sahabatnya. Mempersilahkan si tamu untuk masuk.
Diam-diam, Tia memperhatikan Bima. Mencari tahu apa yang membuat sahabatnya itu
sampai jatuh cinta pada cowok itu. Namun, tiba-tiba saja Tia dikagetkan dengan
ulah teman Bima. Dengan santainya, ia melangkahkan kaki massuk ke ruang tamu,
dan membanting diri pada salah satu kursi.
Sejenak,
Tia hanya saling melempar rasa kaget dengan Amel yang mengangkat bahu.
Belum lagi
hilang rasa kaget yang tiba-tiba menyergap, Tia dan Amel—mungkin juga Bima –melongo,
begitu mendengar kalimat yang terdengar polos keluar dari bibir teman Bima itu.
“Masuk
kali, Bim”
“Iya,
masuk aja” ucap Amel malu-malu.
Dengan susah
payah, Tia menahan agar senyumnya tidak meldeak menjadi tawa. Dia sudah hapal
betul semua tentang sahabatnya yang sudah dianggapnya seperti keluarga itu. Amel
yang baik, cuek, polos, dan pemalu. Ya, Amel ssangat pemalu. Hanya saat bersama
orang-orang terdekatnyalah ia bersikap lebih terbuka. Termasuk saat bersama
Tia.
Entah untuk
yang ke berapa kalinya Tia menghela napas. Pertemuan yang dikiranya akan
membosankan ini ternyata meleset. Lebih dari membosankan, pertemuan ini sngat
membosankan sekali. Hamper 80% waktu diisi dengan keterdiaman, hanya Bima dan
temannya itulah yang sesekali berbisik, entah apa.
Akhirnya,
setelah cukup lama berdiam diri dengan kondisi yang sama, Bima dan temannya pun
pamit pulang. Masih terlihat jelas wajah malu-malu Amel dan Bima saat itu. Lau,
berselang beberapa menit kemudian Amel pun ikut pamit pulang. Ada sesuatu yang
sepertimya disembunyikan AAmel dari Tia. Tapi, Tia tak begitu memikirkannya.
Dan seperti
biasnya, jika tidak ada kegiatan Tia akan dengan senang hati melakukan aktivita
favoritnya. Tidur. Namun, belum sempat Tia memejamkan mata, ponselnya lebih
dulu mengeluarkan suara tanda panggilan masuk. Ia pun bangun dari tempat
tidurnya dan meraih ponsel yang tegeletak di atas meja di sebelah kasurnya. Dari
Amel. Setengah bingung, Tia menjawab telepon dari sahabatnya itu.
“Tia
maaf, ya” ucap Amel di sebrang sna, tanpa sempat Tia mengucapkan ‘halo’ ataupun
salam.
“Kenapa?”
“Maaf,
ya. Pokoknya aku meminta maaf”
“Iya,
minta maaf karna apa?”
“Tadi,
temannya Bima yang ikut ke rumahmu itu namanya Dimas… “
“Iya,
terus?”
“Terus…
terus, itu… hmmm… dia tadi minta nomor ponsel kamu”
Tia diam.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar.
“Tia. Hallo,
hallo?”
“Ah,
iya. Kenapa?”
“Kamu
marah?”
“gak. Ya
sudah, aku mau tidur dulu, ya?”’
Setelah
memutuskan telepon dari Amel, Tia sibuk dengan pikirannya. Memikirkan alasan
mengapa Dimas meminta nomor ponselnya, dan mengapa dengan mudahnya Amel
memberikannya. Tia juga berpikir, jangan-jangan, saat Bima berbisik dengan
temannya tadi, mereka sedang membicarakan dirinya. Entahlah.
Tia terus
memikirkannya hingga benar-benar tertidur. Sangat pulas. Bahkan, saat ponselnya
terus berbunyi, Tia tidak menyadarinya.
Entah berapa
lama Tia tertidur. Hingga saat ia terbangun langit sudah berubah menjadi gelap.
Ia pun kembali teringat pada ponselnya yang tergelatak pasrah di atas meja. Tia
lantas mengambil dan melihat pemberitahuannya. Ada beberapa pesan dari
temannya, termasuk Amel, dan dua pesan dari nomor yang tidak dikenal.
‘Hay’
‘Kok
gak dibalas?’
Dengan yakin,
Tia menebak bahwa pengirim pesan tersebut adalah Dimas.
‘Sorry,
ini siapa?’
Tia membalas
pesan tersebut dan memastikan siapa pengirimnya. Mana tau saja Tia salah. Namun,
balasan pesan yang diterimanya dengan cepat telah membenarkan dugaanya.
Pada awalnya,
Tia membalas pesan tersebut dengan malas. Tapi, setelah beberapa pesan
terkirim, Tia menjadi tertarik dan terus membalas setiap pesan yang
diterimanya. Walau, terkadang isinya hanyalah pesan-pesan tidak penting, hingga
akhirnya, mereka pun menjadi semakin akrab.
Ada beberapa
kali Dimas menjemput Tia di sekolahnya, dan terkadang mereka jalan bersama,
hanya sekadar untuk makan atau nonton di bioskop. Dan, mereka pun benar-benar
akrab sekarang. Tak jarang mereka saling bertukar cerita tentang apa saja yang
baru mereka alami seharian tadi.
Seperti
saat ini, Amel dengan setia mendengar cerita dari BIma. Tentang kenakalan yang
baru saja dilakukannya di sekolah. Terkadang, Tia mengejek ata tingkah Bima
tersebut. Namun, sebenarnya, ada perhatian yang tersimpan di balik setiap
ejekannya tersebut.
Dari kedekatan
mereka ini, sudah dua kali Dimas mengatakan cintanya. Tapi, tak satu pun yang
mendapat jawaban. Tia ragu akan perasaannya dari kedekatan mereka yang tebilang
masih baru. Ia hanya mengalihkan pembicaraan saat Dimas membicarakan tentang
perasaannya itu. Namun, sepertinya Dimas menangkap kesimpulan yang berbeda.
Dimas mengira bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, karna Tia tak
kunjung menjawab pertanyaannya.
Beberapa
minggu berlalu, semua mulai berubah. Tia mulai jarang bertemu dengan Dimas,
komunikasi di antara mereka pun mulai memudar. Hingga suatu ketika, Tia melihat
Dimas bersama seseorang yang lain, seseorang yang telah menggatikan posisinya. Ada
rasa kecewa yang menjalar di tubuh taia. Tapi, ia tak dapat menyalahkan Dimas
atas keputusannya. Karna, sebelumnya, ia telah diberi kesempatan hingga dua
kali, dan telah disia-siakannya.
Kini ,
Tia hanya dapat menyimpan harapan yang terus dipegannya, walau perlahan
menghilang bersama waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar