Selasa, 14 Oktober 2014

Tentang Sebuah Harapan


“Setalah matahari, setelah langit, benda yang berwarna cerah adalah harapan.” (Milli dan Nathan)
*****
                Tidak mendapat izin untuk menjalin hubungan lebih dengan lawan jenis memang menyedihkan bagi sebagian remaja. Alhassil, backstreet pun menjadi solusi. Tapi, backstrret juga bukan ssolusi yang baik. Contohnya; saat inngin bertemu atau sekadar jalan-jalan dengan kekassih saja harus sembunyi-sembunyi. Belum lagi, ada beberapa di antara mereka yang harus berhubungan jarak jauh atau yang sering disebut  long distance relationship. Sudahlah backstreet, LDR pula. Ssungguh malang nassib mereka ini. Tapi, di situlah kisah ini dimulai.
Siang itu, dua orang gadis tengah menunggu kedatangan tamu mereka. Atau, mungkin lebih tepatnya tamu dari sahabat sang pemilik rumah. Tia—sang pemilik rumah –dengan pasrah merelakan rumanya menjadi tempat pertemuan sahabatnya dengan sang kekasih. Bukan karna apa, justru karna untuk bertemu di rumahnya sendiri sangatlah tidak mungkin. Ada keluarganya dalam formasi lengkap sedang berkumpul di sana. Ya, sahabtnya ini adalh salah satu pelaku dari bacstreet–LDR tersebut. Bersekolah di kota yang berneda adalah salah satu alasan mereka.
                Dan, sang tamu yang ditunggu pun akhirnya datnag. Dengan mengendarai motor massing-massing, Bima datang bersama seorang temannya.
                Senyum manis disuguhkan Tia dan Amel, sahabatnya. Mempersilahkan si tamu untuk masuk. Diam-diam, Tia memperhatikan Bima. Mencari tahu apa yang membuat sahabatnya itu sampai jatuh cinta pada cowok itu. Namun, tiba-tiba saja Tia dikagetkan dengan ulah teman Bima. Dengan santainya, ia melangkahkan kaki massuk ke ruang tamu, dan membanting diri pada salah satu kursi.
                Sejenak, Tia hanya saling melempar rasa kaget dengan Amel yang mengangkat bahu.
                Belum lagi hilang rasa kaget yang tiba-tiba menyergap, Tia dan Amel—mungkin juga Bima –melongo, begitu mendengar kalimat yang terdengar polos keluar dari bibir teman Bima itu.
                “Masuk kali, Bim”
                “Iya, masuk aja” ucap Amel malu-malu.
                Dengan susah payah, Tia menahan agar senyumnya tidak meldeak menjadi tawa. Dia sudah hapal betul semua tentang sahabatnya yang sudah dianggapnya seperti keluarga itu. Amel yang baik, cuek, polos, dan pemalu. Ya, Amel ssangat pemalu. Hanya saat bersama orang-orang terdekatnyalah ia bersikap lebih terbuka. Termasuk saat bersama Tia.
                Entah untuk yang ke berapa kalinya Tia menghela napas. Pertemuan yang dikiranya akan membosankan ini ternyata meleset. Lebih dari membosankan, pertemuan ini sngat membosankan sekali. Hamper 80% waktu diisi dengan keterdiaman, hanya Bima dan temannya itulah yang sesekali berbisik, entah apa.
                Akhirnya, setelah cukup lama berdiam diri dengan kondisi yang sama, Bima dan temannya pun pamit pulang. Masih terlihat jelas wajah malu-malu Amel dan Bima saat itu. Lau, berselang beberapa menit kemudian Amel pun ikut pamit pulang. Ada sesuatu yang sepertimya disembunyikan AAmel dari Tia. Tapi, Tia tak begitu memikirkannya.
                Dan seperti biasnya, jika tidak ada kegiatan Tia akan dengan senang hati melakukan aktivita favoritnya. Tidur. Namun, belum sempat Tia memejamkan mata, ponselnya lebih dulu mengeluarkan suara tanda panggilan masuk. Ia pun bangun dari tempat tidurnya dan meraih ponsel yang tegeletak di atas meja di sebelah kasurnya. Dari Amel. Setengah bingung, Tia menjawab telepon dari sahabatnya itu.
                “Tia maaf, ya” ucap Amel di sebrang sna, tanpa sempat Tia mengucapkan ‘halo’ ataupun salam.
                “Kenapa?”
                “Maaf, ya. Pokoknya aku meminta maaf”
                “Iya, minta maaf karna apa?”
                “Tadi, temannya Bima yang ikut ke rumahmu itu namanya Dimas… “
                “Iya, terus?”
                “Terus… terus, itu… hmmm… dia tadi minta nomor ponsel kamu”
                Tia diam. Tidak ada sepatah  kata pun yang keluar.
                “Tia. Hallo, hallo?”
                “Ah, iya. Kenapa?”
                “Kamu marah?”
                “gak. Ya sudah, aku mau tidur dulu, ya?”’
                Setelah memutuskan telepon dari Amel, Tia sibuk dengan pikirannya. Memikirkan alasan mengapa Dimas meminta nomor ponselnya, dan mengapa dengan mudahnya Amel memberikannya. Tia juga berpikir, jangan-jangan, saat Bima berbisik dengan temannya tadi, mereka sedang membicarakan dirinya. Entahlah.
                Tia terus memikirkannya hingga benar-benar tertidur. Sangat pulas. Bahkan, saat ponselnya terus berbunyi, Tia tidak menyadarinya.
                Entah berapa lama Tia tertidur. Hingga saat ia terbangun langit sudah berubah menjadi gelap. Ia pun kembali teringat pada ponselnya yang tergelatak pasrah di atas meja. Tia lantas mengambil dan melihat pemberitahuannya. Ada beberapa pesan dari temannya, termasuk Amel, dan dua pesan dari nomor yang tidak dikenal.
                ‘Hay’
                ‘Kok gak dibalas?’
                Dengan yakin, Tia menebak bahwa pengirim pesan tersebut adalah Dimas.
                ‘Sorry, ini siapa?’
                Tia membalas pesan tersebut dan memastikan siapa pengirimnya. Mana tau saja Tia salah. Namun, balasan pesan yang diterimanya dengan cepat telah membenarkan dugaanya.
                Pada awalnya, Tia membalas pesan tersebut dengan malas. Tapi, setelah beberapa pesan terkirim, Tia menjadi tertarik dan terus membalas setiap pesan yang diterimanya. Walau, terkadang isinya hanyalah pesan-pesan tidak penting, hingga akhirnya, mereka pun menjadi semakin akrab.
                Ada beberapa kali Dimas menjemput Tia di sekolahnya, dan terkadang mereka jalan bersama, hanya sekadar untuk makan atau nonton di bioskop. Dan, mereka pun benar-benar akrab sekarang. Tak jarang mereka saling bertukar cerita tentang apa saja yang baru mereka alami seharian tadi.
                Seperti saat ini, Amel dengan setia mendengar cerita dari BIma. Tentang kenakalan yang baru saja dilakukannya di sekolah. Terkadang, Tia mengejek ata tingkah Bima tersebut. Namun, sebenarnya, ada perhatian yang tersimpan di balik setiap ejekannya tersebut.
                Dari kedekatan mereka ini, sudah dua kali Dimas mengatakan cintanya. Tapi, tak satu pun yang mendapat jawaban. Tia ragu akan perasaannya dari kedekatan mereka yang tebilang masih baru. Ia hanya mengalihkan pembicaraan saat Dimas membicarakan tentang perasaannya itu. Namun, sepertinya Dimas menangkap kesimpulan yang berbeda. Dimas mengira bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, karna Tia tak kunjung menjawab pertanyaannya.
                Beberapa minggu berlalu, semua mulai berubah. Tia mulai jarang bertemu dengan Dimas, komunikasi di antara mereka pun mulai memudar. Hingga suatu ketika, Tia melihat Dimas bersama seseorang yang lain, seseorang yang telah menggatikan posisinya. Ada rasa kecewa yang menjalar di tubuh taia. Tapi, ia tak dapat menyalahkan Dimas atas keputusannya. Karna, sebelumnya, ia telah diberi kesempatan hingga dua kali, dan telah disia-siakannya.
                Kini , Tia hanya dapat menyimpan harapan yang terus dipegannya, walau perlahan menghilang bersama waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar