Minggu, 12 Oktober 2014

Kabut Di Mata Zevana




                Hujan. Ya, itulah yang seharusnya menghiasi Indonesia saat ini, sampai habis musimnya. Tapi, dunia semakin tua. Tak lagi mengenal musim. Selama satu minggu ini bisa saja kau mati kedinginan, karna terus diguyur hujan. Dan, satu minggu setelahnya, kau akan mati kepanasan disengat matahari.
                Seperti saat ini, agaknya hujan begitu enggan untuk mampir di kota kelahiran Zevana. Jambi. Sudah sekitar satu bulan, hujan hanya datang dalam hitungan hari, sangat jarang. Dan, itu semakin memperburuk keadaan kota. Kabut asap yang menyelimuti kota beberapa minggu belakangan, semakin malas untuk pergi. Yang ada, ia semakin mempertebal diri. Mengancam kesehatan masyarakat. Anehnya, salah satu informasi mengatakan bahwa masyarakat di Riau—tempat asal kabut asap yang berada di Jambi –tetap melaksanakan aktivitass mereka dengan normal. Dan, ini justru berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jambi. Seluruh sekolah telah diliburkan, bahkan untuk keluar rumah pun mereka sudah menggunakan masker. Entahlah, Zevana sendiri pun tidak mengerti apa alasannya.
                Bosan dengan televisi yang acap kali menyuguhkan sinetron penuh drama, Zevana lantas mematikan televisi yang sedari tadi hanya terus-terusan ditukar channelnya. Melempar remot dengan sembarang, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Beberapa minggu yang lalu, saat Zevana menolehkan kepala ke arah jendela kamarnya, ia masih dapat melihat anak-anak bermain atau sekadar duduk-duduk di taman perumahan tempat tingggalnnya. Tapi, sekarang taman itu sepi. Taman yang terlihat kosong itu hanya diselimuti kabut asap yang tak kunjung pergi. Zevana tersenyum kecut melihatnya. Belakangan ini, perasaan Zevana memang sedang tidak baik. Ada satu hal yang terus menghantuinya, dan ini menyangkut tentang hatinya yang tengah hancur. Belum lagi, ditambah cuaca buruk yang membuatnya malas untuk keluar rumah, walau hanya selangkah.
                Zevana merasa bodoh karna telah menghindar dari teman baiknya, hanya karna Rama—pria yang sangat dicintainya –telah menjalin hubungan dengan Kania, teman baiknya. Seperti ada sesuatu yang menghujam hatinya saat ia bertemu Rama ataupun Kania. Sejujurnya, ia tidak ingin terus menghindari Kania, tapi ia tidak ingin membuat hatinya lebih hancur melihat kebersamaan dan kemesraan mereka.
                Tanpa sengaja, mata Zevana menagkap sesuatu yang tergantung rapi tepat di depan pintu lemari bajunya. Sebuah jaket yang sempat dipinjamkan Rama saat mereka baru pulang kuliah. Dua hari, sebelum Rama dan Kania resmi berpacaran.

                Hujan tiba-tiba saja mengguyur mereka, tepat di saat Zevana dan Rama sedang berjalan menuju parkiran kampus. Refleks, Zevana dan Rama pun berbalik, lantas berlari kembali menuju gedung kampus yang tidak jauh dari mereka. Namun, cukup untuk membasahi tubuh mereka.
                Sesampainya mereka di gedung kampus, baik Zevana ataupun Rama saling merapikan diri yang hancur dihantam hujan.
                “Baju kamu basah banget, Ze” ucap Rama saat mendapati pakaian Zevana yang basah kuyup hingga berhasil membentuk lekuk tubuhnya.
                “Iya” jawab Zevana, sembari menatap pasrah pakaiannya.
                Tanpa berpikir panjang, Rama membuka resleting tasnya dan mengambil jaket yang dibawanya. Lalu, meletakkan jaket tersebut di atas tubuh Zevana. Kaget, Zevana mendongak, menatap Rama yang tersenyum manis kepadanya.
                “Pakai aja dulu” ucap Rama, lembut.
                Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Zevana, ia hanya menganggukkan kepala. Sibuk menormalkan detak jantungnya yang tidak wajar. Tak tahan dengan Rama yang masih saja tersenyum padanya, Zevana lantas melempar pandangan pada hujan yang belum puas mengguyur Bumi.
                “Hujannya awet” Zevana mengangkat tangan, membiarkan hujan jatuh di tangannya.
                “Biarkan saja. Mana tahu kabut asapnya bisa hilang, kan?” lagi-lagi, Rama menoleh ke arah Zevana dan tersenyum manis padanya.

                Zevana merasakan matanya memanas, kabur ditutupi kabut. Sepotong kejadian beberapa hari yang lalu itu, berhasil membuat luka di hatinya kian menanah. Entah apa yang harus dilakukan agar dapat mengobati luka di hatinya. Cinta yang pernah tumbuh, namun tak sempat untuk bermekaran itu telah mati, digantikan dengan luka di hatinya saat ini.
                Kabut di matanya telah hilang, berganti dengan hujan yang mengguyur wajah manisnya. Tapi, tidak untuk kabut yang sesungguhnya di luar sana, yang entah kapan akan menghilang. Perlahan, Zevana mendekati jaket yang tergantung di depan lemari bajunya itu. Dan, lantas menenggelamkannya dalam rengkuhan. Masih dapat dengan jelas ia mencium aroma tubuh Rama yang mengurai dari jaket tersebut. Membuat hujan di matanya semain tak ingin berhenti turun.
                “Tuhan, tolong aku. Beri tahu aku, harus dengan apa aku menyembuhkan luka yang tak berkesudahan di hati ini”



Tantangan @KampusFiksi #DeskripsiAngin
Panjang kata: 673 kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar