Hujan. Ya, itulah yang
seharusnya menghiasi Indonesia saat ini, sampai habis musimnya. Tapi, dunia
semakin tua. Tak lagi mengenal musim. Selama satu minggu ini bisa saja kau mati
kedinginan, karna terus diguyur hujan. Dan, satu minggu setelahnya, kau akan
mati kepanasan disengat matahari.
Seperti saat ini, agaknya hujan
begitu enggan untuk mampir di kota kelahiran Zevana. Jambi. Sudah sekitar satu
bulan, hujan hanya datang dalam hitungan hari, sangat jarang. Dan, itu semakin
memperburuk keadaan kota. Kabut asap yang menyelimuti kota beberapa minggu
belakangan, semakin malas untuk pergi. Yang ada, ia semakin mempertebal diri.
Mengancam kesehatan masyarakat. Anehnya, salah satu informasi mengatakan bahwa
masyarakat di Riau—tempat asal kabut asap yang berada di Jambi –tetap
melaksanakan aktivitass mereka dengan normal. Dan, ini justru berbanding
terbalik dengan apa yang terjadi di Jambi. Seluruh sekolah telah diliburkan,
bahkan untuk keluar rumah pun mereka sudah menggunakan masker. Entahlah, Zevana
sendiri pun tidak mengerti apa alasannya.
Bosan dengan televisi yang acap
kali menyuguhkan sinetron penuh drama, Zevana lantas mematikan televisi yang
sedari tadi hanya terus-terusan ditukar channelnya. Melempar remot dengan
sembarang, lalu berjalan menuju jendela kamarnya. Beberapa minggu yang lalu,
saat Zevana menolehkan kepala ke arah jendela kamarnya, ia masih dapat melihat
anak-anak bermain atau sekadar duduk-duduk di taman perumahan tempat
tingggalnnya. Tapi, sekarang taman itu sepi. Taman yang terlihat kosong itu
hanya diselimuti kabut asap yang tak kunjung pergi. Zevana tersenyum kecut
melihatnya. Belakangan ini, perasaan Zevana memang sedang tidak baik. Ada satu
hal yang terus menghantuinya, dan ini menyangkut tentang hatinya yang tengah
hancur. Belum lagi, ditambah cuaca buruk yang membuatnya malas untuk keluar
rumah, walau hanya selangkah.
Zevana merasa bodoh karna telah
menghindar dari teman baiknya, hanya karna Rama—pria yang sangat dicintainya –telah
menjalin hubungan dengan Kania, teman baiknya. Seperti ada sesuatu yang
menghujam hatinya saat ia bertemu Rama ataupun Kania. Sejujurnya, ia tidak
ingin terus menghindari Kania, tapi ia tidak ingin membuat hatinya lebih hancur
melihat kebersamaan dan kemesraan mereka.
Tanpa sengaja, mata Zevana
menagkap sesuatu yang tergantung rapi tepat di depan pintu lemari bajunya.
Sebuah jaket yang sempat dipinjamkan Rama saat mereka baru pulang kuliah. Dua
hari, sebelum Rama dan Kania resmi berpacaran.
Hujan tiba-tiba saja mengguyur
mereka, tepat di saat Zevana dan Rama sedang berjalan menuju parkiran kampus.
Refleks, Zevana dan Rama pun berbalik, lantas berlari kembali menuju gedung
kampus yang tidak jauh dari mereka. Namun, cukup untuk membasahi tubuh mereka.
Sesampainya mereka di gedung
kampus, baik Zevana ataupun Rama saling merapikan diri yang hancur dihantam
hujan.
“Baju kamu basah banget, Ze”
ucap Rama saat mendapati pakaian Zevana yang basah kuyup hingga berhasil
membentuk lekuk tubuhnya.
“Iya” jawab Zevana, sembari
menatap pasrah pakaiannya.
Tanpa berpikir panjang, Rama
membuka resleting tasnya dan mengambil jaket yang dibawanya. Lalu, meletakkan
jaket tersebut di atas tubuh Zevana. Kaget, Zevana mendongak, menatap Rama yang
tersenyum manis kepadanya.
“Pakai aja dulu” ucap Rama,
lembut.
Tidak ada jawaban yang keluar
dari mulut Zevana, ia hanya menganggukkan kepala. Sibuk menormalkan detak
jantungnya yang tidak wajar. Tak tahan dengan Rama yang masih saja tersenyum
padanya, Zevana lantas melempar pandangan pada hujan yang belum puas mengguyur
Bumi.
“Hujannya awet” Zevana
mengangkat tangan, membiarkan hujan jatuh di tangannya.
“Biarkan saja. Mana tahu kabut
asapnya bisa hilang, kan?” lagi-lagi, Rama menoleh ke arah Zevana dan tersenyum
manis padanya.
Zevana merasakan matanya
memanas, kabur ditutupi kabut. Sepotong kejadian beberapa hari yang lalu itu,
berhasil membuat luka di hatinya kian menanah. Entah apa yang harus dilakukan
agar dapat mengobati luka di hatinya. Cinta yang pernah tumbuh, namun tak
sempat untuk bermekaran itu telah mati, digantikan dengan luka di hatinya saat
ini.
Kabut di matanya telah hilang,
berganti dengan hujan yang mengguyur wajah manisnya. Tapi, tidak untuk kabut
yang sesungguhnya di luar sana, yang entah kapan akan menghilang. Perlahan,
Zevana mendekati jaket yang tergantung di depan lemari bajunya itu. Dan, lantas
menenggelamkannya dalam rengkuhan. Masih dapat dengan jelas ia mencium aroma
tubuh Rama yang mengurai dari jaket tersebut. Membuat hujan di matanya semain
tak ingin berhenti turun.
“Tuhan, tolong aku. Beri tahu
aku, harus dengan apa aku menyembuhkan luka yang tak berkesudahan di hati ini”
Tantangan @KampusFiksi #DeskripsiAngin
Panjang kata: 673 kata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar