Sejenak, aku terdiam dalam pandangan yang
tertuju lurus pada kalender di tanganku. Rindu itu kembali menyapa, menciptakan
sesak yang tak tertahan di dada. Melukis wajah yang terus berusaha untuk
kulupakan. Tiba-tiba, pandanganku kabur. Setetes air jatuh tepat di angka 24.
“kesempatan kedua itu tidak datang pada
setiap orang, dan kau justru menyia-nyiakannya. Sekarang, kau mengingikan kesempatan
ketiga?. Yang benar saja, Nona?!”
Kalimat yang dilontarkan teman baikku itu
kembali terngiang di telinga, bak kaset kusut.
Perlahan, rasa itu berpindah. Meraba
leherku, lantas mencekiknya tanpa ampun. Mati. Aku merasa mati oleh rasa yang
kubuahi dengan harapan-harapan kosong. Namun, aku tidak sepenuhnya mati. Rasa
itu hanya membunuh hatiku. Tapi, tidak untuk mata dan tubuhku yang kian
menggila.
Tanpa kusadari, kenangan telah
merentangkan lengannya dan merengkuh erat tubuhku. Lalu, mengajakku masuk ke
dalam dunianya.
Dapat kulihat jelas raut kebahagiaan
melekat sempurna pada wajah seorang gadis yang baru saja pulang dari kencannya.
Senyum tak henti-hentinya merekah di bibir tiptisnya. Aku pun dapat merasakan
bahwa di dalam hatinya, ia tengah meloncat kegirangan.
Gadis itu..., gadis yang sungguh egois. Ia
lebih mementingkan kebahagiannya daripada orang yang telah memberikan
kebahagiaan itu sendiri. Dan, keegoisan tersebut justru berubah menjadi
boomerang yang akan menghancurkan kebahagiaanya.
Gadis yang memegang prinsip konyol—aku tidak
akan dengan mudah mengatakan ‘iya’ pada cinta yang baru saja kutemui—pada
akhirnya benar-benar kehilangan cintanya. Tak peduli seberapa jauh ia berlari
atau seberapa keras ia berteriak.Cinta itu tidak akan mau kembali pada gadis
egois sepertinya. Bahkan, untuk menoleh pun, tidak.
Kulihat, gadis itu melangkah mendekatiku.
Menatapku dengan nanar.
“Aku adalah gadis yang egois. Gadis gila
yang masih saja memegang prinsip hidupnya yang konyol. Aku… adalah kamu.” Ucapnya sembari
menunjukku.
Aku terkejut. Namun, di detik yang sama,
aku mendapati wajahnya yang begitu serupa denganku. Benarkah gadis ini
aku? Aku adalah gadis gila dan konyol ini?
Tiba-tiba saja, kenangan melepaskan
rengkuhannya dan menjatuhkanku pada kenyataan. Aku menangis, kesakitan. Bukan
karena kenangan yang dengan seenaknya menjatukanku. Tapi, karena gadis yang
baru saja aku temui.
Aku menghela napas dengan kasar, lalu meletakkan kembali kalender
yang kupegang ke tempatnya—tepat di sebelah lilin hias berbentuk inisial namamu,
lalu beranjak menuju kamar mandi dan mencuci muka di wastafel, berharap dapat
mengusir kegundahan bersama air yang jatuh dari wajahku. Namun, yang kudapati
justru wajah bersalah pada gadis yang berdiri tepat di depanku. Diriku sendiri.
Sepanjang hari, penyesalan tak
habis-habisnya menghantuiku. Membuatku semakin gila. Aku merasa seakan dihantui
oleh ‘gadis’ yang mengaku diriku. Datang entah dari mana, lalu menatapku seolah
aku adalah pendosa besar.
Hari terus berganti dan aku masih saja
hidup dalam bayangan masa lalu. Pada mereka yang kujadikan tempat untuk berbagi
cerita, aku selalu mendapan pesan yang sama: cinta lama akan hilang seiring
waktu berlalu dengan kau mengikhlaskan ataupun dengan cinta baru yang dicari.
Dan, aku pun melakukannya. Mengikhlaskan
dirimu yang telah bahagia bersamanya—orang yang kaupilih dengan cinta barumu. Seiring
bersamanya, perlahan prinsip konyol itu pun ikut memudar.
Wahai kamu, cahaya gelap malamku....
Terasa jahat atas terima kasih untuk
waktumu yang terbuang sia.
Ku kira maaf tak cukup untuk apa kau
dapat.
Tapi hidup selalu adil.
Entah apa dan bagaimana,
Kita pernah hampir ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar