Selasa, 14 Oktober 2014

24 Di Masa lalu

Sejenak, aku terdiam dalam pandangan yang tertuju lurus pada kalender di tanganku. Rindu itu kembali menyapa, menciptakan sesak yang tak tertahan di dada. Melukis wajah yang terus berusaha untuk kulupakan. Tiba-tiba, pandanganku kabur. Setetes air jatuh tepat di angka 24.
“kesempatan kedua itu tidak datang pada setiap orang, dan kau justru menyia-nyiakannya.  Sekarang, kau mengingikan kesempatan ketiga?. Yang benar saja, Nona?!”
Kalimat yang dilontarkan teman baikku itu kembali terngiang di telinga, bak kaset kusut.
Perlahan, rasa itu berpindah. Meraba leherku, lantas mencekiknya tanpa ampun. Mati. Aku merasa mati oleh rasa yang kubuahi dengan harapan-harapan kosong. Namun, aku tidak sepenuhnya mati. Rasa itu hanya membunuh hatiku. Tapi, tidak untuk mata dan tubuhku yang kian menggila.
Tanpa kusadari, kenangan telah merentangkan lengannya dan merengkuh erat tubuhku. Lalu, mengajakku masuk ke dalam dunianya.

Dapat kulihat jelas raut kebahagiaan melekat sempurna pada wajah seorang gadis yang baru saja pulang dari kencannya. Senyum tak henti-hentinya merekah di bibir tiptisnya. Aku pun dapat merasakan bahwa di dalam hatinya, ia tengah meloncat kegirangan.
Gadis itu..., gadis yang sungguh egois. Ia lebih mementingkan kebahagiannya daripada orang yang telah memberikan kebahagiaan itu sendiri. Dan, keegoisan tersebut justru berubah menjadi boomerang yang akan menghancurkan kebahagiaanya.
Gadis yang memegang prinsip konyol—aku tidak akan dengan mudah mengatakan ‘iya’ pada cinta yang baru saja kutemui—pada akhirnya benar-benar kehilangan cintanya. Tak peduli seberapa jauh ia berlari atau seberapa keras ia berteriak.Cinta itu tidak akan mau kembali pada gadis egois sepertinya. Bahkan, untuk menoleh pun, tidak.
Kulihat, gadis itu melangkah mendekatiku. Menatapku dengan nanar.
“Aku adalah gadis yang egois. Gadis gila yang masih saja memegang prinsip hidupnya yang konyol. Aku…  adalah kamu.” Ucapnya sembari menunjukku.
Aku terkejut. Namun, di detik yang sama, aku mendapati wajahnya yang begitu serupa denganku. Benarkah gadis ini aku? Aku adalah gadis gila dan konyol ini?
Tiba-tiba saja, kenangan melepaskan rengkuhannya dan menjatuhkanku pada kenyataan. Aku menangis, kesakitan. Bukan karena kenangan yang dengan seenaknya menjatukanku. Tapi, karena gadis yang baru saja aku temui.
Aku menghela napas dengan kasar, lalu meletakkan kembali kalender yang kupegang ke tempatnya—tepat di sebelah lilin hias berbentuk inisial namamu, lalu beranjak menuju kamar mandi dan mencuci muka di wastafel, berharap dapat mengusir kegundahan bersama air yang jatuh dari wajahku. Namun, yang kudapati justru wajah bersalah pada gadis yang berdiri tepat di depanku. Diriku sendiri.
Sepanjang hari, penyesalan tak habis-habisnya menghantuiku. Membuatku semakin gila. Aku merasa seakan dihantui oleh ‘gadis’ yang mengaku diriku. Datang entah dari mana, lalu menatapku seolah aku adalah pendosa besar.
Hari terus berganti dan aku masih saja hidup dalam bayangan masa lalu. Pada mereka yang kujadikan tempat untuk berbagi cerita, aku selalu mendapan pesan yang sama: cinta lama akan hilang seiring waktu berlalu dengan kau mengikhlaskan ataupun dengan cinta baru yang dicari.
Dan, aku pun melakukannya. Mengikhlaskan dirimu yang telah bahagia bersamanya—orang yang kaupilih dengan cinta barumu. Seiring bersamanya, perlahan prinsip konyol itu pun ikut memudar.



Wahai kamu, cahaya gelap malamku....
Terasa jahat atas terima kasih untuk waktumu yang terbuang sia.
Ku kira maaf tak cukup untuk apa kau dapat.
Tapi hidup selalu adil.
Entah apa dan bagaimana,
Kita pernah hampir ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar