Kamis, 26 Januari 2017

Dear you.

Karena sekarang masih dalam bulan Januari dan aku kemarin pengin banget bikin cerita tentang si dia di tiga tahun yang lalu, jadi aku mohon izin, ya Momon yang baik hati.

🙈🙉🙊

"Aku tadinya ngira kalo kamu adiknya dia, lho. Taunya...."

Begitu kurang lebih bunyi kalimat yang akhirnya memecahkan rasa canggung dan membawa aku dan kamu hampir menjadi kita.

Tiga tahun yang lalu, tepat di bulan yang sama, adalah awal dari pertemuan kita. Aku selaku pemilik dari rumah yang dipinjam oleh sang adik, dan kamu sendiri adalah seseorang yang menemani pacar sang adik untuk berkunjung. Lucu. Seperti itulah penilaianku saat pertama kali bertemu denganmu. Sosok lelaki dengan sikap santainya dan asal ceplas-ceplos. Ah, bahkan aku masih ingat betul setiap apa saja yang terjadi di awal pertemuan tersebut.

Tidak pernah terbayang olehku untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan lelaki yang berumur di bawahku. Kamu yang pertama. Dan benar kata orang bahwa setiap yang pertama selalu punya cara tersendiri untuk memiliki tempat spesial. Seperti dirimu. Hingga tiga tahun berselang, selalu ada cara untukku teringat akan sosokmu. Dan bahkan, kamu beberapa kali menjadi inspirasi dari apa yang kutulis.

Lalu, berawal dari saling menemani, diteruskan kamu yang mencaritahu nomor ponselku dari sang adik, komunikasi kita pun dimulai. Mula-mula saling bertukar pesan dengan rasa canggung. Satu dua kali kamu mencoba melempar canda, hingga akhirnya satu fakta terucap dan aku mulai gamang. Belum pernah lebih dari sekadar 'berkenalan' dengan lawan jenis yang lebih muda membuatku kembali memikirkan tentang kita.

Beberapa pesan singkat setelahnya, aku mulai mengambil langkah diam. Mencoba untuk kembali biasa saja, seperti dulu saat belum mengenalmu. Karena sekali lagi. Aku ragu. Tetapi, kamu masih menanyakan serta bercerita tentangku pada sang adik. Dan aku mulai goyah, lantas kembali melangkah beriringan bersamamu. Mulai berani, sesekali kamu menjemputku di kampus, mengajakku makan siang bersama, atau sekadar menemaniku mencari buku demi dapat bertemu.

"Memangnya pulang jam berapa? Aku jemput, ya? Sekalian makan siang?"

Sekali pun tak pernah terlintas di pikiranku bahwa kamu benar-benar akan menjemputku, hari itu. Sungguh berani. Begitu kata teman-temanku. Kamu yang masih mengenakan celana abu-abu yang khas datang ke kampus menjemputku. Dan, ya, sejak saat itu aku tahu bahwa kamu adalah orang yang tidak akan main-main dengan apa yang diucapkan. Pun apa yang kupinta sebisa mungkin kamu turuti. Seperti knalpot motormu, misalnya.

"Aku lupa ganti knalpot. Gapapa besok jalan suaranya masih gede?" Tanyamu saat itu penuh harap.

Hingga tiba saat dimana kamu mengatakan perasaanmu, aku kembali diam. Lagi, aku mulai ragu. Tidak terpikir olehku akan pernyataan cintamu yang secepat itu. Kita bahkan baru mengenal hitungan minggu. Satu kali, tidak ada tanggapan. Dua kali, kuanggap candaan. Namun, kamu tetap melangkah maju. Dan aku masih ragu. Sampai pernyataan yang ketiga, aku tetap bungkam dan kamu lelah. Lantas mengambil langkah mundur.

Aku yang bodoh ini masih saja diam. Tanpa berani melakukan apapun. Hingga beberapa waktu berselang, kita berjumpa dan kamu tersenyum. Bukan karena aku, melainkan dia yang berada di sampingmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar