Setetes harapan akan terus tumbuh
Seiring doa yang berbisik lirih
Matahari mulai menghilang di balik
gedung-gedung pencakar langit ketika aku berjalan memasuki lorong kecil yang
diapit bangunan tua tak terpakai. Menghamburkan cercahannya yang memudar dalam
kelembutan. Beberapa angin nakal mengaduk-aduk rambutku saat menyusul langkah
panjang pemuda di depanku dengan tergopoh-gopoh. Ravid Arkan—pemuda berkulit
sawo matang—yang sejak hampir sepuluh tahun yang lalu menjadi sahabatku.
Hampir saja aku menubruk tubuh tegap Ravid
saat pemuda itu tiba-tiba saja berhenti. Tidak ada kata yang keluar dari
bibirnya. Aku mendesah pelan.
“Sudah sampai?” tanyaku seraya melempar
pandangan pada setiap sudut di sekitar.
Ravid membawaku ke sebuah lapangan kosong
yang hanya ditumbuhi rerumputan sebatas mata kaki. Beberapa lembar daun dari pohon—dengan ranting yang mulai menua—saling bergesekan.
Sepi. Hening. Hanya kami berdua yang ada di tempat itu.
Dengan gerakan lambat, pemuda itu memutar
tubuhnya, tersenyum lebar, lantas mengangguk.
“Bisa kita duduk?”
Lagi, Ravid tidak bersuara. Selama beberapa
detik, ia masih setia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya. Aku
berdecak kesal.
“Bisa
kita duduk?” ulangku.
Ravid terkesiap, diraihnya lengan kananku agar lebih dekat
dengannya. “Di sini saja.”
Menit meloncat-loncat. Langit tidak lagi membentangkan
layar jingga. Sepotong benda bercahaya menampakkan diri di ujung pandangan,
berpendar bersama beberapa benda mungil yang menyembul di balik layar hitam.
“Bagaimana hubunganmu dengan Lio?”
tanyanya, membuyarkan lamunanku.
Aku menghela napas berat, “Entahlah.”
“Entahlah?” ulangnya, tak mengerti.
“Ya, entahlah. Aku juga gak ngerti.
Kenapa?”
Ravid tidak menjawab. Aku meliriknya yang
mulai memejamkan mata.
“Mulai bosan lagi?”
Aku tertawa kecil, “Kamu sungguh
mengenalku.”
“Sampai kapan kamu akan mempermainkan
banyak hati seperti itu? Tidak takut karma?”
Aku bergeming. Enggan menjawab pertanyaan
yang tak terhitung sudah berapa kali keluar dari bibir tipisnya. Karma?
I think it would be my best friend. Soon. Membayangkannya membuat sekelebat
senyum mampir di bibirku. Mungkin saja kering di hatiku sedikit terobati dengan
karma yang menemani duka. Mungkin saja.
*****
Karena hati terlalu rapuh
Dan bibir yang kelu
Hanya untuk berkata maaf
“Kamu payah. Baru lari segitu doang sudah
capek.”
Aku memutar bola mata, memandang Ravid dengan
tajam. “Segitu doang? Lari tiga kilo dengan perut yang baru diisi ‘segitu
doang’?”
“Ya, kan, seharusnya tenagamu bertambah.
Nin.”
“Tauk, ah!” aku melempar tubuh pada
punggung sofa—yang cukup besar untuk menenggelamkan seluruh tubuhku.
“Masih untung aku ajak langsung pulang ke
rumahmu, bukan ke rumahku. Kan, lumayan buat olahraga.”
“Sana, lari sendiri.”
Ravid tidak menjawab. Dia melangkah pergi meninggalkanku, lalu
kembali dengan dua gelas air putih di tangannya. “Jangan air dingin, gak bagus
buat kesehatan.”
Aku tersenyum miring, “Thank’s.”
Hening sebentar. Rongga dadaku tiba-tiba
saja sesak. Keringat berguguran dari kedua sisi pelipisku. Aku menggigit bibir
menahan sakit yang teramat sangat. Aku yakin, jika saat ini Ravid tidak sedang
berada di sampingku, aku kan menjerit sekuat mungkin, melampiaskan rasa sakit
yang tiba-tiba saja menerjang kepalaku.
“Menurutmu cinta itu apa?”
Sayup-sayup, aku mendengar Ravid kembali
membuka suara.
“Menurutku, cinta itu seperti kupu-kupu.
Indah. Menggoda. Bebas. Cinta itu rasa yang paling indah dengan pesonanya yang
menggoda. Cinta bebas memilih dengan siapa dia akan jatuh, bagaimana cara dia
mencinta, seperti apa ceritanya, dan... cinta tidak terikat dengan logika yang terus berusaha mengaturnya.” Lanjut Ravid.
Aku menoleh seraya mengerutkan
kening. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba bicara tentang cinta? Namun,
belum selesai kebingunganku, rasa mual menggelitik ulu hatiku.
“Rav...,” desisku.
Tubuhku sudah benar-benar diselimuti
keringat dingin. Pompaan jantung yang tidak beraturan menyulitkanku untuk
bernapas.
“Ravid...,” suaraku terdengar semakin
lirih.
“Morning, Sweety.” Tiba-tiba saja,
seoarang pemuda duduk di sampingku.
Aku terkesiap. Memandang pemuda itu tak acuh. Lantas memberinya
seulas senyum berat.
“Loh, kamu kenapa, Sayang? Kok pucat? Kamu
sakit?” tanyanya beruntun.
Aku bergeming. Bibirku terasa berat untuk
digerakkan.
“Panas banget!” serunya seraya meletakkan
punggung tangannya di keningku.
Aku melirik Ravid yang masih saja diam. Matanya
tidak lagi fokus memandang langit-langit, tatapannya beralih padaku. Sorot
matanya tajam. Bibirnya mengatup rapat. Sekuat tenaga aku menata perasaan.
“Lio..., bisa
bantu aku ke kamar?” suaraku terdengar serak.
Dengan sigap, dituntunnya aku berdiri,
lantas membimbingku menuju kamar yang letaknya cukup jauh di belakang. Ada
sekelebat rasa menghampiriku saat meninggalkan Ravid.
*****
Wahai, Kasih....
Menunggumu seumpama menanti pagi datang
Menyuguhkan embun yang basah
Menyejukkan hati yang kering
Aku mengembuskan napas berat.
Mengingat kalimat panjang yang diucapkan Ravid beberapa hari yang lalu. Entah
benar atau tidak, aku menangkap maksud lain yang terkandung di
dalam kalimatnya itu. Entahlah.
Seperti dugaanku sebelumnya, virus yang
tergolong ganas yang bersemayam di dalam aliran darahku cepat atau lambat akan
membawaku ke tempat mengerikan ini. Tempat yang menyimpan sejuta kesedihan.
Sore tadi, setelah menyaksikan keruntuhan
matahari dari balkon kamar. Sepasang anak Adam membawaku ke tempat ini, setelah
tanpa sengaja melihat wajah pucatku dan darah yang mengalir dari hidung. Dan,
sialnya lagi, pria berjas putih yang memeriksa keadaanku tadi tidak
memperbolehkanku pulang.
“Siapa yang akan lebih dulu pergi?
Kurasa..., aku. Tubuhmu terlalu bugar untuk pergi.”
Kurasakan pohon harapan di hatiku yang
kian melemah, hanya menyisakan beberapa ranting doa yang masih
kugumamkan. Semakin mengering seiring dengan bergugurnya lembar demi lembar
daun yang—dulu—dipupuk dengan cinta.
Tiba-tiba, kurasakan seseorang melingkarkan
lengannya di pinggangku. “Bagaimana jika kita pergi bersama?”
“Kamu... sejak kapan ada di sini?” tubuhku
menegang saat mengetahui siapa yang tengah berdiri di belakangku itu. Ravid.
“Kamu terlalu baik untuk menutupi
penyakitmu itu dariku.” Ia melonggarkan rengkuhanya. “Kenapa tidak cerita? Apa
leukimia-mu itu terlalu hebat?” Ravid tersenyum remeh.
Aku tertawa lemah, “Lalu, bagaimana dengan kanker-mu itu? Apa dia
lebih kuat dibanding penyakitku? Hmm? Apa kanker-mu itu sanggup membuatmu
menghilangkan aku dari otakmu?”
Ravid tersentak, lengannya benar-benar
lepas dari pinggangku.
“Aku terlalu mengenalmu untuk itu.”
Sejurus kemudian, pemuda itu tersenyum.
Senyum yang sangat berbeda dari yang biasa kulihat. Ada rasa perih di dalamnya.
“Jadi? Sekarang dua orang penyakitan
tengah menutupi perasaannya masing-masing?”
Keningku berkerut, “Maksudmu?”
Ravid melengos, “Apa giliranku sudah
datang? Kamu bilang sudah bosan dengan Lio, bukan?”
Lalu, semua
memerah dadu. Menatap satu sama lain dengan wajah yang mengembang malu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar