Rabu, 23 September 2015

Seumpama Pagi


Setetes harapan akan terus tumbuh
Seiring doa yang berbisik lirih


Matahari mulai menghilang di balik gedung-gedung pencakar langit ketika aku berjalan memasuki lorong kecil yang diapit bangunan tua tak terpakai. Menghamburkan cercahannya yang memudar dalam kelembutan. Beberapa angin nakal mengaduk-aduk rambutku saat menyusul langkah panjang pemuda di depanku dengan tergopoh-gopoh. Ravid Arkan—pemuda berkulit sawo matang—yang sejak hampir sepuluh tahun yang lalu menjadi sahabatku.

Hampir saja aku menubruk tubuh tegap Ravid saat pemuda itu tiba-tiba saja berhenti. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aku mendesah pelan.

“Sudah sampai?” tanyaku seraya melempar pandangan pada setiap sudut di sekitar.

Ravid membawaku ke sebuah lapangan kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan sebatas mata kaki. Beberapa lembar daun dari pohon—dengan ranting yang mulai menua—saling bergesekan. Sepi. Hening. Hanya kami berdua yang ada di tempat itu.

Dengan gerakan lambat, pemuda itu memutar tubuhnya, tersenyum lebar, lantas mengangguk.

 “Bisa kita duduk?”

Lagi, Ravid tidak bersuara. Selama beberapa detik, ia masih setia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya. Aku berdecak kesal.

 “Bisa kita duduk?” ulangku.

Ravid terkesiap, diraihnya lengan kananku agar lebih dekat dengannya. “Di sini saja.”

Menit meloncat-loncat. Langit tidak lagi membentangkan layar jingga. Sepotong benda bercahaya menampakkan diri di ujung pandangan, berpendar bersama beberapa benda mungil yang menyembul di balik layar hitam.

 “Bagaimana hubunganmu dengan Lio?” tanyanya, membuyarkan lamunanku.

Aku menghela napas berat, “Entahlah.”

“Entahlah?” ulangnya, tak mengerti.

“Ya, entahlah. Aku juga gak ngerti. Kenapa?”

Ravid tidak menjawab. Aku meliriknya yang mulai memejamkan mata.

 “Mulai bosan lagi?”

Aku tertawa kecil, “Kamu sungguh mengenalku.”

“Sampai kapan kamu akan mempermainkan banyak hati seperti itu? Tidak takut karma?”

Aku bergeming. Enggan menjawab pertanyaan yang tak terhitung sudah berapa kali keluar dari bibir tipisnya. Karma? I think it would be my best friend. Soon. Membayangkannya membuat sekelebat senyum mampir di bibirku. Mungkin saja kering di hatiku sedikit terobati dengan karma yang menemani duka. Mungkin saja.


*****

Karena hati terlalu rapuh
Dan bibir yang kelu
Hanya untuk berkata maaf


“Kamu payah. Baru lari segitu doang sudah capek.”

Aku memutar bola mata, memandang Ravid dengan tajam. “Segitu doang? Lari tiga kilo dengan perut yang baru diisi ‘segitu doang’?”

“Ya, kan, seharusnya tenagamu bertambah. Nin.”

 “Tauk, ah!” aku melempar tubuh pada punggung sofa—yang cukup besar untuk menenggelamkan seluruh tubuhku.

“Masih untung aku ajak langsung pulang ke rumahmu, bukan ke rumahku. Kan, lumayan buat olahraga.”

 “Sana, lari sendiri.”

Ravid tidak menjawab. Dia melangkah pergi meninggalkanku, lalu kembali dengan dua gelas air putih di tangannya. “Jangan air dingin, gak bagus buat kesehatan.”

Aku tersenyum miring, “Thank’s.”

Hening sebentar. Rongga dadaku tiba-tiba saja sesak. Keringat berguguran dari kedua sisi pelipisku. Aku menggigit bibir menahan sakit yang teramat sangat. Aku yakin, jika saat ini Ravid tidak sedang berada di sampingku, aku kan menjerit sekuat mungkin, melampiaskan rasa sakit yang tiba-tiba saja menerjang kepalaku.

“Menurutmu cinta itu apa?”

Sayup-sayup, aku mendengar Ravid kembali membuka suara.

“Menurutku, cinta itu seperti kupu-kupu. Indah. Menggoda. Bebas. Cinta itu rasa yang paling indah dengan pesonanya yang menggoda. Cinta bebas memilih dengan siapa dia akan jatuh, bagaimana cara dia mencinta, seperti apa ceritanya, dan... cinta tidak terikat dengan logika yang terus berusaha mengaturnya.” Lanjut Ravid.

Aku menoleh seraya mengerutkan kening. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba bicara tentang cinta? Namun, belum selesai kebingunganku, rasa mual menggelitik ulu hatiku.

“Rav...,” desisku.

Tubuhku sudah benar-benar diselimuti keringat dingin.  Pompaan jantung yang tidak beraturan menyulitkanku untuk bernapas.

“Ravid...,” suaraku terdengar semakin lirih.

“Morning, Sweety.” Tiba-tiba saja, seoarang pemuda duduk di sampingku.

Aku terkesiap. Memandang pemuda itu tak acuh. Lantas memberinya seulas senyum berat.

“Loh, kamu kenapa, Sayang? Kok pucat? Kamu sakit?” tanyanya beruntun.

Aku bergeming. Bibirku terasa berat untuk digerakkan.

“Panas banget!” serunya seraya meletakkan punggung tangannya di keningku.

Aku melirik Ravid yang masih saja diam. Matanya tidak lagi fokus memandang langit-langit, tatapannya beralih padaku. Sorot matanya tajam. Bibirnya mengatup rapat. Sekuat tenaga aku menata perasaan.

“Lio..., bisa bantu aku ke kamar?” suaraku terdengar serak.

Dengan sigap, dituntunnya aku berdiri, lantas membimbingku menuju kamar yang letaknya cukup jauh di belakang. Ada sekelebat rasa menghampiriku saat meninggalkan Ravid.


*****


Wahai, Kasih....
Menunggumu seumpama menanti pagi datang
Menyuguhkan embun yang basah
Menyejukkan hati yang kering


Aku mengembuskan napas berat. Mengingat kalimat panjang yang diucapkan Ravid beberapa hari yang lalu. Entah benar atau tidak, aku menangkap maksud lain yang terkandung di dalam kalimatnya itu. Entahlah.

Seperti dugaanku sebelumnya, virus yang tergolong ganas yang bersemayam di dalam aliran darahku cepat atau lambat akan membawaku ke tempat mengerikan ini. Tempat yang menyimpan sejuta kesedihan.

Sore tadi, setelah menyaksikan keruntuhan matahari dari balkon kamar. Sepasang anak Adam membawaku ke tempat ini, setelah tanpa sengaja melihat wajah pucatku dan darah yang mengalir dari hidung. Dan, sialnya lagi, pria berjas putih yang memeriksa keadaanku tadi tidak memperbolehkanku pulang.

“Siapa yang akan lebih dulu pergi? Kurasa..., aku. Tubuhmu terlalu bugar untuk pergi.”

Kurasakan pohon harapan di hatiku yang kian melemah, hanya menyisakan beberapa ranting doa yang masih kugumamkan. Semakin mengering seiring dengan bergugurnya lembar demi lembar daun yang—dulu—dipupuk dengan cinta.

Tiba-tiba, kurasakan seseorang melingkarkan lengannya di pinggangku. “Bagaimana jika kita pergi bersama?”

“Kamu... sejak kapan ada di sini?” tubuhku menegang saat mengetahui siapa yang tengah berdiri di belakangku itu. Ravid.

“Kamu terlalu baik untuk menutupi penyakitmu itu dariku.” Ia melonggarkan rengkuhanya. “Kenapa tidak cerita? Apa leukimia-mu itu terlalu hebat?” Ravid tersenyum remeh.

Aku tertawa lemah, “Lalu, bagaimana dengan kanker-mu itu? Apa dia lebih kuat dibanding penyakitku? Hmm? Apa kanker-mu itu sanggup membuatmu menghilangkan aku dari otakmu?”

Ravid tersentak, lengannya benar-benar lepas dari pinggangku.

“Aku terlalu mengenalmu untuk itu.”

Sejurus kemudian, pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat berbeda dari yang biasa kulihat. Ada rasa perih di dalamnya.

“Jadi? Sekarang dua orang penyakitan tengah menutupi perasaannya masing-masing?”

Keningku berkerut, “Maksudmu?”

Ravid melengos, “Apa giliranku sudah datang? Kamu bilang sudah bosan dengan Lio, bukan?”

Lalu, semua memerah dadu. Menatap satu sama lain dengan wajah yang mengembang malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar