Selasa, 22 September 2015

Life Music

Ada begitu banyak kisah yang terjadi secara nyata dan tertuang dalam bentuk beberapa baris lirik lagu, dan di antara begitu banyak lagu yang tercipta, entah mengapa, lagu sendu selalu menjadi favorit untuk mengenang dia--seseorang yang dicinta. Walau terasa perih, selalu ada alasan untuk mereka--yang sedang berduka--terus memutar lagu tersebut. Menikmatinya dengan wajah basah.

Ku coba menghapus bayang-bayang
Masih ku bertanya
Adakah arti aku menunggu
Bila semua ini tak menentu
Ku ragu... [1]

Sepotong lirik lagu mengalun lembut di telinga perempuan berpipi chubby itu. Naella Caroline--perempuan mungil dengan baju berwarna cokelatnya yang kebesaran, nyaris membuat tubuhnya tenggelam, namun terlihat pantas-pantas saja ia kenakan. Tanpa aba-aba lagi, setetes bulir bening meluncur bebas di wajahnya yang lalu disusul dengan hujan lokal.
Sial.
 Lagu itu benar-benar menamparnya dengan ganas. Seakan ingin meneriakkan segala isi hatinya dengan beberapa baris kata. Seolah ingin menyuarakan seluruh kalimat yang mengumpul, tersendat di ujung lidahnya.
Lebih dari satu bulan ia menunggu, yang artinya lebih dari satu bulan pula ia duduk di balkon kamarnya, menghadap jalanan di depan rumahnya, menanti datangnya sang penebar pesona. Dia, seseorang yang berjalan entah ke mana dengan membawa hati Naella dalam genggamannya. Dia, pemuda yang tepat satu tahun yang lalu Naella temui dengan seringai senyum polosnya.

                                                                *****

Kau datang dan jantungku berdegub kencang
Kau buatku terbang melayang
Tiada ku sangka getaran ini
Ada saat jumpa yang pertama[2]

Sabtu pagi, Naella dikejutkan oleh sosok yang kini tengah berada di ambang pintu rumahnya. Seorang pemuda manis dengan kulit kecokelatan dan tubuh tinggi-tegap, khas seorang pemain basket.
"Hay," ucap pemuda tersebut, seraya tersenyum dan mengangkat lima jarinya.
Naella bergeming, masih belum memercayai apa yang tengah ia lihat.
"Nae?" sapa orang itu, sekali lagi.
Naella masih saja diam, mematung.
"Emm... gue ganggu, ya?"
Tukk.
Ah, eh, iya, kenapa?" tanya Naella, tak beraturan. Pemuda itu tersenyum.
Naella mencoba melangkahkan kakinya sesantai mungkin, mendekati pemuda di depannya. Walau, nyatanya, siapa saja dapan melihat langkah gemetarnya yang begitu ketara. Termasuk pemuda tersebut.
"Gue ganggu?"
"Ohh... ngga, kok. Ayo, masuk."
Entah ini mimpi atau bukan, yang jelas, semua terasa begitu indah dan nyata. Sungguh, Naella akan dengan senang hati memperpanjang durasi tidurnya, jika memang semua ini hanyalah sebuah mimpi.
"Dari mana kakak tau alamat rumahku?"
Pemuda itu tersenyum, sebentar. "Apa guna aku jadi senior yang nge-OSPEK kamu, kalo dapatin alamat rumah kamu aja aku gak bisa?"
Naella hanya tertawa kecil mendengarnya. Orang ini...
"Lalu, kakak ke sini..."
Lagi-lagi, pemuda manis yang kini duduk di hadapan Naella itu tidak langsung menjawab. Beberapa saat ia hanya diam hingga lalu ia menunduk sedikit, seraya meringis. Mengusap tengkuknya, tak beraturan.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan minuman."
Naella segera berdiri. Ia harus cepat pergi dari tempat itu. Harus. Jika ia tidak ingin jantungnya yang sedari tadi terus menggedor tulang rusuknya itu berhasil meloncat keluar dari tubuhnya.

*****

Almost, almost is never enough
So close to being in love
If i would have to know
That you wanted me
The way i wanted you [3]

"Kenapa telpon aku semalam gak dijawab?"
Suara itu terdengar jelas di telinga kanan Naella. Sontak, membuatnya menoleh, lantas terkejut saat mendapati wakah seorang pemuda yang menemaninya bermain di dalam mimpi semalam, kini berada tidak lebih dari lima senti dari wajahnya. Reflek, Naella memundurkan kepalanya.
"Kak David!" teriak Naella, tercekik.
David. Pemuda itu terkekeh geli melihat ekspresi lucu perempuan di sampingnya itu.
"Kamu belum jawab." Desaknya.
Naella menghela napas, sesaat. "Aku ketiduran, Kak." Jawabnya, tanpa memandang wajah David sedikit pun.
David menganggukkan kepalanya. Ia duduk di kursi kosong, di sebelah kanan Naella. Memandang wajah perempuan itu dengan dahi berkerut. Wajah manis yang sudah beberapa bulan ini mewarnai hari-harinya dengan senyum cerah. Namun, entah mengapa wajah itu terlihat seperti ditutupi awan mendung siang ini.
"Kok sendirian?"
Naella menoleh, tersenyum samar. "Yang lain lagi ada kelas."
"Kamu bolos?" Kerut di dahi David bertambah. Tidak biasanya...
"Lagi gak konsen." Jawab Naella, singkat.
"Ada masalah? Cerita aja, mana tau aku bisa bantu."
Naella menggeleng. Bukan tidak ada masalah. Tapi, bagaimana mungkin ia menceritakan bahwa masalah sebenarnya yang mengganggu konsentrasinya adalah pemuda di sampinya ini. Bagaimana mungkin ia bisa bertanya tentang kejelasan hubungan mereka.

*****

Hope for a better day
A litle love to find away
Through this heaviness i fell
I just need someone to say
Everything's okay[4]

Telinga Naella mulai panas. Dadanya sesak. Ingin sekali ia menulikan telinganya saat ini agar sesak di dadanya mengurai atau setidaknya ia diperbolehkan meneriakkan satu kata saja dengan lantang. Stop!
"Kamu sedang ada masalah dengan Kak David?"
"Atau jangan-jangan kalian sudah putus?"
"Lo sebenarnya ada apa sih sama Kak Dav?"
"Nae, tadi gue sempat liat Kak Dav sama Firly yang anak ekonomi itu, loh!"
Jedeerrr.
Napas Naella seperti tertahan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan teman-temannya itu. Satu kalimat yang berhasil membuatnya merasa seperti terjatuh ke dalam jurang api. Panas. Panas sekali.
"Eh, tapi, Lo pacarnya Kak Dav, kan?"
Plaakkk.
Perih. Lagi-lagi, kalimat yang meluncur dari bibir teman-temannya itu membuat Naella semakin tersudut dan kesakitan. Tak tahu mengapa, mereka bisa mengucapkan kalimat-kalimat sadis seperti itu. Pacar? Kekasih? Kak Dav? Bahkan, saat terakhir bertemu pun status mereka masih sama. Tidak lebih dari seorang teman. Junior dan senior di kampus. Mahasiswa semester satu dengan seorang ketua BEM. Hanya betasa itu.
Sejenak, Naella memejamkan matanya. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, seolah takut setelah ia mengembuskan napas nanti, oksigen itu telah habis. Lalu, memandang raut penasaran yang begitu ketara pada wajahh teman-temannya.
"Gue gak ada apa-apa sama Kak Dav, dan... soal cewek itu... mungkin dia pacarnya Kak Dav. Gue juga kurang tau, sih, ya."
Butuh kekuatan yang besar untuk Naella mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Terlebih saat mengucapkan status David dan seorang perempuan yang dia sendiri tidak tahu siapa namanya.

*****

At night when the stars light up my room
I sit by mu side
Talking to the moon
Try to get to you
In hopes you were the other side
Talking to me to
Or i'm a fool
Who sits alone Talking to the moon[5]

Naella sungguh bingung bagaimana cara menghadapi hari-harinya ke depan. Beberapa hari ini adalah hari yang berat, baginya. Dimana ia harus melewati setiap detik dengan perasaan yang kosong. Kebahagiaan saat dulu bersama Davis hilang begitu saja hanya karena pemandangan yang tertangkap indera penglihatannya.
Sebentar memang. Bahkan, sangat sebentar. Hanya satu menit. Namun, satu menit membawa sepasang tangan muda mudi itu dengan hebatnya dapat menghilangkan semua senyum dan tawa Naella. Juga, satu menit yang memperdengarkan kalimat yang begitu tajam, menyayat.
"Kamu tuh lucu banget sih, Fir, kalo lagi ngambek gini."
"Terus aja kau bikin aku makin bt, Kak."
Malam ini, di balkon kamarnya, Naella memulai aktivitas barunya. Duduk, memandang langit malam, sambil sesekali menatap jalanan di depan rumahnya, menanti kehadiran seseorang. Dia... pemuda yang berhasil kabur dengan membawa hatinya.






[1] Karina Salim – Dalam Hati Saja.
[2] Raissa – Could It Be.
[3] Ariana Grande – Almost Is Never Enough.
[4] Lenka – Everthing’s Okay
[5] Bruno Mars – Talking To The Moon


Tidak ada komentar:

Posting Komentar