Ada begitu banyak kisah yang terjadi secara nyata dan tertuang
dalam bentuk beberapa baris lirik lagu, dan di antara begitu banyak lagu yang
tercipta, entah mengapa, lagu sendu selalu menjadi favorit untuk mengenang
dia--seseorang yang dicinta. Walau terasa perih, selalu ada alasan untuk
mereka--yang sedang berduka--terus memutar lagu tersebut. Menikmatinya dengan
wajah basah.
Ku coba
menghapus bayang-bayang
Masih ku
bertanya
Adakah arti
aku menunggu
Bila semua
ini tak menentu
Ku ragu... [1]
Sepotong lirik lagu mengalun lembut di telinga perempuan berpipi
chubby itu. Naella Caroline--perempuan mungil dengan baju berwarna cokelatnya
yang kebesaran, nyaris membuat tubuhnya tenggelam, namun terlihat pantas-pantas
saja ia kenakan. Tanpa aba-aba lagi, setetes bulir bening meluncur bebas di
wajahnya yang lalu disusul dengan hujan lokal.
Sial.
Lagu itu benar-benar menamparnya dengan ganas. Seakan ingin
meneriakkan segala isi hatinya dengan beberapa baris kata. Seolah ingin
menyuarakan seluruh kalimat yang mengumpul, tersendat di ujung lidahnya.
Lebih dari satu bulan ia menunggu, yang artinya lebih dari satu
bulan pula ia duduk di balkon kamarnya, menghadap jalanan di depan rumahnya,
menanti datangnya sang penebar pesona. Dia, seseorang yang berjalan entah ke
mana dengan membawa hati Naella dalam genggamannya. Dia, pemuda yang tepat satu
tahun yang lalu Naella temui dengan seringai senyum polosnya.
*****
Kau datang
dan jantungku berdegub kencang
Kau buatku
terbang melayang
Tiada ku
sangka getaran ini
Ada saat
jumpa yang pertama[2]
Sabtu
pagi, Naella dikejutkan oleh sosok yang kini tengah berada di ambang pintu
rumahnya. Seorang pemuda manis dengan kulit kecokelatan dan tubuh tinggi-tegap,
khas seorang pemain basket.
"Hay,"
ucap pemuda tersebut, seraya tersenyum dan mengangkat lima jarinya.
Naella
bergeming, masih belum memercayai apa yang tengah ia lihat.
"Nae?"
sapa orang itu, sekali lagi.
Naella
masih saja diam, mematung.
"Emm...
gue ganggu, ya?"
Tukk.
Ah, eh,
iya, kenapa?" tanya Naella, tak beraturan. Pemuda itu tersenyum.
Naella
mencoba melangkahkan kakinya sesantai mungkin, mendekati pemuda di depannya.
Walau, nyatanya, siapa saja dapan melihat langkah gemetarnya yang begitu
ketara. Termasuk pemuda tersebut.
"Gue
ganggu?"
"Ohh...
ngga, kok. Ayo, masuk."
Entah
ini mimpi atau bukan, yang jelas, semua terasa begitu indah dan nyata. Sungguh,
Naella akan dengan senang hati memperpanjang durasi tidurnya, jika memang semua
ini hanyalah sebuah mimpi.
"Dari
mana kakak tau alamat rumahku?"
Pemuda
itu tersenyum, sebentar. "Apa guna aku jadi senior yang nge-OSPEK kamu,
kalo dapatin alamat rumah kamu aja aku gak bisa?"
Naella hanya
tertawa kecil mendengarnya. Orang
ini...
"Lalu,
kakak ke sini..."
Lagi-lagi,
pemuda manis yang kini duduk di hadapan Naella itu tidak langsung menjawab.
Beberapa saat ia hanya diam hingga lalu ia menunduk sedikit, seraya meringis.
Mengusap tengkuknya, tak beraturan.
"Tunggu
sebentar, aku ambilkan minuman."
Naella
segera berdiri. Ia harus cepat pergi dari tempat itu. Harus. Jika ia tidak
ingin jantungnya yang sedari tadi terus menggedor tulang rusuknya itu berhasil
meloncat keluar dari tubuhnya.
*****
Almost, almost is never
enough
So close to being in love
If i would have to know
That you wanted me
The way i wanted you [3]
"Kenapa telpon aku semalam gak dijawab?"
Suara itu terdengar jelas di telinga kanan Naella. Sontak,
membuatnya menoleh, lantas terkejut saat mendapati wakah seorang pemuda yang
menemaninya bermain di dalam mimpi semalam, kini berada tidak lebih dari lima
senti dari wajahnya. Reflek, Naella memundurkan kepalanya.
"Kak David!" teriak Naella, tercekik.
David. Pemuda itu terkekeh geli melihat ekspresi lucu perempuan di
sampingnya itu.
"Kamu belum jawab." Desaknya.
Naella menghela napas, sesaat. "Aku ketiduran, Kak."
Jawabnya, tanpa memandang wajah David sedikit pun.
David menganggukkan kepalanya. Ia duduk di kursi kosong, di
sebelah kanan Naella. Memandang wajah perempuan itu dengan dahi berkerut. Wajah
manis yang sudah beberapa bulan ini mewarnai hari-harinya dengan senyum cerah.
Namun, entah mengapa wajah itu terlihat seperti ditutupi awan mendung siang ini.
"Kok sendirian?"
Naella menoleh, tersenyum samar. "Yang lain lagi ada kelas."
"Kamu bolos?" Kerut di dahi David bertambah. Tidak
biasanya...
"Lagi gak konsen." Jawab Naella, singkat.
"Ada masalah? Cerita aja, mana tau aku bisa bantu."
Naella menggeleng. Bukan tidak ada masalah. Tapi, bagaimana
mungkin ia menceritakan bahwa masalah sebenarnya yang mengganggu konsentrasinya
adalah pemuda di sampinya ini. Bagaimana mungkin ia bisa bertanya tentang
kejelasan hubungan mereka.
*****
Hope for a
better day
A litle
love to find away
Through
this heaviness i fell
I just need
someone to say
Everything's
okay[4]
Telinga
Naella mulai panas. Dadanya sesak. Ingin sekali ia menulikan telinganya saat
ini agar sesak di dadanya mengurai atau setidaknya ia diperbolehkan meneriakkan
satu kata saja dengan lantang. Stop!
"Kamu
sedang ada masalah dengan Kak David?"
"Atau
jangan-jangan kalian sudah putus?"
"Lo
sebenarnya ada apa sih sama Kak Dav?"
"Nae,
tadi gue sempat liat Kak Dav sama Firly yang anak ekonomi itu, loh!"
Jedeerrr.
Napas
Naella seperti tertahan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan
teman-temannya itu. Satu kalimat yang berhasil membuatnya merasa seperti
terjatuh ke dalam jurang api. Panas. Panas sekali.
"Eh,
tapi, Lo pacarnya Kak Dav, kan?"
Plaakkk.
Perih.
Lagi-lagi, kalimat yang meluncur dari bibir teman-temannya itu membuat Naella
semakin tersudut dan kesakitan. Tak tahu mengapa, mereka bisa mengucapkan
kalimat-kalimat sadis seperti itu. Pacar?
Kekasih? Kak Dav? Bahkan,
saat terakhir bertemu pun status mereka masih sama. Tidak lebih dari seorang
teman. Junior dan senior di kampus. Mahasiswa semester satu dengan seorang
ketua BEM. Hanya betasa itu.
Sejenak,
Naella memejamkan matanya. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, seolah takut
setelah ia mengembuskan napas nanti, oksigen itu telah habis. Lalu, memandang
raut penasaran yang begitu ketara pada wajahh teman-temannya.
"Gue
gak ada apa-apa sama Kak Dav, dan... soal cewek itu... mungkin dia pacarnya Kak
Dav. Gue juga kurang tau, sih, ya."
Butuh
kekuatan yang besar untuk Naella mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Terlebih
saat mengucapkan status David dan seorang perempuan yang dia sendiri tidak tahu
siapa namanya.
*****
At night
when the stars light up my room
I sit by mu
side
Talking to
the moon
Try to get
to you
In hopes
you were the other side
Talking to
me to
Or i'm a
fool
Who sits
alone Talking to the moon[5]
Naella sungguh bingung bagaimana cara menghadapi hari-harinya ke
depan. Beberapa hari ini adalah hari yang berat, baginya. Dimana ia harus
melewati setiap detik dengan perasaan yang kosong. Kebahagiaan saat dulu
bersama Davis hilang begitu saja hanya karena pemandangan yang tertangkap
indera penglihatannya.
Sebentar memang. Bahkan, sangat sebentar. Hanya satu menit. Namun,
satu menit membawa sepasang tangan muda mudi itu dengan hebatnya dapat
menghilangkan semua senyum dan tawa Naella. Juga, satu menit yang
memperdengarkan kalimat yang begitu tajam, menyayat.
"Kamu tuh lucu banget sih, Fir, kalo lagi ngambek gini."
"Terus aja kau bikin aku makin bt, Kak."
Malam ini, di balkon kamarnya, Naella memulai aktivitas barunya.
Duduk, memandang langit malam, sambil sesekali menatap jalanan di depan
rumahnya, menanti kehadiran seseorang. Dia... pemuda yang berhasil kabur dengan
membawa hatinya.
[1] Karina Salim –
Dalam Hati Saja.
[2] Raissa – Could It
Be.
[3] Ariana Grande –
Almost Is Never Enough.
[4] Lenka – Everthing’s
Okay
[5] Bruno Mars –
Talking To The Moon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar