Rabu, 23 September 2015

Cinta Tiga Saudara

Alunan lagu I'm coming home milik Skylar Grey terdengar dari ponsel Safa, ringtone panggilan masuk. Ia membanting tubuhnya pada ranjang bernuansa cokelat, lantas meraih ponselnya yang masih setia memperdengarkan lagu favoritnya itu
Vano's calling
Safa menghela napas, enggan menjawab panggilan tersebut. Tak lama, ponselnya berhenti bergetar, begitu pun dengan lagunya. Namun, tak sampai dua detik, ponsel itu kembali bernyanyi, seraya memunculkan nama yang sama. Hingga pada panggilan ketiga, barulah Safa menjawabnya.
"Ya?"
Berisik sekali suara di seberang sana. Mau tidak mau, dengan kening berkerut, Safa menajamkan indera pendengarannya. Sulit memang, tapi, setidaknya, Safa dapat mendengar suara bergetar Vano yang sepertinya berbicara dengan sedikit berteriak.
"Kamu harus segera datang kalau kamu tidak ingin menyesal."
Begitu  bunyi kalimat terakhir yang didengar Safa, sebelum detik berikutnya panggilan diputuskan secara sepihak oleh sang penelpon. Kerut di dahi Safa bertambah banyak. Tidak mengerti apa maksud ucapan Vano. Ia lantas memilih memejamkan mata, tidur. Karena, sesungguhnya, sulit bagi Safa untuk bertemu dengan Vano. Terlebih setelah pemuda itu menyatakan perasaannya, beberapa bulan yang lalu.

*****

"Dari mana kamu tau aku di sini?"
"Dari..."
Safa mengangkat sebelah alisnya, "Kamu mengikutiku?"
Dan, saat itu juga, wajah pemuda di sampingnya itu memerah padam.
"Dasar! Ada perlu apa?" tanya Safa, kembali melempar pandangan pada hamparan bunga melati di depannya.
Bukannya menjawab pertanyaan Safa, pemuda itu justru mengangkat selebar kertas, tepat di depan wajah Safa. "Mau aku temani untuk daftar?"
Sesaat, Safa hanya diam. "Serius? Sumpah, ini beneran? Dance competition? Di sini? Kapan pendaftarannya dimulai? Pokoknya, kamu harus temani aku, Dan. Gak mau tau!" cecar Safa saat menyadari apa yang tertera pada kertas dalam genggamannya.
Danu. Pemuda itu hanya mengangkat lengan kirinya, mengacak-acak rambut Safa, gemas. Sedikit tawa terdengar dari bibirnya. Heran dengan mood perempuan di sampingnya itu yang mudah sekali berubah-ubah. Padahal, beberapa saat sebelum ia menghampiri Safa, dilihatnya raut kesedihat menyelimuti wajah manis gadis di sampingya itu.
"With my pleasure, Miss."

*****

“I don't wanna hurt him anymore
I don't wanna take away his life
I don't wanna be a murderer
A murdere... no no no..."
Safa menyelesaikan lagunya. Setetes air asin meluncur, keluar dari matanya. Entah mengapa, menurutnya, lagu milik Rihanna itu sangat pantas untuk perasaannya saat ini. Dan, harapannya akan sesak yang mengurai bersama setiap lirik lagu yang ia lantunkan, nyatanya tidak membuahkan hasil.
Sudah beberapa minggu ini, Safa seperti merasakan ada sesuatu yang berperang di hatinya. Ada rasa kecewa yang berhasil membuang rasa cinta, dan di saat yang sama sosok lain seolah berusaha menaburkan benih-benih rasa yang telah hilang itu.
 memainkan sebuah cincin yang memeluk jari manis di tangan kirinya, "apa aku masih pantas mengenakannya, setelah apa yang kamu lakukan saat ini?"
Tess. Setetes air asin kembali terjun bebas di wajahnya, kali ini diikuti dengan air asin lainnya. Semakin banyak, hingga menggenang di permukaan gitar, di pangkuan Safa. Sesak di dadanya tak kunjung mereda. Masih setia mengepul di ujung napasnya.
"Kamu ke mana? Di mana?" Safa menutup matanya, berusaha menghentikan tangisnya.
"Layaknya benda hidup. Hati dapat kapan saja berbelok arah. Ia memiliki kkontrolnya sendiri. Memiliki hak penuh atas apa yang ia inginkan. Maafkan aku, Vin."
               
*****

"Kamu gak serius kan, Van?"
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda?"
Safa mengembuskan napasnya. "Tapi, kamu..."
"Aku tau. Aku mengerti, Fa. Tapi, bukan aku yang menginginkan ini semua. Hatiku yang bertindak banyak di sini." Potong Vano, cepat.
Langit malam itu terlihat sepi, seperti takut untuk menampakkan diri dan memilih untul bersembunyi di balik awan gelap. Jelas saja, walau temanya adalah penyataan cinta, kedua insan ini tidak lantas membawa nuansa merah muda bersamanya.
"Maaf. Tapi, tidak samapai dua belas jam lagi, aku akan terikat dengan kakakmu." Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Safa, setelah hening untuk waktu yang cukup lama. Ia lalu berbalik, meninggalkan Vano.

*****
"Morning, sweet dancer."
Safa hendak memutar tubuhnya, sebelum pemuda dengan wangi parfum yang selalu menggodanya itu melingkarkan kedua lengannya di perut Safa. Membuat bibir mereka melungkung sempurna.
Tumben masih pagi gini sudah datang?" Safa menyandarkan kepalanya pada dada bidang pemuda di belakangnya itu.
"Because, i miss you." Jawab pemuda itu, manja.
"We've met two days ago, Danu."
Danu mendesis, seolah tidak terima dengan ucapan Safa. "Two days is too long for me," pemuda manis itu masih setia dengan nada manjanya. "So..., where have you been?"
"Gak ke mana-mana. Stay at home. Hanya sedang memikirkan..."
“Are you thinkin' about the other guy?"
“Jealouse?"
"Is it a question?"
"No. I'm just kidding." Bohong Safa. Ia mencoba tersenyum, menyamarkan gurat kegelisahan di wajahnya.
Lantunan lagu It was always you milik Maroon 5 terdengar, tepat saat Danu hendak membuka mulut. Dikeluarkannya benda persegi itu dar saku jaketnya. "Ya, Van?"
Entah apa yang dibicarakan Danu dengan seseorang di seberang sana. Yang jelas, detik setelah Danu menjawab panggilan tersebut, wajahnya seketika menegang. Hanya satu kata yang ia ucapkan, yang didengar Safa. Kritis.
Tak berapa lama, ia pamit pulang. Lalu, selang beberapa menit, giliran ponsel Safa yang menjerit, mengeluarkan ringtone panggilan masuk. Namun, tak segera membuat Safa menjawabnya, setelah ia lihat nama siapa yang tertera di sana.
"Can't you give me my own time, Vano?"         

*****

From: Vano Kamu terlambat, Fa. Vino telah pergi.
Sontak bola mata Safa melebar saat membaca pesan tersebut yang membawa nama seseorang yang telah lama tidak dijumpainya itu. Ia yang baru saja bangun dari tidur siangnya, seperti mendapat misteri box saat kesadarannya belum pulih betul.
Dengan rasa bingung bercampur takut, kembali dibacanya pesan tersebut. Tidak ada yang berubah. Safa lantas beralih melihat waktu pengiriman pesan. Pukul sembilan lewat sepuluh, pagi tadi. Berarti lebih dari lima jam yang lalu.
To: Vano Apa maksudmu? Di mana Vino?
Tak berapa lama, balasan dari Vano masuk.
From: Vano Kemarilah. Kami sekeluarga berada di pemakaman tak jauh dari rumah.
Gegas, Safa membersihkan diri, lantas pergi menuju tempat yang disebutkan Vano. Di sepanjang perjalanan, banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Safa. Membuat debar jantungnya tak keruan.
Sesampainya di pemakaman, Safa segera berlari tak tentu arah. Mencari sisik Vano. Dan, betapa kagetnya Safa saat mendapati orangtua Vino duduk di samping gundukan tanah merah dengan wajah basah. Tak jauh dari mereka, Vano berdiri, menatap Safa di balik kaca mata hitamnya bersama seorang pemuda dengan pakaian serba hitam. Danu?

*****
               
“Kamu mau ke mana? Berapa lama? Kenapa meninggalkanku?"
Vino tersenyum geli melihat tingkah manja perempuan yang beberapa hari yang lalu telah terikat dengannya dengan sebuah cincin mas putih di salah satu jari di lengan kiri mereka. Perempuan unik dengan mood-nya yang selalu berhasil membuatnya kewalahan.
"Aku hanya menjemput saudara kandungku. Kamu ingat Danu Wiranta yang kuliah di Perth, kan? Aku mau menjemputnya."
Safa menunjukkan senyum terbaiknya, "aku ikut, ya?"
"Aku tidak akan lama, Sayang. Aku janji."

"Dia bohong. Dia tidak pergi menjemput Danu, Fa. Dia... dia terkena kanker otak. Dan, dia menyembunyikannya dari kita semua. Dia berusaha mencari cara untuk menyembuhkan penyakitnya, tanpa ingin bantuan dari kita."
Penjelasan singkat yang diucapkan Vano, mengembalikan Safa dari lamunannya. Ia mengelus lembut batu yang bertuliskan nama tunangannya itu. Vino Wiranta. Lalu, kembali berdiri, menatap dua pemuda yang tersenyum getir di hadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar