Alunan
lagu I'm coming home milik Skylar Grey terdengar dari ponsel Safa, ringtone
panggilan masuk. Ia membanting tubuhnya pada ranjang bernuansa cokelat, lantas
meraih ponselnya yang masih setia memperdengarkan lagu favoritnya itu
Vano's calling
Safa
menghela napas, enggan menjawab panggilan tersebut. Tak lama, ponselnya
berhenti bergetar, begitu pun dengan lagunya. Namun, tak sampai dua detik,
ponsel itu kembali bernyanyi, seraya memunculkan nama yang sama. Hingga pada
panggilan ketiga, barulah Safa menjawabnya.
"Ya?"
Berisik
sekali suara di seberang sana. Mau tidak mau, dengan kening berkerut, Safa
menajamkan indera pendengarannya. Sulit memang, tapi, setidaknya, Safa dapat
mendengar suara bergetar Vano yang sepertinya berbicara dengan sedikit
berteriak.
"Kamu
harus segera datang kalau kamu tidak ingin menyesal."
Begitu
bunyi kalimat terakhir yang didengar Safa, sebelum detik berikutnya
panggilan diputuskan secara sepihak oleh sang penelpon. Kerut di dahi Safa
bertambah banyak. Tidak mengerti apa maksud ucapan Vano. Ia lantas memilih
memejamkan mata, tidur. Karena, sesungguhnya, sulit bagi Safa untuk bertemu
dengan Vano. Terlebih setelah pemuda itu menyatakan perasaannya, beberapa bulan
yang lalu.
*****
"Dari mana kamu tau aku di sini?"
"Dari..."
Safa
mengangkat sebelah alisnya, "Kamu mengikutiku?"
Dan,
saat itu juga, wajah pemuda di sampingnya itu memerah padam.
"Dasar!
Ada perlu apa?" tanya Safa, kembali melempar pandangan pada hamparan bunga
melati di depannya.
Bukannya
menjawab pertanyaan Safa, pemuda itu justru mengangkat selebar kertas, tepat di
depan wajah Safa. "Mau aku temani untuk daftar?"
Sesaat,
Safa hanya diam. "Serius? Sumpah, ini beneran? Dance competition? Di sini?
Kapan pendaftarannya dimulai? Pokoknya, kamu harus temani aku, Dan. Gak mau
tau!" cecar Safa saat menyadari apa yang tertera pada kertas dalam
genggamannya.
Danu.
Pemuda itu hanya mengangkat lengan kirinya, mengacak-acak rambut Safa, gemas.
Sedikit tawa terdengar dari bibirnya. Heran dengan mood perempuan di sampingnya
itu yang mudah sekali berubah-ubah. Padahal, beberapa saat sebelum ia
menghampiri Safa, dilihatnya raut kesedihat menyelimuti wajah manis gadis di
sampingya itu.
"With
my pleasure, Miss."
*****
“I
don't wanna hurt him anymore
I
don't wanna take away his life
I
don't wanna be a murderer
A murdere...
no no no..."
Safa
menyelesaikan lagunya. Setetes air asin meluncur, keluar dari matanya. Entah
mengapa, menurutnya, lagu milik Rihanna itu sangat pantas untuk perasaannya
saat ini. Dan, harapannya akan sesak yang mengurai bersama setiap lirik lagu
yang ia lantunkan, nyatanya tidak membuahkan hasil.
Sudah
beberapa minggu ini, Safa seperti merasakan ada sesuatu yang berperang di
hatinya. Ada rasa kecewa yang berhasil membuang rasa cinta, dan di saat yang
sama sosok lain seolah berusaha menaburkan benih-benih rasa yang telah hilang
itu.
memainkan sebuah cincin yang memeluk jari
manis di tangan kirinya, "apa aku masih pantas mengenakannya, setelah apa
yang kamu lakukan saat ini?"
Tess.
Setetes air asin kembali terjun bebas di wajahnya, kali ini diikuti dengan air
asin lainnya. Semakin banyak, hingga menggenang di permukaan gitar, di pangkuan
Safa. Sesak di dadanya tak kunjung mereda. Masih setia mengepul di ujung
napasnya.
"Kamu
ke mana? Di mana?" Safa menutup matanya, berusaha menghentikan tangisnya.
"Layaknya
benda hidup. Hati dapat kapan saja berbelok arah. Ia memiliki kkontrolnya
sendiri. Memiliki hak penuh atas apa yang ia inginkan. Maafkan aku, Vin."
*****
"Kamu
gak serius kan, Van?"
"Apa
aku terlihat seperti sedang bercanda?"
Safa
mengembuskan napasnya. "Tapi, kamu..."
"Aku
tau. Aku mengerti, Fa. Tapi, bukan aku yang menginginkan ini semua. Hatiku yang
bertindak banyak di sini." Potong Vano, cepat.
Langit
malam itu terlihat sepi, seperti takut untuk menampakkan diri dan memilih untul
bersembunyi di balik awan gelap. Jelas saja, walau temanya adalah penyataan
cinta, kedua insan ini tidak lantas membawa nuansa merah muda bersamanya.
"Maaf.
Tapi, tidak samapai dua belas jam lagi, aku akan terikat dengan kakakmu."
Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Safa, setelah hening untuk waktu yang
cukup lama. Ia lalu berbalik, meninggalkan Vano.
*****
"Morning,
sweet dancer."
Safa
hendak memutar tubuhnya, sebelum pemuda dengan wangi parfum yang selalu
menggodanya itu melingkarkan kedua lengannya di perut Safa. Membuat bibir
mereka melungkung sempurna.
Tumben
masih pagi gini sudah datang?" Safa menyandarkan kepalanya pada dada bidang
pemuda di belakangnya itu.
"Because,
i miss you." Jawab pemuda itu, manja.
"We've
met two days ago, Danu."
Danu
mendesis, seolah tidak terima dengan ucapan Safa. "Two days is too long
for me," pemuda manis itu masih setia dengan nada manjanya. "So...,
where have you been?"
"Gak
ke mana-mana. Stay at home. Hanya sedang memikirkan..."
“Are
you thinkin' about the other guy?"
“Jealouse?"
"Is
it a question?"
"No.
I'm just kidding." Bohong Safa. Ia mencoba tersenyum, menyamarkan gurat
kegelisahan di wajahnya.
Lantunan
lagu It was always you milik Maroon 5 terdengar, tepat saat Danu hendak membuka
mulut. Dikeluarkannya benda persegi itu dar saku jaketnya. "Ya, Van?"
Entah
apa yang dibicarakan Danu dengan seseorang di seberang sana. Yang jelas, detik
setelah Danu menjawab panggilan tersebut, wajahnya seketika menegang. Hanya
satu kata yang ia ucapkan, yang didengar Safa. Kritis.
Tak
berapa lama, ia pamit pulang. Lalu, selang beberapa menit, giliran ponsel Safa
yang menjerit, mengeluarkan ringtone panggilan masuk. Namun, tak segera membuat
Safa menjawabnya, setelah ia lihat nama siapa yang tertera di sana.
"Can't
you give me my own time,
Vano?"
*****
From: Vano Kamu terlambat, Fa. Vino telah pergi.
Sontak
bola mata Safa melebar saat membaca pesan tersebut yang membawa nama seseorang
yang telah lama tidak dijumpainya itu. Ia yang baru saja bangun dari tidur
siangnya, seperti mendapat misteri box saat kesadarannya belum pulih betul.
Dengan
rasa bingung bercampur takut, kembali dibacanya pesan tersebut. Tidak ada yang
berubah. Safa lantas beralih melihat waktu pengiriman pesan. Pukul sembilan
lewat sepuluh, pagi tadi. Berarti lebih dari lima jam yang lalu.
To: Vano Apa maksudmu? Di mana Vino?
Tak
berapa lama, balasan dari Vano masuk.
From: Vano Kemarilah. Kami sekeluarga berada di
pemakaman tak jauh dari rumah.
Gegas,
Safa membersihkan diri, lantas pergi menuju tempat yang disebutkan Vano. Di
sepanjang perjalanan, banyak pertanyaan yang bermunculan di kepala Safa.
Membuat debar jantungnya tak keruan.
Sesampainya
di pemakaman, Safa segera berlari tak tentu arah. Mencari sisik Vano. Dan,
betapa kagetnya Safa saat mendapati orangtua Vino duduk di samping gundukan
tanah merah dengan wajah basah. Tak jauh dari mereka, Vano berdiri, menatap
Safa di balik kaca mata hitamnya bersama seorang pemuda dengan pakaian serba
hitam. Danu?
*****
“Kamu
mau ke mana? Berapa lama? Kenapa meninggalkanku?"
Vino
tersenyum geli melihat tingkah manja perempuan yang beberapa hari yang lalu
telah terikat dengannya dengan sebuah cincin mas putih di salah satu jari di
lengan kiri mereka. Perempuan unik dengan mood-nya yang selalu berhasil
membuatnya kewalahan.
"Aku
hanya menjemput saudara kandungku. Kamu ingat Danu Wiranta yang kuliah di
Perth, kan? Aku mau menjemputnya."
Safa
menunjukkan senyum terbaiknya, "aku ikut, ya?"
"Aku
tidak akan lama, Sayang. Aku janji."
"Dia
bohong. Dia tidak pergi menjemput Danu, Fa. Dia... dia terkena kanker otak.
Dan, dia menyembunyikannya dari kita semua. Dia berusaha mencari cara untuk
menyembuhkan penyakitnya, tanpa ingin bantuan dari kita."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar