Sosokmu tak lagi ada menemani, namun di
setiap pandangan, kamu seolah hadir di dalamnya. Tersenyum, tertawa, bercanda
gurau, seperti biasanya. Rasa kehilangan yang belum terobatilah yang membuatmu
selalu ada dalam hari-hari kami. Tak terkecuali aku yang menganggapmu spesial
dibanding yang lainnya. Karena kamu berbeda.
Tumbal? Apa benar itu nyata adanya? Aku
percaya kita hidup berdampingan dengan dunia lain yang tak kasat mata. Tapi,
tumbal? Sesuatu atau seseorang yang dikorbankan agar mereka—yang tidak
tampak—tidak marah pada kita. Apa itu benar? Entahlah.
Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja kamu
menjadi salah satu diantara mereka. Menjadi yang dikorbankan demi mereka yang
tidak mengerti. Aku berusaha untuk tidak memercayainya. Pun mereka; keluarga,
kerabat, sahabat, dan merka yang lainnya. Namun, kehadiranmu telah membenarkan
semua yang kami tolak. Tubuh pucat yang terbujur kaku itu telah memecahkan
bendungan yang terus kami coba tahan agar tidak tumpah.
Kamu telah tiada. Kamu telah dikorbankan.
Tumbal.
Sore itu, dalam usahaku untuk
mengistirahatkan tubuh yang lelah karena menunggu, dan berujung pada sebuah
tangisan. Samar-samar,
pendengaranku menangkap sebuah pembicaraan yang bertemakan kamu.
"Dia berencana untuk mancing bersama
dua temannya. Padahal, baik dia ataupun istrinya tidak suka memakan ikan jenis
yang ia inginkan itu. Tetapi, ia tetap saja memilih pergi."
Tiba-tiba, siluet dirimu menari di
hadapanku. Beraksi sesuai apa yang mereka ceritakan. Dan aku hanya diam,
menikmatinya.
"Dan teman-temannya bilang, dia
sempat shalat isya tak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Dan sebelumnya
pun, ia menyempatkan diri makan malam bersama istrinya di rumah."
Siluet itu terus saja beraksi, tak peduli
dengan wajahku yang mulai basah terguyur bulir bening. Sembari aku menikmati
bayangmu, pikiranku melayang jauh. Memikirkan alasan logis apa yang membuatmu
hilang dua hari satu malam, hingga akhirnya kamu ditemukan dalam keadaan tak
bernyawa. Padahal, seingatku kamu pandai dalam olahraga renang.
Kini, sosokmu hanya tinggal kenangan. Tersimpan rapi di
hati setiap orang yang menyayangimu, termasuk aku. Dengan sekuat tenaga, aku
mencoba berdiri. Denyut di kepalaku kian menggila. Tubuhku terasa berat. Tapi,
aku ingin mendengar alasan yang sesungguhnya. Bukan celotehan tak berarti.
Perlahan, kuayunkan kaki dengan langkah
berat menuju dapur, tempat keluargaku berkumpul. Kulewati mereka yang terus
membicarakanmu begitu saja. Lalu, tiba-tiba....
"Galih tadi minta maaf. Dia bilang,
dia lupa untuk memberitahu peringatan dari hantu air itu. Sudah sejak lama ia
diberitahu untuk memberikan apa yang hantu air itu pinta. Tetapi, ia tak
kunjung memberikannya, hingga akhirnya Argalah yang menjadi korbannya."
Tubuhku mematung, seketika. Menegang,
seolah tersengat jutaan
lebah. Kamu... karena itukah kamu meninggalkan kami semua? Aku benar-benar
tidak dapat memercayainya.
#Challage
#KampusFiksi
#KabarDariJauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar