Minggu, 04 Januari 2015

Tumbal

Sosokmu tak lagi ada menemani, namun di setiap pandangan, kamu seolah hadir di dalamnya. Tersenyum, tertawa, bercanda gurau, seperti biasanya. Rasa kehilangan yang belum terobatilah yang membuatmu selalu ada dalam hari-hari kami. Tak terkecuali aku yang menganggapmu spesial dibanding yang lainnya. Karena kamu berbeda.
Tumbal? Apa benar itu nyata adanya? Aku percaya kita hidup berdampingan dengan dunia lain yang tak kasat mata. Tapi, tumbal? Sesuatu atau seseorang yang dikorbankan agar mereka—yang tidak tampak—tidak marah pada kita. Apa itu benar? Entahlah.
Lalu entah mengapa, tiba-tiba saja kamu menjadi salah satu diantara mereka. Menjadi yang dikorbankan demi mereka yang tidak mengerti. Aku berusaha untuk tidak memercayainya. Pun mereka; keluarga, kerabat, sahabat, dan merka yang lainnya. Namun, kehadiranmu telah membenarkan semua yang kami tolak. Tubuh pucat yang terbujur kaku itu telah memecahkan bendungan yang terus kami coba tahan agar tidak tumpah.
Kamu telah tiada. Kamu telah dikorbankan. Tumbal.
Sore itu, dalam usahaku untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah karena menunggu, dan berujung pada sebuah tangisan. Samar-samar, pendengaranku menangkap sebuah pembicaraan yang bertemakan kamu.
"Dia berencana untuk mancing bersama dua temannya. Padahal, baik dia ataupun istrinya tidak suka memakan ikan jenis yang ia inginkan itu. Tetapi, ia tetap saja memilih pergi."
Tiba-tiba, siluet dirimu menari di hadapanku. Beraksi sesuai apa yang mereka ceritakan. Dan aku hanya diam, menikmatinya.
"Dan teman-temannya bilang, dia sempat shalat isya tak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Dan sebelumnya pun, ia menyempatkan diri makan malam bersama istrinya di rumah."
Siluet itu terus saja beraksi, tak peduli dengan wajahku yang mulai basah terguyur bulir bening. Sembari aku menikmati bayangmu, pikiranku melayang jauh. Memikirkan alasan logis apa yang membuatmu hilang dua hari satu malam, hingga akhirnya kamu ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Padahal, seingatku kamu pandai dalam olahraga renang.
Kini, sosokmu hanya tinggal kenangan. Tersimpan rapi di hati setiap orang yang menyayangimu, termasuk aku. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba berdiri. Denyut di kepalaku kian menggila. Tubuhku terasa berat. Tapi, aku ingin mendengar alasan yang sesungguhnya. Bukan celotehan tak berarti.
Perlahan, kuayunkan kaki dengan langkah berat menuju dapur, tempat keluargaku berkumpul. Kulewati mereka yang terus membicarakanmu begitu saja. Lalu, tiba-tiba....
"Galih tadi minta maaf. Dia bilang, dia lupa untuk memberitahu peringatan dari hantu air itu. Sudah sejak lama ia diberitahu untuk memberikan apa yang hantu air itu pinta. Tetapi, ia tak kunjung memberikannya, hingga akhirnya Argalah yang menjadi korbannya."

Tubuhku mematung, seketika. Menegang, seolah tersengat jutaan lebah. Kamu... karena itukah kamu meninggalkan kami semua? Aku benar-benar tidak dapat memercayainya.

#Challage
#KampusFiksi

#KabarDariJauh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar