Dannis mematung di tempatnya berdiri sejak setengah jam
yang lalu. Wajahnya sepucat mayat. Tubuhnya gemetar. Pandangannya terarah lurus
ke depan. Lalu, tanpa ia sadari kakinya melangkah mendekati bibir laut. Samar-samar, ia merasakan
dingin di kakinya karena basah terjilat air laut. Namun, ia terus saja
melangkah pasti.
Sesak di dadanya kian menebal. Membangkitkan sebuah kenangan yang sejak lama
terus berusaha dibuangnya. Dan, selalu gagal. Perlahan, suara itu mulai
terdengar, diikuti wajah yang begitu dirindukannya yang mulai terlukis jelas di
hadapannya. Pemuda itu terus menyusuri laut dengan mata yang mulai memerah.
“Ayo, sini. Tangkap aku!” Seru seorang gadis dengan baju
setengah basah.
“Awas kamu, ya. Kalo ketangkap nanti gak bakaln aku
lepasin,” ancam pemuda tersebut, sembari terus berusaha mengejar kekasihnya.
Sepasang remaja yang tengah asik menikmati indahnya cinta
itu masih saja berlarian, tak peduli dengan berbagai suara yang yang meneriaki
mereka dari kejauhan. Berlari dan terus berlari, tanpa dapat dikendali.
Sesekali, tawa mereka menggema diantaranya.
Pemuda itu terus berusaha mengejar gadisnya, walau napasnya
kian memburu dan langkahnya kian berat. Tak berapa lama, langkahnya terhenti.
Matanya melebar, memandang seuatu tepat di samping gadis tersebut.
“Laras, awas!” Teriaknya. Terlambat. Gadis tersebut sudah
lebih dulu digulung ombak.
Wajah pemuda tersebut pun memucat saat dilihatnya tubuh
gadis itu menghilang. Ditelan laut. Tak ada satu halpun yang dapat
dilakukannya, selain berdoa; berharap agar kekasihnya segera ditemukan.
Waktu bergerak begitu lambat, baginya. Dua jam berlalu
begitu saja. Namun tubuh Laras belum juga dapat ditemukan. Keringat dingin
mulai menyelimuti tubuh pemuda yang tak pernah berhenti merapalkan doa dari
pinggir pantai. Wajah-wajah yang sarat akan kepanikanpun tersirat dari mereka
yang sempat meneriaki kedua remaja yang berlarian tak kenal arah tersebut.
Satu jam setelahnya, barulah tubuh pucat seorang gadis
ditemukan jauh dari tempat semula ia berlari dan tergulung ombak. Bibirnya
membiru, kulitnya mulai berkerut. Seakan tersengat ribuan volt listrik, pemuda tersebut
segera menghampiri tubuh yang dibopong ke pantai dan segera dimasukkan ke dalam
mobil ambulans.
“Dannis!” Ucap seseorang, sembari menahan lengan Dannis.
“Lo gila apa? Hah? Mau bunuh diri?” Ditariknya tubuh yang tak lagi bertenaga
itu ke pinggir pantai.
Dannis termenung mendapati hampir seluruh tubuhnya basah.
Entah dengan cara apa ia dapat berjalan hampir ke tengah laut. Karena kenangan
itu kah? Atau, karena ia seolah melihat wajah kekasihnya tengah tersenyum
memandangnya di sana? Ia lantas terduduk di depan seoarang teman yang telah menyelamatkan
nyawanya.
“Gue bukan pembunuh. Bukan gue yang ngebuat Laras
meninggal...” lirih Dannis mengucapkannya dengan wajah yang basah karena rintik
di matanya.
Rasa
penyesalan itu masih menggelayutinya. Bukan menghantuinya. Kalau saja ia dapat
menyelamatkan Laras saat gadis itu hampir tergulung ombak, mungkin dia tidak
akan meninggal dalam perjalan menuju rumah sakit. Mungkin gadis itu masih di
sini, di sampingnya. Menemaninya, bukan menghantuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar