Minggu, 04 Januari 2015

Murderer


Dannis mematung di tempatnya berdiri sejak setengah jam yang lalu. Wajahnya sepucat mayat. Tubuhnya gemetar. Pandangannya terarah lurus ke depan. Lalu, tanpa ia sadari kakinya melangkah mendekati bibir laut. Samar-samar, ia merasakan dingin di kakinya karena basah terjilat air laut. Namun, ia terus saja melangkah pasti.
Sesak di dadanya kian menebal. Membangkitkan sebuah kenangan yang sejak lama terus berusaha dibuangnya. Dan, selalu gagal. Perlahan, suara itu mulai terdengar, diikuti wajah yang begitu dirindukannya yang mulai terlukis jelas di hadapannya. Pemuda itu terus menyusuri laut dengan mata yang mulai memerah.
“Ayo, sini. Tangkap aku!” Seru seorang gadis dengan baju setengah basah.
“Awas kamu, ya. Kalo ketangkap nanti gak bakaln aku lepasin,” ancam pemuda tersebut, sembari terus berusaha mengejar kekasihnya.
Sepasang remaja yang tengah asik menikmati indahnya cinta itu masih saja berlarian, tak peduli dengan berbagai suara yang yang meneriaki mereka dari kejauhan. Berlari dan terus berlari, tanpa dapat dikendali. Sesekali, tawa mereka menggema diantaranya.
Pemuda itu terus berusaha mengejar gadisnya, walau napasnya kian memburu dan langkahnya kian berat. Tak berapa lama, langkahnya terhenti. Matanya melebar, memandang seuatu tepat di samping gadis tersebut.
“Laras, awas!” Teriaknya. Terlambat. Gadis tersebut sudah lebih dulu digulung ombak.
Wajah pemuda tersebut pun memucat saat dilihatnya tubuh gadis itu menghilang. Ditelan laut. Tak ada satu halpun yang dapat dilakukannya, selain berdoa; berharap agar kekasihnya segera ditemukan.
Waktu bergerak begitu lambat, baginya. Dua jam berlalu begitu saja. Namun tubuh Laras belum juga dapat ditemukan. Keringat dingin mulai menyelimuti tubuh pemuda yang tak pernah berhenti merapalkan doa dari pinggir pantai. Wajah-wajah yang sarat akan kepanikanpun tersirat dari mereka yang sempat meneriaki kedua remaja yang berlarian tak kenal arah tersebut.
Satu jam setelahnya, barulah tubuh pucat seorang gadis ditemukan jauh dari tempat semula ia berlari dan tergulung ombak. Bibirnya membiru, kulitnya mulai berkerut. Seakan tersengat ribuan volt listrik, pemuda tersebut segera menghampiri tubuh yang dibopong ke pantai dan segera dimasukkan ke dalam mobil ambulans.
“Dannis!” Ucap seseorang, sembari menahan lengan Dannis. “Lo gila apa? Hah? Mau bunuh diri?” Ditariknya tubuh yang tak lagi bertenaga itu ke pinggir pantai.
Dannis termenung mendapati hampir seluruh tubuhnya basah. Entah dengan cara apa ia dapat berjalan hampir ke tengah laut. Karena kenangan itu kah? Atau, karena ia seolah melihat wajah kekasihnya tengah tersenyum memandangnya di sana? Ia lantas terduduk di depan seoarang teman yang telah menyelamatkan nyawanya.
“Gue bukan pembunuh. Bukan gue yang ngebuat Laras meninggal...” lirih Dannis mengucapkannya dengan wajah yang basah karena rintik di matanya.
Rasa penyesalan itu masih menggelayutinya. Bukan menghantuinya. Kalau saja ia dapat menyelamatkan Laras saat gadis itu hampir tergulung ombak, mungkin dia tidak akan meninggal dalam perjalan menuju rumah sakit. Mungkin gadis itu masih di sini, di sampingnya. Menemaninya, bukan menghantuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar